Sebuah pertanyaan muncul didalam kepala saya, “Guru/dosen, Makhluk Seperti Apakah diriMu?”, setelah saya mengalami pengalaman yang kurang menyenangkan hari ini dengan salah satu pengajar saya. Edisi menulis kali ini mungkin akan sedikit-banyak mengandung kata-kata lebay dan alay yang tidak ilmiah. Tulisan ini juga ditujukan sebagai sebuah permenungan, bahan diskusi dan bukan bermaksud untuk digunakan sebagai alat adu domba antara dosen/pengajar dan mahasiswa-nya/siswa.
Sebelum mulai, marilah kita samakan persepsi terlebih dahulu. Pertama, saya lebih nyaman menggunakan kata ‘pengajar’ dibandingkan dengan guru. Pengajar dapat berarti guru, dosen atau profesor dan sebagainya. Kedua, saya akan memilih kata ‘peserta didik’ sebagai kata yang merujuk pada murid/siswa/mahasiswa. Alasannya lebih pada alasan pribadi, keduanya sama, “Rasa nyaman”. Kalau memang tidak bisa masuk diakal, silahkan ganti sesuai dengan keinginan masing-masing pembaca. Baiklah, Mari kita mulai.
Hari ini, saya mengalami adu argumen yang luar biasa (menurut saya dan teman saya yang menyaksikan) karena bagi saya yang tipikalnya ‘malu-malu’ ini, pecakapan lebih dari 1 jam tanpa henti adalah hal yang sangat luar biasa. Masalah yang kami diskusikan adalah masalah “penelitian”. Saya berusaha untuk mengutrakan pemikiran saya dan pengajar saya juga melakukan hal yang serupa. Kami pada akhirnya menemui konflik pembicaraan karena saya tidak bisa menerima pendapat pengajar saya dan pengajar saya tidak bisa menerima alasan-alasan yang saya kemukakan. Hal menarik yang saya perhatikan adalah, saya menyadari bahwa saya “tersesat” dalam opini yang saya dan pengajar saya berusaha bangun dan bersemangatnya ‘dosen’ saya untuk meminta saya untuk memberikan penjelasan. Bahasa sederhananya, saya tidak mengerti apa yang pengajar saya inginkan dari saya dan pengajar saya menuntut saya menyediakan hal yang saya bahkan tidak mengerti.
Baiklah, kasus seperti ini sering terjadi. Tidak pernah ada adu argumen antara pengajar dan peserta ajar yang dimenangkan oleh pesert ajar. Mungkin ada, dan mungkin karena saya tidak tahu. Ya, saya mungkin sedikit skeptikal disini, karena saya meletakkan posisi saya sebagai ‘korban’ dari ketidak ‘bijaksana’nya pengajar saya, menurut hemat saya. Menyakitkan memang. Secara pribadi, saya meyakini bahwa seorang pengajar adalah seorang yang akan memberi nyala terang, api penerangan, hikmat kepada peserta didiknya. Merubah seseorang yang ‘tidak tahu’ menjadi ‘tahu’, dari yang tidak mengerti dan menjadi mengerti. Dari tinggal di kegelapan menuju arah terang. Dan sialnya, saya tidak menemukan hal yang saya yakini tersebut didalam percakapan antara saya dan pengajar saya ini.
Baiklah, saya memang tidak berpengalaman dalam memberikan keputusan atau pendangan. Tetapi, bukankah ini adlah peran seorang pengajar untuk membukakan pikiran saya dan menunjukkan saya jalan yang benar?. Apakah saya terlalu banyak menuntut?. Atau saya memang salah alamat disini?. Wah, saya sungguh ‘terluka’ secara intelektual karena ketidak-intelek-nya saya dimata pengajar saya.
Saya benar-benar memainkan peran saya sebagai korban disini.
Selesai debat sengit, teman-teman saya lalu memberikan komentar yang tidak jauh berbeda. Mereka mendukung saya sebagai korban dan menilai pengajar saya melakukan tindakan kriminal terhadap ilmu pengetahuan. (Baiklah, ini terdengar sangat lebay). Inilah yang terjadi.
