Implementasi dan Hambatan Pendidikan Keperawatan Jiwa di Indonesia


Foto-0394
Mahasiwa/i STIKES Suaka Insan Banjarmasin yang sedang belajar melakukan Pengkajian Keperawatan di Laboratorium STIKES Suaka Insan Banjarmasin

Oleh,

Maria Frani Ayu Andari Dias, Perawat.

Pendidikan keperawatan jiwa mengalami perhatian yang cukup serius akhir-akhir ini. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI) pada tahun 2015 benar-benar luar biasa sangat membantu banyak praktisi keperawatan jiwa di Indonesia dan juga di luar Indonesia untuk melihat lebih jauh praktik pendidikan keperawatan jiwa yang diberikan kepada calon-calon perawat jiwa di Indonesia.

Tulisan saya kali ini ingin menggali mengenai topik perkembangan pendidikan keperawatan jiwa dan tantangannya kedepan menurut penelitian yang sudah dipublikasi oleh Para Pengurus Besar IPKJI yang bisa diakses dengan judul Perkembangan Pendidikan Keperawatan Jiwa di Indonesia Tahun 2015. Tulisan ini ditulis oleh Tjahyanti Kristyaningsih, Tantri Widyarti Utami dan Ice Yulia Wardani.

Harapan saya pembaca sekalian, terutama teman-teman perawat dapat menganggap serius tantangan yang memang ada dihadapan kita masing-masing, selanjutnya bergerak bersama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang perlu kita kerjakan bersama untuk memajukan organisasi keperawatan kita dan juga yang terpenting adalah merancang asuhan keperawatan jiwa yang mampu membantu Klien untuk bisa beradaptasi dengan masalahnya dan secara produktif kembali ke masyarakat.

Teman-teman pasti sudah familiar dengan profesi Perawat atau mereka yang aktif memberikan asuhan keperawatan secara legal. Mereka yang sering berkunjung ke rumah sakit pasti akan berhadapan muka dengan profesi kesehatan yang satu ini. Selain Profesi Dokter, Profesi keperawatan adalah profesi yang juga terkenal dalam bidang kesehatan. Bisa dikatakan, rumah sakit tanpa kehadiran perawat seakan bukan rumah sakit. Profesi ini menghiasi dan menggerakkan rumah sakit untuk hidup.

Seiring perkembangan jaman, Perawat sebagai profesi dan juga sebagai bidang keilmuan berkembang dengan sangat pesat. Saat ini, perawat tidak hanya sebatas pendidikan vocational (DIII/D3) saja, tapi sudah sampai level Doctorate (S3) dan bahkan sudah ada yang menjabat sebagai professor keperawatan di beberapa universitas di negeri kita.

Sebagai profesi yang dilandasi oleh keilmuan yang jelas dan mendasar, Perawat juga mengembangkan spesialisanya. Dalam Bahasa yang sederhana, perawat itu bekerja sesuai dengan area-area tertentu dalam bidang kesehatan. Sejauh ini, teman-teman mungkin sudah mengenal tentang Perawat Jiwa. Selain perawat jiwa, kita juga mengenal adanya Perawat Emergency, Perawat Anak, Perawat Komunitas, dan masih banyak lagi. Perawat Jiwa sendiri merupakan spesifikasi profesi perawat yang sudah dibekali dengan latar belakang keilmuan dasar maupun lanjut plus pengalaman kerja di berbagai tatanan pelayanan kesehatan jiwa. Nah, tatanan pelayanan kesehatan jiwa ini tidak hanya terbatas pada rumah sakit jiwa saja, tapi bisa pada klinik kesehatan jiwa, komunitas seperti di Puskesmas bahkan sampai di Sekolah dan Perkantoran. Cukup luas bukan ?.

Bidang pelayanan perawat jiwa ini mungkin adalah bidang keilmuan dalam keperawatan yang paling luas. Pelayanan keperawatan jiwa itu sendiri didasari oleh ilmu perilaku. Seorang Perawat jiwa merawat klien mereka dari usia tumbuh kembang bayi-balita sampai usia tua, merawat Klien secara Individu sampai komunitas besar (masyarakat). Bisa dikatakan, dimana ada Individu, disana ilmu keperawatan jiwa diterapkan. Ya, karena seorang manusia, individu tidak akan bisa dipisahkan dari dimensi Psikologis, Emosional dan Spiritualnya. Nah, ketiga dimensi ini dimiliki dan dipelajari secara comprehensive dalam ilmu keperawatan jiwa. Keren bukan ?.

