Mungkin, sudah lebih dari dua tahun saya merasakan hidup dan tinggal di Filipina, tepatnya di Manila. Tapi, baru kali ini saya merasakan benar hidup dan tinggal di Filipina. Selama ini, saya hanya berusaha untuk menutup diri dan berusaha untuk tidak telibat jauh dengan negeri ini, tanah tempat saya hidup untuk dan dalam beberapa waktu. Saya selalu punya pikiran, ” Ini bukanlah bagian dari saya, saya membayar mahal untuk tinggal disini dan belajar disini”.
Tapi, memang seperti itulah proses mencintai. Butuh waktu dan kesabaran. Negeri ini dengan sabarnya membuai saya dengan keangkuhan hati saya dan pada akhirnya, Ia membuat saya jatuh hati padanya. Bukan karena indahnya negeri, kayanya tanah air, tapi karena penderitaan dan kemiskinan yang melanda. Himpitan ekonomi dan kerasnya hidup. Saya kembali diingatkan siapakah saya dan pada siapa saya kelak akan melayani. Saya jatuh cinta pada kemiskinan hidup di Manila dan beratnya hidup dalam kesesakan diantara keterbatasan.
Saya tahu, ini sungguh sngat aneh, tapi inilah yang terjadi. Setelah waktu yang sangat lama, dan membutuhkan biaya yang sangat mahal, akhirnya saya belajar arti kemiskinan dan sakit. Saya belajar dari miskinnya hidup di negeri ini bahwa selalu ada harapan dimasa yang akan datang. Tidak apa jika tidak makan, tidak memiliki uang, tapi jangan pernah kehilangan semangat dan harapan untuk baiknya hidup pada masa yang akan datang. Tetap bekerja keras, meskipun hidup terasa sangat berat dan seakan hidup mempermainkan. Berjuang untuk hidup mereka yang dicintai.
Negeri ini mengajarkan saya pelajaran yang tidak akan saya temui di tempat tinggal saya, terutama di Banjarmasin. Negeri ini mengerang kesakitan dan menangis, dan dari tangisannya Ia memanggil saya untuk ikut merasakan penderitaannya dan belajar darinya.
Terima Kasih, Manila Filipina.