Dalam keadaan tenang, akhirnya saya dapat berpikir dan mulai menjernihkan pikiran saya. Rasa kesal, marah, malu, jengkel campur jadi satu seperti es campur dalam kepala saya. Saya tahu, saya memang tidak pantas untuk membawa masalah seperti ini terlalu jauh masuk kedalam hati saya. Tapi, perasaan saya mengatakan bahwa, kejadian seperti ini adalah cikal bakal permusuhan antara pengajar dan peserta didiknya. Inilah alasan mengapa Anikin Skywalker menentang guru dan mentornya Obi-wan Kanobi. Inilah alasannya mengapa Orochimaru harus berperang melawan gurunya Hokage ke III.
Tapi, menarik bagi saya. Karena setelah paragraf ini, saya menjadi tertantang secara psikologis dan secara emosional untuk ‘melawan’ dengn cara yang lebih baik. Saya hanya ingin menunjukkan kepada diri saya, saya bisa bertumbuh dengan baik. Pertentangan didalam hati saya adalah tanda bahwa saya sedang bertumbuh, sel-sel saya sedang berusaha untuk keluar dari bawah tanah dan mencari letak matahari.
Saya masih hidup sampai detik dimana kata ini dituliskan, artinya saya masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Menunjukkan dan mengatakan apa yang saya inginkan. Saya berharap demikian.
Salam dari kedalaman hati yang paling pekat. Berikan pendapat kalian atas kasus saya ini. Terima kasih.
Dari dahulu sampai sekarang hubungan antara guru dan siswa atau dosen dan mahasiswa memang hubungan yang tidak setara, tidak bisa disejajarkan dengan hubungan antar teman atau kolega. Karena yang satu (guru/dosen) pada umumnya merupakan orang yang lebih dahulu lahir (lebih tua), lebih dahulu belajar (merasa lebih banyak ilmu dan lebih berpengalaman) dan satunya lagi (siswa/mahasiswa) orang yang lahir belakangan (lebih muda), belajar belakangan sehingga dianggap ilmu dan pengalamannya lebih sedikit dibanding sang guru/dosen. Nah, dalam kondisi seperti itu hampir tidak mungkin terjadi hubungan yang lebih sejajar dan fair. Sebagai orang yang lebih tua dan merasa lebih banyak ilmu dan pengalamannya sebagian besar (hampir semua) dosen/guru tidak mau menjadi “kalah” dengan siswa/mhsiswanya sehingga karena si siswa/mhsiswa masih memerlukan sang guru/dosen untuk kelanjutan pendidikannya ya akhirnya yag mengalah. Dan semua orang yang pernah jadi siswa/mhsiswa pasti mengalami hal ini. Dan itu akan berefek seterusnya jika si siswa/mhsiswa kelak menjadi guru /dosen akan bersikap sama dengan guru/dosennya dulu. entah itu sebagai bentuk balas dendam atau sudah otomatis terbentuk seperti itu karena sistem yg sudah terbentuk. Wallahu alam
SukaSuka
Terima kasih atas pendapatnya, Bu. Saya setuju, memang ada banyak fakta kecenderungan sikap seperti yang Ibu paparkan. Sebagai yang di- ‘didik’, mahasiswa/siswa memang selayaknya untuk bersikap untuk merendahkan hatinya, mengosongkan gelasnya dan membiarkan guru meengisi kekosongan pikirannya. Tapi, guru juga diharapkan untuk dapat dengan bijak mengisi ‘gelas’ pemikiran yang di’didik’ dengan bijak. Ya…itulah proses ‘belajar dan mengajar’, kesimpulan saya. Kadang memang ada sedikit bersitegang sana dan sini, apalagi pada saat ini arus informasi sudah semakin mudah aksesnya, kadang kita bisa menemukan bahwa ‘siswa lebih mengerti dan lebih paham’ dibandingkan guru yang mengajarnya. Dalam keadaan ini, memang mungkin lebih tepat jika Guru dapat bertindak sebagai ‘fasilitator’, mengarahkan dengan anggun. Siswa juga sebaiknya paham betul kondisi ini. Wah, kok saya ngomongnya ngelantur. Mungkin saya terlalu banyak menuntut sebagai peserta didik bu…hehehe.