Perawat jiwa itu sendiri memiliki organisasi yang menjadi wadah berkumpul, berbagi informasi dan juga sebagai wadah untuk mengembangkan diri bagi para perawat jiwa sekalian. Organisasi tersebut bersifat nasional dan memiliki caang di seluruh provinsi di Indonesia. Organisasi tersebut adalah Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI). Informasi mengenai organisasi ini bisa dibaca di Webiste resmi organisasi ini. Sayangnya memang, website ini terakhir di update pada tahun 2015. Tidak ada tanda-tanda update informasi lagi sesudahnya.

Jika ada teman-teman pengurus IPKJI yang membaca postingan ini, mohon websitenya di update, kasian sekali rasanya kami sebagai pembaca di Daerah, tidak kebagian informasi mengenai perkembangan organisasi ini lagi.

Baiklah, mari kita lanjut pada topik utama dari tulisan ini.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pengurus besar IPKJI pada tahun 2015 dengan menggunakan metode survey terhadap 33 institusi pendidikan keperawatan negeri dan swasta baik D3, S1 Keperawatan, S2 Keperawatan dan S3 Keperawatan di Indonesia, dengan menggunakan format kuesioner perkembangan pendidikan keperawatan jiwa yang dikembangkan oleh IPKJI tahun 2010 dan selanjutnya disempurnakan tahun 2015, diperoleh hasil sebagai berikut:

Perlu diperhatikan bahwa saya akan merangkum hasil penelitian ini dalam bentuk poin-poin (number), saya hanya menitikberatkan pada isu-isu yang saya anggap perlu menjadi perhatian kita bersama. Silahkan untuk merujuk pada hasil penelitian/sumber tulisan ini yang asli (link-nya sudah saya sertakan juga).

  1. Pengajar untuk pendidikan keperawatan jiwa dengan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi masih banyak dipegang oleh mereka dengan latar belakang pendidikan minimal sarjana keperawatan sebanyak 40 %. Saya harap setelah berlalunya waktu, angka ini sudah berubah, terutama sudah dibukanya program master keperawatan jiwa di universitas selain di Universitas Indonesia dan sudah semakin meningkatnya pemilik gelar Master Keperawatan Jiwa di Indonesia.
  2. Keterbatasan fasilitas terutama terkait dengan sarana laboratorium Keperawatan jiwa di Institusi pendidikan Keperawatan. Alasannya adalah karena 1) laboratorium yang ada masih terintegrasi dengan sarana laboratorium mata ajar yang lain, 2) keterbatasan kemampuan instirusi dalam anggaran dan kurangnya dukungan pimpinan/Yayasan.
  3. Masih ada beberapa institusi sekolah keperawatan yang tidak menerapkan asuhan keperawatan psikososial di Rumah Sakit Umum atau Komunitas dengan alasan, 1) keterbatasan RSU/PKM dalam menyediakan pembimbing Klinik/pembimbing lahan yang mampu memberikan bimbingan terkait dengan masalah psikososial, 2) perbedaan persepsi antara pihak pihak institusi dengan lahan praktek tentang kompetensi yang dicapai, dan 3) respon negatif dari masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.
  4. Metode pembelajaran keperawatan jiwa yang masih diterapkan adalah ceramah, diskusi kelompok, role play, bed side teaching sampai praktek klinik maupun praktek lapangan. Pembelajaran keperawatan komunitas atau metode terjun langsung ke lapangan untuk menggali masalah dan mencari solusi harus menjadi hal utama yang semakin banyak digiatkan dalam pembelajaran kepada mahasiswa//I calon perawat jiwa kedepannya.
  5. Masih 64 % Institusi pendidikan yang memberikan kesempatan stafnya untuk mengikuti workshop keperawatan jiwa dan masih 27% yang memberikan kesempatan bagi stafnya untuk mengikuti pelatihan soft skill keperawatan jiwa. Institusi pendidikan masih belum membuka lebar kesempatan bagi stafnya untuk mendalami hal-hal yang berhubungan dengan asuhan keperawatan jiwa.
  6. Hanya sebanyak 7 institusi sekolah keperawatan yang stafnya melakukan praktik mandiri, yang terintegrasi baik dengan profesi kesehatan lain (klinik bersama) maupun bersama staf pengajar spesialis lainnya seperti memberikan konseling bagi masyarakat binaan kampus. Pengajar atau dosen ilmu keperawatan ternyata juga harus aktif untuk membuka praktik mandiri, menyeimbangkan teori dan praktik.
  7. Kurangnya sarana berupa Forum komunikasi antara pengajar keperawatan jiwa di wilayah (Provinsi) masing-masing. Hal ini dikarenakan hanya 36% institusi yang melaporkan melakukan forum komunikasi dengan intitusi pendidikan lainnya baik dengan pertemuan insidentil (tidak secara formil) melalui pertemuan saat pelatihan dan komunikasi seluler (grup pengajar jiwa di media sosial WA). Penyebab dari masalah ini adalah Belum optimalnya peran IPKJI dalam menjembatani forum komunikasi pengajar keperawatan jiwa.
  8. Pelaksanaan praktek klinik keperawatan jiwa dirasakan belum optimal karena belum optimalnya koordinasi antara institusi pendidikan dengan intitusi pelayanan. Hal ini disebabkan pertemuan antara institusi pendidikan dengan pelayanan (lahan praktik) hanya memaparkan penyampaian proposal pengajuan praktek dan pembahasan MoU, tidak sampai dengan pembahasan yang lebih dalam (kompetensi yang dicapai, persamaan persepsi SAK, dan sebagainya).

