Oleh,
Maria Frani Ayu Andari Dias, Perawat.
Suatu hari, saya dihubungi oleh seorang sahabat yang juga merupakan mantan mahasiswa (baru saja lulus) dari sebuah perguruan tinggi.
“Kak, Boleh cerita?”
“Silahkan…”
“Kak, wajar ya Kak kalau dosen kita menggunakan penelitian kita untuk di publikasikan di jurnal atau di presentasikan di suatu event? ”
“Maaf…maksudnya apa ya, de?, bisa diceritakan dari awal? ”
“Begini Kak, Kemarin saya di kasih tahu adik kelas saya, kalau penelitian saya di presentasikan oleh dosen saya di sebuah event oral presentation. Nama saya di letakkan sebagai peneliti ketiga, tapi saya bingung. Tidak ada yang menghubungi saya atau menginformasikan saya bahwa penelitian saya ini mau digunakan untuk acara tersebut. Karena penelitian yang mereka gunakan adalah penelitian sarjana saya. Saya ingat betul kalau penelitian saya itu saya kerjakan atas bimbingan Pak A dan Bu B, tapi ketika adik kelas ini mengirimkan foto presentasi, saya malah tidak kenal dengan Pak C dan Bu D yang menjadi peneliti pertama dan kedua menggantikan nama Pak A dan Bu B yang menjadi pembimbing penelitian saya. Lalu, saya juga ingat kalau dalam abstract penelitian saya waktu itu, saya adalah peneliti pertama, tapi kenapa saat di foto tersebut, saya malah menjadi peneliti ke 3 ?. Boleh ya, hal seperti ini dilakukan?”
Saya coba mencerna dan membaca satu persatu kalimat yang di lontarkan oleh adik dan juga merupakan sahabat saya ini.
“Apakah Adik menghubungi saya karena adik merasa tidak nyaman dengan hal ini?” (Saya akui, saya merasa tidak tepat untuk menanyakan hal ini kepada adik ini. Sudah jelas kalau Ia merasa tidak nyaman, juga merasa kebingungan dan membutuhkan dukungan. Tapi, saya malah menanyakan hal ini lagi).
“Ia Kak!, Saya merasa aneh saja. Sebelumnya tidak pernah ada aturan atau pemberitahuan tentang hal ini. Atau memang hukumnya demikian, kalau penelitian level sarjana kita itu, kalau sudah selesai dan diserahkan pada perguruan tinggi kita, artinya perguruan tinggi bebas menggunakan penelitian kita tesebut? “
“Apakah sebelumnya adik ada menandatangani surat pernyataan yang menyatakan bahwa adik mengijinkan penelitian adik ini boleh digunakan untuk kepentingan perguruan tinggi?”
“Tidak, Kak”
“Apakah adik ada konfirmasi dan bertanya pada dosen atau pihak perguruan tinggi menganai hal ini?”
“Tidak kak, kan saya sudah lulus, dan lagi saya tidak terlalu kenal dengan dosen yang menggunakan penelitian saya tersebut. Ya…mau saya biarkan saja sih Kak, tapi ada rasa tidak tenang didalam hati saya dan saya ingin ada penjelasan”.
Kasus dosen menggunakan penelitian mahasiswa tanpa ijin untuk kepentingan pribadi akhir-akhir ini menjadi hal yang menggelitik hati saya. Bagaimana tidak, tidak hanya satu, tapi lebih dari satu sahabat-sahabat saya menghubungi saya dan menanyakan hal yang sama masalah yang sama.
Kalau ditelisik, ini dapat digolongkan kedalam pemerkosaan hak cipta. Apalagi tidak ada ijin tertulis dan juga persetujuan sebelumnya. Dosen yang menggunakan karya cipta ini mungkin saja besar kemungkinannya terkena hukum dan demikian juga dengan perguruan tinggi yang membolehkan/membiarkan hal ini terjadi. Saya memang bukan orang yang ahli dalam urusan hukum atau pelanggaran hak cipta, tapi dengan terbukanya arus informasi saat ini. Saya bisa dengan mudah meng-google hal-hal yang saya perlukan dan memberikan penilaian atas apa yang terjadi.
Mengintip dari balik jeruji ‘Hukum” yang berlaku
Seperti yang saya katakan sebelumnya, peristiwa yang menimpa sahabat saya ini dapat digolongkan kedalam pelanggaran hak cipta (Saya menggunakan kata ‘pemerkosaan’ sebelumnya). Secara definisi, Hak cipta dapat didefinisikan sebagai hak ekslusif atau hak yang hanya di miliki oleh si pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengatur penggunaan hasil karya atau hasil oleh gagasan atau informasi tertentu. Definisi yang di berikan oleh pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta. Kalau dilihat lebih detil lagi,
“Hak cipta merupakan hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan- pembatasan menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku”.
