Kisah seorang Pecandu Internet dan Jawaban Tuhannya

Oleh Maria Frani Ayu Andari Dias, Perawat.

 

Akhir-akhir ini salip yang harus saya panggul terasa berat dan semakin hari semakin terasa berat.
Ujian demi ujian terus menghantam dan menghancur leburkan banyak pertahanan yang sudah saya siapkan jauh hari. Saya sudah hampir tidak kuat!

Dengan tidak mempedulikan dunia, Saya hempaskan tubuh ini tepat didepanNya
Berharap agar langsung dibawah kakiNya lah, saya berlutut
Agar tepat didepan wajahNyalah jiwa saya menengadah

Tuhan, tolong hidupkanlah kembali jaringan internet di asrama kami…

Sesak rasanya dada ini berkata demikian.

Mengumpulkan sisa kekuatan yang ada, keluarlah seruan ini…

Ini sudah lebih dari empat hari, dan kami gersang dan tandus seperti padang gurun.
Hampa, gundah dan gelisahlah hidup kami.
Dunia seakan berjalan jauh mendahului kami, dan kami masih terperangkap gelap dalam keputusasaan.

Ya, Tuhan. Kami sudah tidak tahan !

Bagaimana nasip pekerjaan yang harus kami kerjakan secara online ? Bagaimana nasip status yang sudah lama tidak diupdate? Bagaimana nasip InstaStory yang diam dan sunyi beberapa hari ini?

Bagaimana nasip pujaan hati kami yang harus kami buntuti statusnya setiap hari ?

Bagaimana nasip jabatan stalker atau secret admire yang kami miliki ? Sudah tidak ada artinya lagi!

Ah…
Cukupkanlah sudah marahMu, Ya Tuhan.

Ini kami sudah kembali,
Kembalikanlah kiranya paket internet kami...”

Tapi, Tuhan tetap diam bertahta di Tabernakelnya.

Lalu, seruan ini semakin keras menggaug,

Tuhan, hidupkanlah kembali internet asrama kami..

Dan Tuhan tetap diam seperti sebelumnya.

Mewakili kami, saya berdiri dan mulai bernyanyi. Mungkin Tuhan tidak suka seruan, tapi nyanyian.

Tapi, Tuhan tetap diam di dalam TahtaNya.

Dan kami mulai lelah, lalu kembalilah kami satu persatu. Keluar dari hadiratNya.

Tinggal saya seorang dengan keegoisan diri, bahwa Jaringan internet adalah hal yang paling penting dibandingkan apapun saat ini.

Lalu, Tuhan mulai beraksi.

Dalam heningNya, Ia sentil hati saya.

Lalu perhatian mulai terfokus pada cahayaNya.

Dalam heningNya, Ia mulai mengajarkan bahwa waktu bersamaNya adalah hal yang lebih penting dibandingkan dengan ada tidaknya jaringan internet.

Dalam heningNya, Ia berkata bahwa Saya tidak memerlukan sambungan internet untuk menyelesaikan pekerjaan saya, untuk menuliskan atau meninggalkan sejarah bagi dunia, untuk menghubungi orang yang saya kagumi, atau untuk mencariNya di tumpukkan artikel kebijaksanaan di tulisan-tulisan berkualitas.

Cukup datang padaNya dalam keheningan, dalam diam, dalam rasa kehampaaan dan putus asa, dalam rasa frustasi dan sakit hati

Dalam kemarahan dan juga egoisme diri

Karena dalam keagunganNya, Ia akan menyediakan koneksi bebas hambatan untuk kedamaian dan ketentraman jiwa.

Karena dalam diamNya, Ia membuka banyak suara untuk saya dengarkan.

Karena dalam diamNya, Ia berseru dengan lembut,

Nak, Apakah yang Engkau perlukan ?

Kehadiranmu disini menjalin kembali hubungan bebas hambatan antara Aku dan dirimu.

Aku penciptaMu, jauh dariKu hampalah Engkau

Pergi dariku, meranalah Engkau

Engkau adalah bagian dariKu, tidak ada jaringan internet sekuat apapun yang mampu mengganti kuatnya koneksi antara Aku dan Engkau.

Maka, Ku tanyakan sekali lagi, apakah yang Engkau perlukan ?

 

 

Dari Balik meja kerja saya,

April 20, 2018.

Iklan

2 pemikiran pada “Kisah seorang Pecandu Internet dan Jawaban Tuhannya

  1. Kisah yg reflektif. Bgtupun jwaban sang Tuhan.

    Btul skli, d tngah hiruk pikuk kmjuan zaman dan teknologi saat ini, manusia lbih mrasa kosong tnpa internet, pdhal sejatinya tnpa Tuhanlah yg membuat mnusia hidupnya hampa.

    Mksh Yu refleksinya. Ini utk kita semua, termasuk sy.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s