Demikianlah hasil penelitian yang saya rasa sangat berharga untuk kita sekalian, perawat jiwa baik yang bekerja di di sekolah ataupun di klinik. Kita perlu memperhatikan masalah ini secara serius. Saya berhasil merangkum masalah-masalah ini menjadi delapan hal penting yang untuk selanjutnya harus kita carikan solusinya, harus kita pikirkan bersama-sama.

Sebagai tambahan, saya akan meng-copy hambatan pelaksanaan praktik keperawatan jiwa di institusi pendidikan keperawatan di Indonesia menurut sudut pandang pengajar yang diperoleh dari hasil penelitian yang sama,

Hambatan Pelaksanaan Pendidikan Keperawatan Jiwa di Indonesia

Demikian postingan saya untuk kali ini, jika ada yang ingin didiskusikan mengenai topik ini, silahkan untuk meninggalkan komentar pada kolom komentar yang sudah disediakan. Mari berpikir dan berusaha untuk mencari solusi pemecahan masalah demi kemajuan bersama, semangat !.

Iklan

7 pemikiran pada “Implementasi dan Hambatan Pendidikan Keperawatan Jiwa di Indonesia

  1. Ia, benar sekali, Mas Faisal.

    Perawat jiwa adalah perawat yang mengkhususkan diri pada bidang perawatan kesehatan untuk mereka dengan masalah kejiwaan.

    Suka

  2. Dulu sekali di Indonesia, tahun 90an rasanya, ada memang yang langsung D3 Perawat Jiwa, hampir sama seperti D3 Perawat Gigi. Tapi, selanjutnya hilang.
    Untuk menjadi seorang Perawat jiwa, kita harus menempuh pendidikan Keperawatan dasar terlebih dahulu, bisa bergelar d3 (Pendidikan 3 tahun) dan ada juga yang langsung Sarjana plus pendidikan Profesi (Pendidikan bisa sampai 5/6 tahun).
    Nah, kalau di Indonesia, Perawat jiwa itu masih dikatakan mereka yang memiliki pengalaman, setidaknya bekerja atau bergelut di bidang kesehatan dan keperawatan jiwa. Kita akan banyak menemukan perawat seperti ini di Rumah sakit Jiwa atau klinik khusus perawatan jiwa.

    Semoga informasi ini membantu ya,

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s