Selanjutnya, dijelaskan bahwa hak cipta bersifat deklaratif yakni pencipta atau penerima hak mendapatkan perlindungan hukum seketika setelah suatu ciptaan di lahirkan, dengan hal ini hak cipta tidak perlu di daftarkan ke Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), namun ciptaan dapat di daftarkan dan di catat dalam daftar umum ciptaan di Ditjen HKI guna memperkuat status hukumnya.
Dari sekelumit penjelasan diatas, Saya menggarisbawahi poin penting yang menyatakan bahwa pencipta atau penerima hak mendapatkan perlindungan hukum seketika setelah suatu ciptaan di lahirkan. Sama halnya yang terjadi pada sahabat saya. Ketika karya tulisnya, yang dalam hal ini adalah hasil penelitiannya dilahirkan, sudah selesai di uji didepan panel dan dinyatakan layak untuk publikasi, maka pada saat itulah Ia menerima hak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas karya ciptaannya.
Lebih lanjut, dituliskan bahwa
“Dalam memahami hak cipta dan Haki terdapat perbedaan karena dalam hak cipta memang terbatas dalam kegiatan penggandaan suatu karya agar dapat di nikmati lebih banyak orang. Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekaayaan intelektual, namun hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang merupakan perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili dalam suatu ciptaan tersebut. Menurut UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, ciptaan yang di lindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan juga sastra berupa buku- buku, program komputer, pamflet, tata letak karya tulis yang di terbitkan dan semua hasil karya tulis lain seperti ceramah, kuliah, pidato, dan lain sebagainya. Hak – hak yang di miliki oleh pemilik atau hak cipta adalah hak untuk:
- Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut
- Mengimpor dan mengekspor ciptaan
- Ciptaan karya turunan atau derivatif atas ciptaan
- Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum, menjual atau mengalihkan hak ekslusif tersebut kepada orang lain atau pihak lain.
Hal yang di maksud dengan Hak ekslusif adalah bahwa hanya pemegang tau pemilik hak ciptaan yang bebas melaksankan pemanfaatan hak cipta tersebut sementara orang atau pihak lain di larang melaksanakan pemanfaatan hak cipta tersebut tanpa izin pemegang hak cipta. Di indonesia, hak ekslusif si pegangang hak cipta termasuk kegiatan- kegiatan menerjamahkan, mengadopsi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewa, meminjamkan, mengekspo, serta mengkomunikasikan suatu ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.
Dari penjelasan diatas, saya rasa sudah merupakan hal yang sangat jelas sekali tertulis bahwa adalah suatu pelanggaran hak cipta bagi mereka yang menampilkan atau memamerkan ciptaan didepan umun kepada pihak lain tanpa seijin pihak yang memegang hak asli dari karya tersebut.
Saya rasa, cukuplah bagi saya orang awam untuk mengetahui bahwa sudah terdapat ketidakadilan dalam kasus yang menimpa sahabat saya seperti diatas. Setidaknya saya tahu, bahwa hukum di Indonesia sudah mengatur sedetil mugkin mengenai hal ini. Kalau saja kasus seperti ini diserahkan ke pihak yang berwajib, mereka yang terlibat dalam masalah ini, ‘kemungkinan besar’ akan terkena reaski tertentu akibat perbuatannya.
Budaya copy and paste, budaya yang tidak mau repot
Selanjutnya adalah menganai budaya ‘copy and paste’ yang sudah sangat tidak asing lagi bagi banyak orang. Saya sebut ‘budaya’ karena sudah menjadi bagian dari gaya hidup dan hampir menjadi identitas bagi banyak orang. Saya akui, saya juga tidak dapat lari dari hal ini.
Karya tulis atau penelitian sangat sulit untuk dibuat karena ini adalah bagian dari proses mencipta dan selalu diharapkan untuk menghasilkan karya yang ‘original’. Proses mencipta dengan cara menulis ini bukanlah hal yang mudah bagi banyak orang. Mungkin hanya segelintir orang yang memiliki kegemaran menulis yang akan dengan sangat antusias menekuni proses ini. Hal inilah yang menjadi tantangan dan juga merupakan salah satu alasan (mungkin) mengapa lebih baik melakukan ‘copy and paste’ karya milik orang lain secara diam-diam untuk mencapai keinginan dan tujuan pribadi.
