Oleh,
Maria Frani Ayu Andari Dias, Perawat.
Seorang mahasiswa keperawatan bertanya pada saya, “Kak, seorang dosen yang tidak bisa menulis apakah bisa disebut sebagai seorang dosen?”. Karena kaget dan juga binggung dengan maksud pertanyaan mahasiwa ini, maka saya bertanya untuk lebih detail.
“Maksudnya apa ya?”
Karena melihat betapa tertariknya saya (mungkin) dengan pertanyaan yang baru saja Ia tanyakan pada saya maka Ia pun menjelaskan dengan sangat bersemangat.
“Begini Kak, menulis disini bukan artinya menulis dengan menggunakan tangan, pena dst. Menulis disini adalah menghasilkan produk pemikiran dalam bentuk tulisan yang dapat diabadikan, dibaca, dicermati dan dianalisa. Kakak mengertikan maksud saya?”
“O…Ia, saya bisa mengerti maksudmu” Jawab saya. Tapi nampaknya Ia belum melihat tanda mengerti di wajah saya, lalu Ia melanjutkan lagi.
“Saya hanya memperhatikan saja kak, saya ini kuliah di kampus yang mahal dan bonafit. Dosen-dosen saya gelarnya sudah wow-wow dan kabarnya sudah lumayan ahli di bidangnya. Tapi kok, saya tidak pernah mendengar ada produk tulisan yang beliau-beliau ini terbitkan ya? Jujur saja, saya agak ragu dengan kemampuan akademis mereka kalau begini”
“Kenapa dirimu bisa berpikir demikian?” tanya saya.
“Saya membandingkan Kak, membandingkan dengan kampus lain yang jurusannya juga sama seperti saya. Dosen-dosennya terkenal karena sudah sering menulis di koran, bahkan sudah menerbitkan buku yang bisa kami dari kampus lain gunakan untuk belajar. Oleh sebab itulah saya bertanya Kak, apakah layak seorang yang tidak pernah menerbitkan produk pemikirannya itu di sebut Dosen? Layakkah saya ini berguru pada mereka?”
“Produk pemikiran itu mungkin saja tidak dalam bentuk tulisan, karena misalkan praktik nih…kan tindakan” Kata saya berusaha memberikan penjelasan. Berusaha setidaknya supaya terlihat nyambung dikit dan memuaskan rasa ingin tahu mahasiswa ini, meskipun saya tidak yakin akan penjelasan saya.
“Kalau dosen yang bersangkutan memang ahli dalam praktik, seharusnya Ia bisa menulis artikel yang berhubungan dengan praktiknya. Atau menerbitkan video tentang praktik yang dia lakukan sekalian” Katanya kemudian. Saya sontak saja merasa sangat bodoh didepan mahasiswa tingkat pertama ini.
Saya benar-benar tidak tahu harus memberikan penjelasan seperti apa dan mulai dari mana. Melihat wajahnya yang sudah frustasi betul dengan diskusi kami yang nampaknya tidak memuaskan dirinya, saya pun berusaha untuk memutar otak sambil berusaha mencari topik lain. Tapi dia masih ngotot dengan pertanyaannya.
Singkat cerita, setelah hampir tiga jam ngomong ngalur ngidul, si mahasiswa tidak juga puas dengan hasil pembicaraan kami dan membuat janji untuk bertemu lagi pada kesempatan lainnya. Si Mahasiswa tetap ngotot pada pendiriannya tentang dosen dan produk pemikiran berupa tulisan yang harus ‘ada’ buktinya (yang tidak sepenuhnya salah dan tidak tepat) dan saya yang masih memberikan pilihan lain, definisi lain tentang ‘produk pemikiran’ seorang dosen. (Kami masih belum sampai pada topik layak atau tidaknya seorang dosen. Saya punya firasat kami akan menghabiskan banyak waktu dan banyak gelas kopi hanya untuk membahas hal seperti ini).
