Merenung dalam RINDU


Beberapa hari ini, cuaca ditempat tinggal saya selalu mendung. Matahari seakan enggan untuk memunculkan keperkasaannya, dengan senyum malu-malu bersembunyi di awan hitam yang juga tidak menurunkan hujan. Angin dingin mungkin yang paling berani disini. Menghambus dan menghempas bangunan-bangunan yang dilaluinya, alhasil dingin merajam lingkungan sekitar. Keadaan ini berimbas tidak secara fisik, tapi juga psikologis. Situasi melankolis, tiba-tiba saja menjadi topik yang sangat hangat untuk diperbincangkan. Ah, Kapan saya bisa semelankolis ini?

Selepas pulang dari sekolah, menyempatkan duduk sebentar di perpustakaan. Saya cepat-cepat melangkah pulang, bukan karena tidak betah. Hanya saja, saya memang tidak membawa payung, kalau tiba-tiba hujan, saya tidak tahu harus bagaimana. Tapi, setelah lebih dari satu juam duduk di depan laptop, tidak kunjung datang juga si hujan yang ditunggi. Ah, cuaca, memang sangat sulit untuk diprediksi.

Sudah lama rasanya saya menahan rindu untuk menulis kembali di blog ini. Setiap kali ada perasaan untuk menulis, sengaja saya tahan dengan alasan, nanti saja. Masih ada hal lain yang harus saya lakukan dan hal ini lebih penting. Hingga pada akhirnya, saya tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Saya memang harus kembali menulis. Maka, jadilah rangkaian-rangkaian kata disini. Saya hampir saja lupa, kata apakah yang harus saya tuliskan.

Saya biarkan saja semuanya mengalir jauh, lepas dan bebas. Tidak berminat mencari pengunjung yang banyak untuk membacanya, hanya perlu wadah untuk meluapkan rasa rindu. Rindu untuk menjalin kembali hubungan antara pikiran saya dan juga pencipta. Ya, menulis bagi saya bukan hanya sekedar menulis, ini adalah kegiatan pertemuan, antara pribadi saya dan sang Pencipta. Saya rindu untuk merasakan sentuhan Kasih-Nya, lupa rasanya saya, bagaimana damainya berada dalam lingkup cinta kasihNya. Ah, saya memang manusia biasa yang masih belajar untuk bersyukur hingga usia 26 tahun ini.

Semoga rasa rindu ini menemukan tempatnya untuk berlabuh. Mengikat tali kekangnya dan diam sejenak. Mengistirahatkan kalbu dari penatnya dunia. Dalam hati, diam-diam saya bersyukur, bersyukur atas sembunyinya matahari, bersyukur atas bahagianya angin dingin yang menhantarkan saya pada perasaan ini. Pada huruf-huruf dan kata-kata klise ini.

Puji bagimu, Ya Tuhan. Syukur dan nikmat yang tak terkira ini sungguh luar biasa.

sam_0707

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s