Copy and paste adalah hal yang instant. Tidak banyak usaha yang akan dikeluarkan. Mudah dan murah. Apalagi dengan teknologi yang sudah semakin canggih seperti saat ini, menarik tapi juga sangat menakutkan.
Masalah klasik, tidak ada waktu.
Saya melakukan sedikit riset sebelum saya menuliskan masalah ini disini. Saya mencari kemungkinan alasan ‘mengapa’ para dosen yang terhormat ini, mampu melakukan hal demikian. Jawaban yang saya temukan adalah begini,
“Tidak ada waktu untuk mengerjakan hal ini. Kami terlalu sibuk dengan tugas kami sebagai pengajar. Satu-satunya waktu kami meneliti adalah dengan melakukan bimbingan skripsi dengan menahasiswa/I yang juga sekaligus menjadi karya tulis kami sebagai dosen”.
Saya sangat prihatin mengenai hal ini, tentu saja dan juga sangat khawatir dengan masa depan Pendidikan di daerah asal saya. Kalau hal seperti ini terus terjadi dan dibiarkan begitu saja, bagaimana kemajuan itu dapat saya dan teman-teman saya rasakan ?.
Memang, saya tidak memiliki cukup hak untuk melakukan penghakiman atas apa yang dilakukan oleh para dosen ini. Karena memang saya tidak tahu kesibukan seperti apa yang mereka miliki, belum lagi banyaknya tuntutan untuk menjadi seorang dosen. Dosen yang professional di bidangnya dan yang mampu membawa seseorang atau sekelompok orang kedalam masa depan yang diharapkannya. Hanya saja, saya merasa hal ini tidak benar dan tidak patut untuk dilakukan oleh orang-orang yang menyebut dirinya dengan sebutan, ‘dosen’ atau ‘ahli’. Apalagi menyalahkan ‘waktu’ atas sikap tidak professional mereka ini.
Saya berharap tulisan ini menjadi salah satu bahan pemikiran kita bersama. Entah apa persepsi pembaca mengenai masalah pembaca. Saya akan dengan senang hati menampung pendapat dan juga protes teman-teman pembaca dengan harapan dapat melakukan sesuatu terhadap masalah ini. Ya, meskipun kemungkinan besar hanya akan berakhir di postingan ini saja. Saya akan puas.
…
Catatan di balik layar:
Seperti apa yang terjadi pada adik dan juga sahabat saya diatas, saya tidak dapat melakukan apa-apa selain membiarkan emosinya mengalir dan bersama kami mencari jalan keluar, tapi memang pada akhirnya, dia tidak dapat berbuat apa-apa. Pertama, karena Ia bukan lagi mahasiswa di perguruan tinggi tersebut, meskipun Ia terdaftar sebagai alumni dan mendapatkan kartu alumni, kedua dia tidak kenal dengan dua dosen yang menggunakan penelitiannya tersebut. Dan lebih lagi karena alasan, Ia tidak ingin mengambil masalah panjang mengenai hal ini.
Sahabat saya ini jelas mengalami ketidakadilan, tetapi Ia tidak dapat berbuat apa-apa. Saya dapat merasakan sedihnya Ia ketika Ia menceritakan perjuangannya menyelesaikan penelitiannya untuk level sarjana tersebut. Ia sampai berhutang untuk menyelesaikan penelitian tersebut dan mengumpulkan hardcopy-nya ke pihak Program Studi. Mendengar kisah dramatisnya, jujur saya tidak sampai hati.
Hampir saja saya mengutuk perbuatan dosen yang entah bisa dibilang bertanggung jawab atau tidak ini, dan juga perguruan tinggi dimana Ia pernah bersekolah. Ini mungkin bukan hal yang luar biasa besar, tapi kelau korbannya lebih dari satu, kasus ini seperti kejahatan massif yang terencana.
Saya memang tidak memiliki pengalaman dalam hal mengurus masalah seperti ini, dan tidak seberuntung sahabat-sahabat saya ini yang mendapatkan masalah seperti ini. Tapi, masalah seperti ini membuat saya agak gerah mendengarnya, apalagi sudah beberapa kali orang-orang yang saya kenal bercerita pada saya dengan topik masalah yang tidak jauh berbeda.
