Sore itu, saya dan sahabat saya seperti biasa menutup hari kerja kami dengan menghadiahkan diri sendiri secangkir minuman hangat di Kedai Kopi langganan kami. Saya lebih memilih teh-susu, karena saya berniat untuk segera mandi dan beristirahat setelah ini. Sedangkan sahabat saya, seperti biasa lebih memilih secangkir kopi hangat, saya dengar dia mengatakan cappuccino ketika saya beranjak ke tempat duduk untuk segera melemaskan otot-otot kaki. Hari ini benar-benar berat, dari pagi sampai sore hari ini, saya seperti mesin yang terus saja berdiri, saya bahkan tidak ingat kapan saya duduk hari ini. Apakah saya ada duduk, hari ini ?. Ah, Rumah sakit begitu sibuk.
Saya sengaja memilih tempat duduk dengan busa tempat duduk paling nyaman. Saya hampir hafal semua rasa tempat duduk di kedai kopi sederhana ini. Saya dan sahabat saya terlalu sering ke sini, bahkan seingat saya, saya bahkan tidak pernah pergi sendiri ke kedai kopi ini. Saya selalu ke sini bersama sahabat saya.
Duduk nyaman, memejamkan mata saya sedikit lalu mengikuti tarikan nafas saya sendiri. Saya melakukan ini agar bisa rileks sedikit. Otak saya rasanya penuh, saya sedikit merasa sesak karena beban pekerjaan hari ini. Ketika memejamkan mata, sayup saya dengar lirik lagu yang cukup familiar. Tapi, saya lupa siapa penyanyinya dan apa judul lagunya.
Masih ada perasaan yang tak menentu di hati,
Bila ingat sorot matamu yang kurasa berbeda
Oh, janganlah terjadi yang selalu kutakutkan
Beribu cara ‘kan ku tempuh
Oh, cintaku kumau tetap kamu yang jadi kekasihku, jangan pernah berubah
Selamanya kan ku jaga dirimu, seperti kapas putih di hatiku takkan kubuat noda
“Marcell – Jangan Pernah Berubah” Kata sebuah suara yang membuat saya membuka mata. Itu suara sahabat saya yang datang dengan membawa minuman pesanan kami.
“Ia, ini adalah lagu ketika saya masih sangat muda. Lupa-lupa ingat!” Kata saya, sambil segera mengambil minuman dari nampan yang dibawakan oleh sahabat saya. Untung juga sahabat saya membawa serta segelas air mineral, Ia tahu saya pasti akan sangat membutuhkannya. Sahabat terbaik.
“Pertama kali mendengarkan lagu ini, kata pertama yang ada dalam pikiran saya adalah ‘obsesi’ dan sedikit warna ‘posesif’. Perasaan Cinta yang berlebihan dan sangat tidak sehat menurut pandangan saya“ Kata Sahabat saya. Saya belum bisa memberikannya respon karena saat ini, saya sedang sibuk menikmati minuman yang ditawarkan kepada saya.
Sahabat saya sepertinya tidak mempedulikan respon yang saya berikan. Ia terus saja mengoceh.
“Pernah beberapa kali saya berhadapan dengan kasus ini. Orang yang saya temui adalah mereka yang menjadi korban cinta seperti ini dan ada juga yang merupakan ‘pelaku’ aktif yang menyimpan rasa cinta obsesif dan posesif” Lanjut sahabat saya.
Ketika saya sudah selesai menyegarkan tenggorokan. Saya lalu memberinya respon.
“Menurutmu, apakah lagu ini menceritakan mengenai cinta yang obsesif atau posesif ?”
“Sulit untuk menentukan apakah ini obsesif atau posesif. Tapi, anggap saja keduanya” Jawab sahabat saya ringan, seperti tidak ada beban ketika mengatakannya. Ia meninggalkan saya dengan respon terheran-heran. Bagaimana mungkin dia bisa berpikir demikian benak saya.
