Hum…Saya memikirkan untuk menuliskan sesuatu yang berbeda untuk artikel saya yang satu ini. Sesuai judulnya, saya ingin mengangkat topik perihal, uji kompetensi perawat yang sudah berjalan sejak tahun 2013 (Ya..lebih tepatnya, setelah tahun kelulusan 1 Agustus 2013). Bukan dengan alasan gimana, gitu. Hanya ingin memberikan pendapat dan gambaran sikap saya terkait dengan apa yang sudah pernah saya alami. Ya..Saya adalah bagian dari angkatan kelulusan pertama yang merasakan yang namanya try out dan juga uji kompetensi untuk yang pertama kalinya dilakukan di area Kalimantan Selatan, Banjarmasin dan Banjarbaru. Dengan memuat latar belakang ini, saya harap, saya dapat memberikan sedikit warna dalam adu sengit pendapat antara beberapa sejawat perawat (harapan saya ngak setinggi ini juga sih…wkwkwkwk).
Artikel yang membahas hal yang terkait dengan pro dan kontra pemberlakuan uji kompetensi perawat, sudah pernah dibahas disini.Sedangkan perihal latar belakang uji kompetensi keperawatn hingga panduan komposisi soal dapat dilihat disini.
Bagi saya pribadi, Setuju dengan adanya Uji kompetensi keperawatan/perawat di Indonesia. Banyak alasan yang melatarbelakangi keputusan ini, tapi salah satu yang sangat utama adalah soal dan perihal standart atau standarisasi. Standarisasi yang saya maksudkan disini adalah standarisasi kompetensi baik kognitif dan lainnya (Tapi, untuk uji kompetensi perawat sendiri lebih dititik beratkan pada menguji kemampuan kognisi). Uji kompetensi perawat memiliki tujuan yang sangat mulia (menurut saya), coba perhatikan kutipan berikut:
Perkembangan teknologi keperawatan dan juga semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat menjadikan masyarakat semakin kritis sehingga tuntutan masyarakat terhadap pelayanan keperawatan juga semakin tinggi. Di tengah meningkatnya tuntutan masyarakat tersebut, persaingan dalam bidang pemberian pelayanan keperawatan juga semakin meningkat. Wacana masuknya tenaga keperawatan asing ke Indonesia pun semakin berhembus kencang. Hal tersebut harus segera disikapi oleh perawat Indonesia dengan peningkatan kompetensi yang meliputi hardskill dan juga soft skill sehingga diharapkan perawat Indonesia nanti mampu bersaing dengan perawat-perawat dari negara lain.
Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menetapkan standar nasional bagi lulusan perawat sehingga bisa menjadi acuan bagi para institusi pendidikan keperawatan di Indonesia yang bisa diaplikasikan ke dalam kurikulum pendidikan keperawatan sehingga harapannya nanti institusi pendidikan keperawatan di Indonesia mampu menghasilkan lulusan perawat dengan standart minimal yang sama. Oleh karena itu, Uji Kompetensi Ners Indonesia (UKNI) mulai dilakukan untuk meningkatkan standarisasi kompetensi perawat baru lulus (entry level practice)yang bersifat nasional. Selain itu, uji kompetensi yang bersifat nasional, diharapkan dapat menjadi alat untuk memberi umpan balik pada mutu penyelenggaraan pendidikan keperawatan.
Tujuan pengambangan kedepan yang ‘mulia’ ini, tentu saja mendapatkan suara dukungan dari Saya secara pribadi. Latar belakang seperti inilah yang membuat saya mengatakan, ‘okay’ dan ‘ya’ untuk uji kompetensi. Sebenarnya saya memiliki alasan lainnya, tapi marilah untuk tidak membicarakannya di artikel ini.
Selanjutnya soal hal yang tidak saya sukai dalam penyelenggaraan uji kompetensi. Tiada lain dan tiada bukan adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk menarik keuntungan dalam rupa ‘uang’ dari para peserta uji kompetensi. Ya…isu ini masih perlu dikonfirmasi lagi kejelasannya. Untungnya saya bukan salah satu korban dari kejadian ini. Beberapa perawat menceritakan hal yang kurang baik terkait dengan hal ‘uang’ ini. Tidak selayaknyalah…kesusahan orang lain dijadikan keuntungan untuk diri sendiri. Apalagi di lakukan oleh seorang perawat. Tapi, ya…I am just saying. Harapannya sih, issue ini tidak benar adanya.
Jika melihat proses uji kompetensi sendiri, Saya masih dalam posisi ‘tidak puas’. Ya…manajemen penyelenggaranya masih belum menawarkan proses yang akurat, cepat dan efisien untuk penyelenggaraannya sekaligus dengan pengeluaran hasil uji kompetensi yang nanti akan berbuntut pada pengeluaran STR. Hellooowww…panjang amat nih. Saya mencoba untuk tidak ‘mengkritik’ habis-habisan tapi ingin mengkritik dengan elegan (mengkritik sambil memberi saran dan masukan). Berbicara soal mengkritik dengan elegan, saya mengambil istilah ini dari Pak Mario Teguh. Saya tertarik dengan konsep elegan yang ditawarkan. Memang, akhir-akhir ini kalau kita perhatikan, orang kebanyakan mengkritik dan menyalahkan tanpa terlebih dahulu menggali informasi dengan sangat jelas dan akurat lalu mencari solusi yang dapat digunakan untuk dipikirkan bersama. Ouch…sorry, malah membicarakan topik yang keluar dari barisan eitss….dari judul topik. Tapi, tidak apa-apa, ini dapat dijadikan hal baik untuk pembelajaran. Menarik untuk dibahas dan dikerjakan bersamaan.
Okay, lanjut untuk menajemen pelaksaan. Saya percaya orang-orang penyelenggara ini sudah memikirkan cara yang terbaik dan jua bekerja yang terbaik untuk proses pelaksanaannya. Bagi saya ini penting, karena kalau ditanya, apa solusi yang bisa saya tawarkan untuk memperbaiki, jawaban saya saat ini adalah, ‘ehmm..saya tidak tahu’. Oleh karena itulah, saya lebih baik mengambil sikap ‘mendukung’. Bukan dalam artian lepas tangan, tapi masih mencari pembelaan diri dan mencari jawaban dan juga solusi. Mungkin, ada beberapa orang yang tertarik untuk melakukan atau mengangkat masalah ini kedalam karya ilmiahnya. Bagaimana ?? hohohoho
Hohoho, saya rasa saya harus memberhentikan atau lebih tepatnya mencukupkan tulisan acak-acakan saya terkait dengan uji kompetensi perawat. Kasian mereka yang membacanya, akan kebingungan dan akan merasa saya mengabaikan sikap objektif saya wkwkwkwkwk.
Saya akan kembali untuk menulis hal-hal bermanfaat lainnya. Semoga artikel ini bermanfaat. Terima kasih.
Salam.
Satu pemikiran pada “Antara Uji kompetensi Perawat dan Tidak”