Susahnya berkata ‘tidak’ pada Boss Sendiri


photogrid_1543211636207621514314359888978.jpg

Oleh, Maria Frani Ayu Andari Dias.

Saya dan sahabat seperti biasanya mengambil hari libur kami dengan nongkrong di kedai kopi kesukaan kami. Kedai kopi ini sederhana dan bercita rasa lokal. Menu yang disediakan di kedai kopi ini berusaha mengangkat kekayaan rasa kopi yang diproduksi oleh pengusaha-pengusaha kopi lokal yang ada di desa-desa. Rasanya benar-benar nikmat, mereka yang sudah menjadi langganan, pasti mengakui bahwa kopi yang disuguhkan di kedai kopi ini, selain nikmat juga membawa rasa bangga dalam setiap tegukannya.

Pemilik kedai kopi kami adalah seorang Emak-emak Gaul yang sangat kami hormati dan cintai pastinya. Sejak Jaman kuliah sampai saat ini, ketika kami masing-masing sudah bekerja, Ia sudah sangat berjasa membuat kami ‘melek’ untuk bisa berkonsentrasi pada mata kuliah yang kami ikuti. Ia juga menyuguhkan kopi enak dengan harga terjangkau yang sangat sesuai dengan kantong kami. Belum lagi, kebaikan hatinya yang memberikan kami kesempatan untuk sekali dua kali berutang ketika kiriman dari kampung belum tiba.

Setelah kami lulus dan bekerja, kami berusaha membalas jasa baiknya dengan mengundang teman-teman di tempat kerja kami untuk nongkrong atau mengadakan pertemuan disini. Ya, kedai ini semakin ramai setiap tahunnya, bangunannya juga sudah diperlebar untuk menjaga ketenangan, kenyamanan dan sekaligus keseruan para penikmat kopi. Hari ini, saya dan sahabat saya kembali datang ke kedai kopi ini, untuk sekedar nongkrong dan menghabiskan waktu senggang kami, ya sebelum pekerjaan datang dan kami tidak memiliki waktu lagi untuk menikmati hari yang menyenangkan.

Sebelum mencapai kedai kopi, saya dan sahabat saya sebenarnya sedang membicarakan topik mengenai perilaku politik yang menjadi sangat hangat-hangatnya saat ini. Tapi, ketika sudah sampai di kedai kopi, entah kenapa topik menjadi berubah, saya menduga ini karena efek dari lingkungan kedai kopi yang pada saat ini sedang memutar lagu lawas yang teduh dan sangat santai.

Kawan, kau tahu bahwa saya sudah lama menyadari bahwa saya mengalami masalah dengan kepercayaan diri. Kadang, saya harus mengakui bahwa saya sering mengalami bentrokkan dengan diri sendiri ketika harus berkata ‘tidak’ pada keinginan dan kehendak orang lain atas diri saya” kata sahabat saya membuka percakapan kami hari ini.

Saya tidak memberikan balasan pendapat, saya hanya menunjukkan ekspresi yang kira-kira ingin mengatakan, “ Ayoo..cerita lagi”. Sahabat saya sepertinya mengerti dengan apa yang saya pikirkan, Ia lalu melanjutkan.

Akhir-akhir ini, saya mengalami hal yang sangat tidak nyaman, lagi. Saya mengalami kesulitan untuk mengatakan ‘tidak’ pada permintaan orang lain atas diri saya. Saya betul-betul merasa kacau setelah merenungkan mengenai hal ini!”.

Lalu, apa yang terjadi ?” Tanya saya penasaran.

Ya, saya merasa kacau. Saya memberi diri saya sendiri waktu untuk memproses perasaan yang saya alami, mempelajarinya dan mengambil pelajaran darinya“ Jawab sahabat saya.

Saya tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab pernyataan sahabat saya ini. Melihat aura wajahnya yang berada dihadapan saya saat ini benar-benar membuat saya juga ikut merasa kacau. Memberikannya nasihat saat ini pun mungkin presentasi kegagalannya adalah 60 %.