Obsesi sendiri dapat diartikan sebagai perasaan, pikiran, kehendak bahkan perilaku yang mengarah pada hanya satu benda, satu tujuan atau satu orang. Kalau bisa digambarkan, ini adalah perasaan, pikiran dan perilaku dimana kita kelewat ‘penasaran’ dengan objek yang kita targetkan. Reaksi yang kita berikan ini, hampir mirip seperti orang yang mengalami adiksi. Kita seperti “tidak mampu hidup’ tanpa objek ini. Bisa digambarkan bahwa, objek ini seakan adalah alasan mengapa kita masih hidup dan bertahan sampai Sekarang. We are craving for more and more! Ketika kita menggalami obsesi. Obsession is intoxicating!
Obsesi kebanyakan terjadi pada mereka yang sering merasakan ‘kosong’ sebelumnya. Kosong dalam artian, sunyi-sepi sendiri, tidak memiliki tujuan, hampa. Lalu, sebuah objek tiba-tiba datang dan mengisi kekosongan ini, perlahan objek ini menjadi alasan untuk menghidupi kekosongan yang kita rasakan. Perasaan obsesi kadang bahkan mampu membuat kita memiliki tujuan dan bahkan membuat kita merasa seperti tidak terkalahkan.
Posesif sendiri dapat diartikan sebagai penguasaan, menguasai dan menginginkan untuk menjadi milik. Sifat ini nampak tidak baik karena ‘keegoisan’ yang ditanamkan oleh perasaan ini pada mereka yang memilh untuk menjadi posesif dengan suatu objek. Ada unsur keterpaksaan yang terkandung dalam sifat posesif.
Saya terdiam sejenak untuk memikirkan kembali mengenai obsesif dan posesif. Saya merasa sedikit tidak setuju dengan pendapat sahabat saya, tapi kalau diliat kembali, obsesi dan posesif keduanya seakan berjalan beriringan. Lagu yang saat ini kami dengarkan bersama para pengunjung lain, seakan menyiratkan mengenai dua konsep berbeda ini. Obsesif dan posesif begitu sangat melekat dalam setiap alunan kata-katanya. Saya sempat berpikir, apakah benar apa yang kami pikirkan ini, apakah benar bahwa pencipta lagu ini memang menginginkan pendengarnya mengartikan seperti yang kami pikirkan.
Saya terdiam cukup lama, sahabat saya juga demikian nampaknya. Ia seperti sedang berpikir, mungkin saja berpikir tentang diagnosa cepatnya tentang lagu yang kami dengarkan ini.
“Mereka yang memilih untuk menjadi obsesif dan atau posesif seakan menjual jiwa mereka pada sesuatu yang tidak mereka kenal. Tiba-tiba saja merubah diri mereka menjadi orang lain, kepribadian yang baru. Ya, banyak yang mengatakan bahwa ada beberapa orang yang mulai menyadari apa yang mereka lakukan dan mengakui bahwa mereka ‘seperti orang yang berbeda’ dan ‘itu bukan mereka’ setelah mereka melepaskan diri dari keadaan obsesif-posesif “ Kata sahabat saya.
Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa, tidak seperti saya. Sahabat saya sama sekali tidak mempersoalkan mengenai diagnosa cepat yang Ia utarakan tadi. Ia begitu percaya diri dengan perkataannya. Sekarang, Ia bahkan membuat saya harus berpikir untuk menanggapi apa yang baru saja Ia katakan.
“Menyedihkan”.
Belum selesai upaya saya untuk merumuskan kalimat dan memberikan jawaban. Sahabat saya sudah datang dengan sebuah kata yang seakan menyimpulkan maksud pembicaraannya (dan juga pembicaraan kami).
Saya harus berpikir sejenak mengenai apa yang baru saja saya dengar sebelum saya memutuskan kalimat apa yang harus saya berikan kepada sahabat saya,
“Okay, sebelum kita jauh melangkah pada kesimpulan. Tolong bantu saya untuk memahami, mengapa lirik lagu ini menjelaskan mengenai perasaan cinta yang obsesif dan posesif ?. Saya merasa bahkan lirik lagu ini hanya menggambarkan rasa posessif yang dimiliki oleh si penyanyi. Atau mungkin saja kita berdua keliru” Kata saya kemudian. Setelah sempat berpikir sejenak.