Di akhir pertemuan, sebelum kami saling mengucapkan “Aalis na ako, Ingat ka…” saya bertanya padanya
“Mau jadi dosen nantinya?” dan Ia menjawab “Nah….” Entah apakah maksudnya.
Manila, 10 Agustus 2017
Seharusnya sih menurut saya bisa nulis, apalagi kalau gelarnya uda tinggi. Karena itu jadi salah satu tolak ukur untuk kapasitas dia dibidangnya.
SukaDisukai oleh 2 orang
Kalau blogger ada nggak yang nggak bisa nulis?
SukaDisukai oleh 2 orang
Memang semestinya seorang dosen itu produktif menghasilkan tulisan menurut saya. Ya biar terlihat seperti kaum terdidik yg memberi pencerahan kepada masyarakat. 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Ayu lg sngaja gak tertarik atau gmn nih? Kasian tu mhs tingkat prtma gak terpuaskan…
Dan, maaf, tbakan sya, kyaknya mhs ini suka nulis, btul gak? Klau gak, sy makin bingung, ngapain dia ngjak Ayu diskusi ttg topik itu smntra dia juga gak suka nulis, minimal blog.
Gmn Yu? Ap sy yg slh persepsi lg? Haha…
SukaDisukai oleh 1 orang
Ia, setuju. Memang harusnya demikian, karena bagaimana kita tahu kalau Ia adalah dosen yang baik, dosen yang tersertifikasi kalau tidak ada produk yang dihasilkannya (Berupa tulisan, mungkin). Tapi ya…sudahlah…hahahaha
SukaDisukai oleh 1 orang
Semua orang yang mengenal huruf bisa dikatakan bisa menulis (Mungkin logikanya begitu). Tapi, menulis apa dulu dan bagaimana ? hehehehe. Kita perlu pikirkan sama-sama.
SukaDisukai oleh 1 orang
Ia, Setuju Mas Shiq4. Tapi memang kalau kita lihat lagi ke lapangannya, masih jauh dari harapan. Dosen atau yang menyebut dan disebut dosen sejauh ini masih miskin karya tulis. Jarang menulis, kesimpulannya. Memang tidak bisa di generalisasi secara keseluruhan, tapi ya bgitulah. Dan inilah yang menjadi salah satu kecemasan dari mahasiswa ini.
SukaDisukai oleh 1 orang
Kalau boleh jujur, bukannya tidak mau tertarik atau bagaimana. Hanya saja masalah yang kami bahas ini sudah menjadi masalah universal yang sudah terlalu banyak cara penyelesaiannya dan masih minim implementasi tindakan, evaluasi dan tindak lanjut. Kalau berkaca dari pengalaman Ayu di Indonesia juga demikian, jadi susah juga untuk membahasnya. Tidak bisa dipungkiri kalau kebanyakan dosen-dosen sekarang miskin karya tulis, syukurlah kalau ada blog atau minimalnya menulis di media sosial. Pendidikan tinggi saat ini (Terutama keperawatan) masih banyak di fokuskan pada aktifitas mengajar tatap muka, kegiatan kelas. Tapi dosen sendiri jarang kedengaran kabarnya soal menulis. Coba cari, ada berapa dosen keperawatan yang ‘aktif’ menulis di Indonesia. Ada sih…tapi ya, satu-dua, satu-dua dan kebanyakan terkonsentrasi pada tempat atau wilayah tertentu. Nah, karena ni mahasiswa bukan orang Indonesia, jadi Ayu agak gimana gitu juga mau membahasnya. Soalnya memang masih tidak tahu banyak.
Ia, benar sekali, Kak. Mahasiswa ini memang suka menulis, tapi memang sayangnya bukan blog. Tapi, memang suka protes kak…hahahahaha. Protes dalam istilah Ayu, tapi orang lain mengatakan kalau dia kritis.
