Oleh,
Maria Frani Ayu Andari Dias, Perawat.
Seiingatku, biru bukan warna yang kusukai. Biru sesuai kata orang melambangkan keluasan hati, kedamaian batin dan kemurnian cinta.
Tapi, aku lebih memilih hitam, yang menutupi dan menyembunyikan semuanya, yang lahir dan mati dengan ketiadaannya.
Suatu hari, selepas bertatap muka dengan sang pencipta di Bait-Nya, seorang pemuda berbaju biru berdiri di pintu. Perbatasan antara kebaikan dan keburukan. Menunggu dan mencari.
Lalu, bertemulah mata kami.
Saat itulah aku ingat, bahwa warna biru berarti damai dan dalam sedetik aku merasa surga tiba-tiba saja turun.
Ku abaikan saja.
Karena bukan aku, bukan aku yang mengharapkan damai, bukan aku yang mengharapkan ketenangan.
Sejak pertemuanku, aku tahu bahwa tugasku saat ini adalah menjadi tidak tenang, menjadi tidak damai dan menjadi menderita.
Tapi, warna biru ini menghajarku dan menggodaku untuk bertekuk lutut padanya.
Tapi, tetap kuabaikan saja karena ini semua bukan waktunya.
Note: Sebuah catatan kecil selepas pulang, Banjarmasin Juli 17, 2017.
Biru ada dua sisi,
SukaDisukai oleh 2 orang
dua sisi yang membuatnya satu
SukaSuka
“Tapi, warna biru ini menghajarku dan menggodaku untuk bertekuk lutut padanya.”
I love it…
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih….
Terinspirasi setelah membaca tulisan Risar sebelumnya,
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahah sama-sama
(Bole tau tulisan yang mana?) 😀
SukaSuka
Yang judulnya, “Saat kita telanjang”.
Dulu, Ayu punya satu tulisan yang judulnya hampir sama, “Telanjang” tapi, tidak berani untuk di publikasi disini, karena takut menimbulkan makna yang berbeda..hehehehe.
SukaDisukai oleh 1 orang
Well, Semiolog dan Kritikus Sastra Roland Barthes pernah berdalil bahwa di Dunia Publisitas, teks (konsep konsep dan teori teori sosial dan humaniora)tak punnya tempat berlindung yang pasti nan nyaman. Teks menentukan nasibnnya sendiri.
Lalu dalam esainya tentang The Death of the Author pernah bilang bahwa saat sebuah karya dipublikasikan penulisnya telah “mati” dan kematian penulis adalah kelahiran pembaca karena pembaca bebas menginterpretasi sebuah tulisan sesuai keinginannya tanpa dibatasi oleh keinginan penulis. (penulis telah mati). Pembahasan ini memang sangat panjang tetapi setidaknya saya menjelaskan intisarinya saja…
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima aksih atas penjelasannya, ini ilmu baru buat Ayu. Sekali lagi, Terima kasih.
Benar, pembaca bebas untuk menginterpretasikan tulisan apapun yang Ia baca dan sejalan dengan hal itu, Penulis juga dipersilahkan untuk menulis sesuatu yang membuat pembaca putar otak untuk menginterpretasikannya.
SukaSuka
Blm siap atau gmn ni ceritanya? Jngan disangkal kalau udah tergoda, haha…
Ap krn lg fokus berkarir atau gmn? 😇😇
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahahahaha…Lagi ngaco aja kemarin itu Kak,…hahaahha
SukaDisukai oleh 1 orang