“Sahabat, coba dengarkan baik-baik syair lagunya. Si Pembuat lagu, atau ya katakanlah si Penyanyi, menyimpan rasa obsesi pada kekasihnya. Itulah mengapa Ia sangat ingin terus bersama dengan kekasihnya. Obsesi yang Ia alami juga menjelaskan mengapa Ia begitu cemas ketika ada perubahan kecil di mata kekasihnya. Rasa obsesinya berubah menjadi posesif, bertaut menjadi satu karena Ia sama sekali tidak ingin kekasihnya berubah dan Ia ingin agar hanya Ia yang memiliki kekasihnya. Ia secara egois ingin agar kekasihnya hanya untuknya, bahkan takdir pun tidak boleh memiliki kekasihnya. Apakah sampai sini kau sudah jelas melihat seperti bagaimana saya melihatnya?”
Saya mengambil waktu sejenak, merubah posisi duduk dan memaksa badan saya untuk tetap tenang. Saya baru saja mengalami hal berat di tempat kerja dan pada saat ini, saya berhadapan dengan sahabat yang bukannya membantu saya meredakan gejala stress yang saya alami, tapi malah menambah beban berat di kepala saya.
“Saya harap kita keliru” Akhirnya, kalimat inilah yang saya keluarkan, setelah cukup lama berpikir. Saya tidak bisa menyalahkan pendapat sahabat saya, dan saya juga tidak bisa memaksakan pendapat saya. Saya tidak tahu harus berkata apa lagi. Interpretasi sebuah karya, akan sangat berbeda dengan orang satu dengan orang yang lainnya. Interpretasi ini bersifat subjektif.
“Ya, keliru atau tidak. Lagu ini menyiratkan kesedihan, kemalangan. Saya ingin mengatakan bahwa, si penulis lagu ‘tidak siap untuk kehilangan’, Ya ‘Ia tidak siap menerima perubahan’ “.Kata sahabat saya kemudian.
Saya membenarkan apa yang dikatakan oleh sahabat saya ini.
“Pernah dengar kutipan dari Osho tentang Cinta, Possession dan Appreciation?” Tanya saya kemudian.
“Humm..Tidak” Jawab sahabat saya singkat.
“Osho berkata sesuatu tentang cinta, Ia berkata demikian ‘If you love a flower, don’t pick it up. Because if you pick it up, it dies and it ceases to be what you love. So, if you love a flower, let it be. Love is not about possession. Love is about appreciation’. “ Kata saya kemudian.
Kami terdiam merenungkan kalimat yang baru saja saya ucapkan. Meskipun saya yang mengatakan kalimat ini, saya juga harus merenungkan kalimat ini kembali.
“Ya, saya mengerti mengapa kau berpikir bahwa lagu ini tidak mengisyaratkan obsesi. Tapi, hanya posesif” Kata sahabat saya memecahkan keheningan kami.
Lagu dari Marcell yang berjudul Jangan Pernah Berubah sudah berakhir dan berganti dengan lagu yang berbeda. Tapi, kami masih saja berpikir mengenai lagu Marcell ini.
“Ya, dan saya mengerti mengapa lagu ini begitu menyedihkan” Sambung saya.
“Jika memang cinta, seharusnya Ia pun harus mencintai keadaan dimana Ia sadar bahwa melepaskan, adalah bagian dari mencintai. Tapi, jika cinta pun, melepaskan bukan hal yang menunjukkan cinta. Ah, entahlah. Kita sepertinya tidak bisa memisahkan konsep cinta-obsesi dan posesi. Ketiganya begitu kabur” Lanjut saya.
“Menyedihkan” Kata sahabat saya.
Kami kembali terdiam. Saya melihat sekeliling kedai kopi, orang-orang tidak peduli dengan apa yang kami perbincangkan disini. Tidak ada satupun rasanya yang peduli dengan lagu yang baru saja kami perdebatkan.
Hari ini cukup melelahkan, saya ingin segera menghabiskan Teh Susu yang ada dihadapan saya, lalu pulang kerumah dan langsung bersiap untuk beristirahat. Mungkin dalam istirahat saya, saya bisa lebih jernih memikirkan maksud dari lagu yang menjadi perdebatan kami barusan atau mungkin akan segera saya lupakan.
Saya pun pamit pulang terlebih dahulu, sedangkan sahabat saya, seperti biasanya masih betah berlama-lama di kedai kopi ini. Entah apa yang Ia kerjakan.