SukaSuka
O gitu, trnyta universal ya, mkin bingung lg sy..dosen mestinya nulis lah, aplgi yg dari luar ngeri. Sy mau naik pangkat dari IIIB ke IIIC aj harus nulis, bikin PTK.
Rupanya si mhswa tmnmu di Filipina ya..kirain crta di Indonesia.
SukaSuka
Hm. . . oke deh 😃
SukaDisukai oleh 1 orang
Aduh, eug ga fokus sama thumbnailnya 😣
perempuan pake kacamata adalah koentji 😣
SukaDisukai oleh 2 orang
Hahahahaha….Aku sukaaa…suka kacamatanya…hohoho
SukaSuka
Hahahaha… Ia Kak, ini mahasiswa ketemu tidak sengaja beberapa waktu lalu. Memang anaknya suka ngobrol. Beberapa kali ketemu di rumah sakit obrolannya tidak jauh-jauh dari hal seperti ini. Ayu rasa, Asik aja untuk di tuangkan dalam tulisan seperti ini.
Ia, Kalau setahu Ayu, di Indonesia, untuk bisa naik jabatan untuk dosen terutama, dari pangkat tidak ada ke asisten ahli, lalu ke lektor, setidaknya harus bisa mempublikasi sesuatu setidaknya satu judul penelitian, karya tulis dalam bentuk buku dan melakukan beberapa pengabdian masyarakat. Entahlah…
Kalau untuk perawat, apalagi swasta. Kita harus banyak-banyak ikut pelatihan, seminar tapi juga harus ada kompetensi menulis. Itu penting sekali.
Hahahaha…makanya, jadi binggung juga mau ngomong dan membahas dari mana Kak,..
SukaSuka
Idealnya memang seorang dosen itu harus mampu mengungkapkan pemikirannya dalam bentuk tulisan, tulisan ilmiah ataupun tulisan populer. Tp memang pada kenyataannya tidak sedikit diantara dosen yg tidak melakukannya.
Jika kita melihat tri-darma perguruan tinggi; penelitian, pendidikan dan pengabdian masyarakat, semua itu harus terlaksana dengan baik.
SukaSuka
Kak Ayu kuliah di Manila? Jurusan apa kak? Salam kenal
SukaDisukai oleh 2 orang
Hi, Febrianariya. Saya seorang perawat jiwa dan saat ini tinggal di Manila. Salam kenal juga…
SukaSuka
Perawat jiwa berarti jurusan kejiwaan ya kak? Atau psikologi?
Terima kasih kak
SukaDisukai oleh 1 orang
Ia, perawat jiwa mengambil jurusan ilmu keperawatan jiwa. Perawatan jiwa juga belajar ilmu psiko atau psikologi tapi bukan lulus sebagai psikolog. Standar dan juga kompetensi kita berbeda.
Kalau ditanya intervensi, Ya kami mengerjakan asuhan keperawatan jiwa untuk klien-klien dengan gangguan mental bekerjasama dengan psikolog dan juga psikiater.
Terima kaish kembali.
SukaSuka
Mmmmm menarik sekali kak…
Selamat bertugas di Manila kak, sambil berbagi ilmu dan pengalamannya selama mengabdi dan menjalankan tugas di sana
SukaSuka
Sepertinya saya mulai mengerti, karena saya mau jadi dosen 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Luar biasa! Tolong pupuk terus dan wujudkan cita-cita mulia demikian. Ada banyak orang yang ingin menjadi dosen, tapi tidak banyak orang yang bisa menjadi dosen yang baik dan membuat mahasiswa/i-nya selalu mengenangnya dengan baik ketika mata kuliahnya disebut.
Saya dukung! Semangat !
SukaSuka
Terceletuk dengan sindiran pertanyaan diatas. Kalau belum menghasillkan karya terbaik dibidangnya, jangan jadi dosen deh. Ntar mahasiswanya nanya gitu, berabe.