Tulisan ini saya buat dengan beberapa alasan, 1) menyalurkan energi negatif yang ada didalam diri saya (jujur saja, saya ikut kesal), 2) berharap mendapatkan sumbangan ide atau pandangan dengan perspektif yang berbeda untuk masalah yang dipaparkan, 3) membuat saya menahan diri untuk tidak melaporkan ketidakadilan ini ke pihak yang berwajib, yang saya tahu hanya akan membawa banyak kerugian di pihak saya.
Terima kasih untuk mereka yang sudah membaca hingga paragraph ini. Terima kasih atas kesabaran dan kesetiaannya. Love you, for sure !.
Dan tentu saja, special thanks untuk Mbak Meila dari blog https://meilabalwell.wordpress.com yang telah mengijinkan saya untuk mengutip beberapa penjelasan dari postingannya dengan judul “Pelanggaran Hukum terhadap Hak cipta”. Bisa dikatakan, tulisan-tulisan saya mengenai hukum dalam postingan ini di inspirasi 99 % oleh tulisan beliau. Silahkan kunjungi tulisan lengkapnya di https://meilabalwell.wordpress.com/pelanggaran-hukum-terhadap-hak-cipta.
Wih. Ini memang sering banget kedengeran kak. Wa aja terkejut pas ada beberapa mahasiswa paska sarjana di kampus yang ngomong kayak gini, “Cepat kau publikasikan penelitianmu itu sebelum diambil dosen.” gitu katanya.
Bah, kacau kali.
Kalo dosen gitu, gimana efeknya ke mahasiswa. Jadi dianggap wajar dan tradisi. Miris.
SukaDisukai oleh 1 orang
Nah…ternyata pernah setidaknya kena sentil dengan kasus yang sama ya ?
Emang kacau. Sulit mau mulai dari mana karena sudh jadi tradisi tersembunyi.
SukaSuka
Udah kak. Kemarin tu aku nggak sengaja sih denger mereka ngomongnya soalnya lg nunggu dosen gitu.
Memang sedih sih pas tau fakta ini.
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah parah juga ya sampai mengakui karya orang lain sebagai karya pribadi? Padahal pisisinya sebagai dosen.
Tapi jujur saja, kalau saya yang dalam masalah seperti itu, biasanya ya bisanya pasrah saja. Soalnya takut urusannya jadi besar. Iya klo pelakunya menjadi sadar dan malu atas perbuatannya, tapi klo yang malah terjadi adalah dendam karena merasa dipermalukan, bisa nambah satu musuh yang bikin hidup nggak tenang.
SukaSuka
Karena ini sudh terjadi lebih dari satu kali, memamg parah jadinya…
SukaSuka
Saya malah baru tau mba.
Ga mikir sampe ada kejadian gni. Karna suatu jurnal karya tulis ilmiah itu ga main2. Perlu waktu, biaya, dan pemikiran lebih.
Ga sperti kita yang hobi nulis blog ya. Nulis di blog yang misal kita tau ada plagiat ajah rasanya jengkel. Gmn klo sebuah karya tulis resmi.
Setauku meskipun kita serahin ke universitas, tetap itu bukan hak milik kampus. Klarifikasi dlu ajah..
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kaish atas tanggapannya, Mbak.
Memang seharusnya seperti yang Mbak katakan, karya Mahasiswa biarlah menjadi karya mahasiswa mengingat banyak curahan waktu, tenaga dan pikiran yang harus dikorbankan untuk menyelesaikan semua karya ini. Ia Mbak, terima kasih atas sarannya. Tapi memang sejauh ini hanya berhenti di sikap, ‘kesal’ dan tidak bisa berbuat ap-apa.
SukaSuka
Sayang banget kan mba. Dan pelakunya justru orang yang bukan orang bodoh. Intelektual tinggi. Ngenes kan ya.
SukaDisukai oleh 1 orang
Itulah dia mbak…saya kesal banget!! Pake banget!
Masih tidak percaya tapi ya sudh terjadi.
Bukannya mau menjelek-jelakkan profesi pengajar atau peneliti…tapi kalau demikian kejadiannya, ya…apa boleh buat.
SukaSuka
Pengajar harusnya memberi contoh yang mendidik baik ya. Nah ini?!
Ah. Entah ya mba😷
SukaDisukai oleh 1 orang
👍👍
SukaSuka
Kok ada dosen bgtu ya..hhm…
SukaDisukai oleh 1 orang
Dunia ini terlalu kaya dengan hal-hal unik dan ajaib, kak…
Makanya, yang seperti inipun banyak hahahaha
SukaSuka
Semoga perilakunya cepat berubah
SukaSuka