Apakah ini adalah hubungannya dengan Bos-mu ?” Tanya saya, sekaligus menerka kemungkinan yang terjadi.

Ya, saya ingat betul beberapa waktu yang lalu, mungkin sudah cukup lama, sahabat saya pernah menceritakan mengenai jalinan hubungan yang tidka sehat antara Ia dan Bos-nya ditempat kerja. Jalinan itu juga menjadi tidak sehat sampai pada kehidupan sosial harian. Bos sahabat saya ini, dinilai terlalu overpower and bossy. Tapi juga sangat kasihan dimata sahabat saya, karena sahabat saya ini terlalu baik hati menurut saya.

Ya, kau benar. Ini ada hubungannya dengan Bos saya. Kali ini, Ia terang-terangan meminta saya untuk melakukan hal yang saya yakin dia tahu bahwa saat ini saya belum benar siap untuk melakukannya. Saya merasa terluka dan tersinggung, ya..untuk pertama kalinya saya menolak dan tidak setuju dengan apa yang Ia rencanakan untuk hidup saya. Saya juga marah, karena Ia masih menganggap saya bawahannya yang bisa Ia atur hidupnya seenak dirinya “ Kata sahabat saya.

Saya memperhatikan dengan seksama perubahan perasaan dan juga perubahan nada suara ketika Ia menceritakan hal ini. Saya paham bahwa ketika Ia mengatakan kata, “..Terluka., Tersinggung..Marah..” Ia benar-benar mengatakannya dengan jujur.

Lalu ?” Kata saya, berharap Ia memberikan saya lebih banyak informasi dan penjelasan.

Saya hanya menjawab ‘ saya tidak tahu’, dan menolak untuk membicarakan hal ini lagi. Saya berkonsultasi dengan orang lain, teman satu tempat kerja saya yang saya anggap dan nilai cukup bijaksana untuk membantu saya dalam menghadapi masalah ini. Saya berkonsultasi mengenai pekerjaan yang direkomendasikan oleh Bos saya, dari sini saya bisa mengambil langkah dengan cukup hati-hati, memberikan penilaian sendiri dan tentunya mengambil keputusan yang sumbernya murni dari diri saya sendiri. Saya tidak ingin ada orang lain yang mengambil keputusan untuk diri saya, saya punya hak untuk diri saya sendiri !

Selesai mengatakan hal ini, saya melihat adanya semburat kepuasan dari wajah sahabat saya. Sahabat saya lalu melanjutkan.

Penilaian saya akan Bos saya masih tidak berubah, Ia seumpana ular yang licik dan cerdik ketika berhadapan dengan masalah untuk memenangkan kepentingan pribadinya. Sama seperti kasus ini, Ia meminta saya mengerjakan sesuatu yang setelah saya selidiki ternyata memuat kepentingan pribadi yang sama sekali tidak memberi saya keuntungan yang sepadan. Tentu saja saya menolak untuk melakukannya, apalagi perintah ini memuat dan berhubungan dengan kepentingan ‘pribadi’ dan lebih parahnya, menuntut pengorbanan yang tidak sedikit. Saya tidak ingin jatuh lagi ke lobang yang sama, saya sudah banyak belajar !”.

Sehabis mengatakan kalimat ini, sahabat saya meneguk es kopi yang ada dihadapannya. Ia meneguknya dengan rasa puas dan bersemangat. Hari memang panas saat ini, pendingan ruangan yang digunakan di kedai kopi sepertinya tidak mampan untuk melawan panasnya hari ini. Belum lagi ditambah dengan panasnya isi kepala sahabat saya ini. Ia berjuang dengan sangat baik untuk menghadapi masalahnya, saya bangga. Ia memang pantas mendapatkan es kopi itu, untuk membuatnya tetap waspada dan sekaligus mendinginkan mesin otomatis yang ada dikepalanya sana.