Salam dulu dari lereng semeru. Pembelajar juga, tapi sudah lulus dari institut di jawa timur. Panggil saja hafidh. Terima kasih.
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih atas tanggapannya Mas Hafidh. Sungguh suatu kehormatan untuk Ayu ketika mendapat salam dari lereng semeru.
Mau tidak mau, kita harus sadar dengan tuntutan dan standar untuk menyebut diri ‘dosen’. Karena memang seorang dosen harus benar ahli dalam bidangnya dan terbukti keahliannya. Bukti mungkin dapat berupa tulisan, karya dan sebagainya. Mahasiswa yang bertanya ini adalah salah satu bentuk kekhawatiran masyarakat akan kualitas dan kompetensi seorang ‘dosen’ tersebut.
Ya…kalau di bicarakan, panjang deh ya….hahahahaha.
Salam.
SukaSuka
Yup. Jangan dipikir serius2 deh. Ntar pusing sendiri. Kerjakan apa yg bisa kita usahakan. Perbaikan sekitar akan mengikuti.
SukaDisukai oleh 1 orang
Ia, setuju banget !
SukaSuka
Secara teori bahasa, semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mampu dia menulis karena menulis adalah keterampilan berbahasa tertinggi.
Menulis nggak hanya artikel ilmiah/jurnal/buku namun menulis sederhana seperti di blog, koran, dsb.
Seharusnya sih dosen seperti itu.
Bagus sekali mbak nulis tentang kisah ino, Wawa juga sering bertanya-tanya perihal tulisan dosen.
Entah kenapa saat tahu dosen tidak menulis, ada keraguan padanya. Seperti mahasiswa mbak juga.
Namun, disadari memang nulis itu nggak gampang. Biasanya seseorang terbiasa menulis karena dia butuh untuk menulis, ingin menulis, dan terbiasa menulis.
Sayangnya masih sedikit sekali orang-orang yang suka atau terbiasa menulis.
Menulis perlu dilatih sejak kecil. 😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Maafkan diriku Mbak…Komentarmu untuk tulisanku ini ternyata masuk kotak Spam. Baru saja ku-cek dan terseliplah disana komentarmu.
Saya setuju dengan komentar Mbak, memang seharusnya Dosen seperti itu. Tapi, pada kenyataannya kita masih belum mampu untuk mewujudkan hal ini. Oh ya, yang mengajak saya berdiskusi kebetulan bukan mahasiswa saya hahahaha. Hanya saja mahasiswa ini sedang praktik di tempat saya bekerja, jadi sekalian diskusi. Meskipun saya bukan dosennya.
SukaSuka
Hehe.. Ada apa dengan komentarku? 😆
Iya mbak. Saya juga sering tuh nyari2 tulisan dosen. Pengen tahu. Menurut wa dosen itu lebih mudah menginspirasi mahasiswanya kalo menulis. Apalagi ttg pelajaran2 hidupnya.
Mungkin karena mbak bukan dosennya makanya dia mau cerita. Hihi. Soalnya ini topik yang agak tabu utk dibicarakan. Wkwkwk
SukaDisukai oleh 1 orang
Dan bisa aja dia ngerasa nyaman ngomong sama mbak. Makanya dia berani berargumentasi.
SukaDisukai oleh 1 orang
Benar sekali Mbak Wawa….Tabu dan juga sangaaaatt sensitif. Banyak juga yang bisa salah kaprah dan salah arti mengenai hal ini hahaha
SukaDisukai oleh 1 orang
Ia, Saya juga merasakan hal yang sama. Anak ini memang anak yang kritis, bisa jadi pedang bermata dua juga hahahaha
Tapi, suka diskusi seperti ini dengan beberapa mahasiswa, mereka sangat kreatif.
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya mbak. Anak-anak seperti itu memang seperti pedang bermata dua.
Syukurlah mbak tipe dosen yang senang berdiskusi. Pasti ada manfaat dari diskusi tersebut.
SukaSuka