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya betul …guru sekarang lebih dituntut sebagai fasilitator, ini sesuai dengan perkembangan Kurikulum-13 yang diterapkan kemdikbud sekarang. tetapi perubahan pola pengajaran di sekolah sepertinya sebagian perguruan tinggi tidak mengikutinya. karena di perguruan tinggi sepertinya metode ceramah masih mendominasi.
Bagaimana pendapat mabak Ayu?
SukaSuka
Untuk masalah metode pembelajaran ceramah di perguruan tinggi, saya setuju sekali, Bu. Saya termasuk peserta didik yang masih berada dibawah naungan metode ini. Disilabus bahkan kerap ditulis, “Ceramah dan tanya jawab”. Ceramahnya banyak, tanya jawabnya malah sedikit. Sayang sekali rasanya, Bu. Karena jika itu adalah levelnya adalah perguruan tinggi, maka sebaiknya guru bukan hanya bertindak secara aktif sebagai ‘penceramah’ tapi lebih pada fasilitator yang mengarahkan mahasiswa/i-nya. Tapi memang, pemilihan metode ceramah ini dilakukan oleh pendidik karena adanya alasan, salah satunya adalah keadaan kelas yang tidak ‘aktif’. Mahasiswa memang dituntut untuk membaca terlebih dahulu materi apa yang akan mereka pelajari sebelum masuk ke ruang kelas, apalagi ketika silabus sudah dibagikan diawal. Tapi memang, kelakuan mahasiswa/i, mereka lebih memilih pasif dan tidak mau tahu. Ya…terjadilah, ceramah-doang, yang kadang bisa sangat membosankan banyak peserta didik. Ada baiknya jika pendidik bersama peserta didiknya menyepakati metode pembelajaran seperti apa yang ingin mereka terapkan didalam kelas, pengajar juga wajib untuk menawarkan variasi cara mengajar. Persamaan persepsi diawal masuk mata kuliah lah, seperti itu. Tujuannya agar baik pengajar dan peserta didik sama-sama enak dan sama-sama bertanggung jawab atas mata kuliahnya.
Begitu pendapat saya, Bu.
SukaDisukai oleh 1 orang
Yup…saya setuju mbak Ayu sebaiknya antara pengajar dan peserta didiknya menyepakati dulu model pembelajaran seperti apa yang akan diterpakan di kelas. sehingga masing-2 bertanggung jawab thd proses itu. Sepertinya ke depan kita bisa lebih banyak diskusi terkait pendidikan atau yang laiannya mbak Ayu.
Di blog saya ada beberapa tulisan sy terkait pendidikan/ pedagogik, barangkali mbak Ayu bisa kritisi
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih Bu, Saya senang sekali bisa berdiskusi dengan Ibu. Suatu kehormatan bagi saya. Saya akan dengan senang hati mampir dan meninggalkan komentar. Terima kasih juga sudah banyak menulis hal-hal yang terkait dengan pendidikan dan pengajaran. Tidak banyak orang yang mau mengangkat topik-topik ini dan dengan bebas menggomentarinya.
Salam.
SukaDisukai oleh 1 orang
Sama-sama mbak Ayu, terimakasih jug apresiasinya. tapi tulisanku ttg pendidikan lebih banyak terkait dengan pekerjaanku sbg guru, itupun blum banyak.
yg banyak masih soal curhatan he..he…
SukaDisukai oleh 1 orang
Menulis adalah kebebasan, Bu. Jadi, tidak perlu khawatir. Kita juga akan lebih banyak belajar dari pengalaman dan curhat itu juga masuk dalam golongan didalamnya. Hehehehe
SukaDisukai oleh 1 orang
Setuju mbak Ayu, Aamiin…semoga tulisan2 kita selalin membawa happy juga ada manfaatnya, minimal untuk diri sendiri. Aamiin…
SukaDisukai oleh 1 orang