Kami selanjutnya membicarakan hal lain lagi, topik berubah dari masalah berkata ‘no’ pada Bos sendiri ke topik mengenai politik lagi. Topik yang menjadi kegemaran kami berdua akhir-akhir ini. Ketika membicarakan mengenai topik ini, pemilik kedai juga ikut nimbrung, pembicaraan kami menjadi semakin menarik, es kopi satu gelas sepertinya tidak cukup, saya harus menambah satu gelas lagi.

12 pemikiran pada “Susahnya berkata ‘tidak’ pada Boss Sendiri

  1. Mungkin sudah menjadi salah satu kebudayaan Timur sungkan berkata “Tidak” kepada atasan ya, tapi memang sesekali harus mengatakan itu. Selama itu berhubungan dengan profesionalisme, saya rasa nggak ada masalahnya.

    Saya penasaran dengan kedai kopi yang dimaksud, pengen coba es kopinya 🙂

    Salam.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Resiko menjadi bawahan ya seperti itu… apapun ceritanya boss selalu benar… kalo tidak tahan yaudah tinggal resign… hheheh

    Disukai oleh 1 orang

  3. Terima kasih atas komentarnya, Pak.
    Secara profesional, dan dengan berpegang pada nilai-nilai profesionalitas kerja, mau tak mau ya.

    Ini hanya kedai kopi dalam khayalan saya, Pak. Akan sulit menemukan kedai kopi seperti ini ditempat saya tinggal sekarang.

    Salam.

    Suka

  4. Ia Kak, saya setuju.

    Karena meskipun dengan alasan apapun, kesejahteraan fisik juga harus tetap diperhatikan.

    Terima kasih sudah mampir, Kak.

    Suka

  5. Setelah membaca postingan kakak, saya jadi terbayang sosok Mark Manson. Ia pernah bilang bahwa, di waktu tertentu, kita perlu curiga terhadap orang lain. Rasa itu tidak berarti kita mengintimidasi orang lain, tapi kita lebih setuju untuk menghargai diri kita sendiri. Setiap orang memiliki pilihan dalam setiap keputusannya, antara ‘iya’ dan ‘tidak’. Saya jadi berpikir, mengatakan ‘tidak’ merupakan salah satu cara menghargai personalia kita untuk beberapa kesempatan. It’s such great. Regard, Muhsin

    Disukai oleh 1 orang

  6. Ia, akan lebih baik demikian, sih Kak ya..

    Tapi, setiap orang berbeda-beda, ada yang memang sangat sulit mengatakan ‘yes’ atau ‘no’ secara langsung, memendam dan membiarkannya berlalu begitu saja.

    Suka

  7. Terima kasih, Muhsin.

    Luar biasa sekali komentar ini. Salut !
    Ya, mungkin demikian, tergantung prioritas kita juga kan ya. Apakah kita memprioritaskan diri kita sendiri dalam artian kesehatan psikologis kita dalam bekerja atau tidak ?. Atau kita adalah orang yang terus menerima dan hanya menerima dari atasan?

    Suka

  8. Tidak ada salahnya berkata “tidak”, karena ini juga berhubungan dengan profesionalisme kita. Kalau semuanya dijawab dengan “ya”, jadinya bakal ada pekerjaan yang keteteran, atau mungkin malah jadi harus sering lembur, dan kalau akhirnya tidak selesai, nama dan performa kita juga kan yang akhirnya kena. Apalagi kalau pekerjaan yang diterima itu bukan semata-mata untuk urusan pekerjaan saja, tapi juga ada kepentingan pribadinya. Jadi makan hati! 😛 .

    Disukai oleh 1 orang

  9. Terima kasih, Kak. Saya setuju. Kita memang harus bertanya pada diri sendiri dulu sebelum menerima atau menolak pekerjaan tertentu dari Bos. Harus disesuaikan dengan banyak faktor dalam standar kerja kita juga. Masukan yang luar biasa, kak.

    Sekali lagi terima kasih dan terutama, terimakasih karena sudah berkunjung.

    Suka

Tinggalkan komentar