Persyaratan untuk menjadi sarjana, Apakah masih perlu menggunakan skripsi?


Negara kita Indonesia, masih umum mewajibkan mahasiswanya untuk mengajukan skripsi sebagai salah satu prasyarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Skripsi ini adalah sebuah laporan hasil proyek yang dikerjakan oleh mahasiswa yang bersangkutan. Proyek yang paling umum dilakukan adalah proyek penelitian. Ya, mahasiswa entah apa bidang keilmuannya, harus dan wajib untuk melakukan sebuah penelitian sesuai dengan bidang keilmuannya dan menuliskan laporannya serta melaporkannya. Tidak tanggung-tanggung, mahasiswa juga diharuskan untuk mempertahankan idenya diharapan para intektual yang professional.

Skripsi, pada awalnya digagas sebagai bentuk sumbangan dalam bentuk ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para scholars atau mahasiswa yang menempuh pendidikan tertentu. Sumbangan ilmu pengetahuan ini menjadi salah satu kunci kemajuan ilmu pengetahuan dan juga kesejahteraan komunitas atau masyarakat . Perlu digaris bawahi, ‘sumbangan’. Hakikatnya sumbangan adalah bersifat sukarela dan dengan hati yang ringan dan lapang.

Tapi, apa yang kita temukan di lapangan sangat jauh berbeda dari konsep awal ini. Skripsi bukan lagi difungsikan sebagai bentuk sumbangan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan menyejahterakan rakyat. Skripsi lebih bisa dikatakan sebagai alat untuk semakin menyengsarakan mahasiswa. Skripsi bahkan dinilai sebagai hal yang sangat menakutkan dan memberi beban. Skripsi juga dinilai hanya sebagai prasyarat untuk lulus, sehingga tidak heran jika kualitas dari skripsi yang dihasilkan oleh mahasiswa di negeri kita kebanyakan hanya berakhir di perpustakaan kampus atau sekedar majang di lemari baca.  Belum lagi, ketika menyusun skripsi, kita seperti belajar ulang lagi dari awal. Masa-masa belajar sebelum menulis skipsi seakan sia-sia. Seperti membuang-buang waktu saja. Tidak heran kalau ada yang beranggapan bahwa kuliah itu esensinya adalah hanya untuk menyelesaikan skripsi saja. Tidak hanya itu, skripsi juga kadang dijadikan sebagai proyek dosen untuk kepentingan kenaikan pangkatnya, kepentingan pribadinya. Kesannya jadi seperti ini, mahasiswa yang mati-matian membuat dan melaporkan hasil penelitian, dan dosen yang menikmati hasilnya secara tidak professional. Miris.

Saya menjadi tidak setuju dengan program skripsi karena alasan ini. Mengapa kita harus memaksa terutama ketika kita memberikan sumbangan ?. Ini bukan lagi sumbangan, tapi harusnya dikatakan ‘kewajiban’. Kita harusnya mengubah predikat yang melekat pada kata ‘skripsi’.

Beberapa negara, seperti contohnya adalah Filipina tidak mewajibkan mahasiswanya untuk mengerjakan skripsi sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana. Mereka memiliki program untuk belajar melakukan penelitian, tapi penelitian yang dimaksud dikerjakan lebih dari satu orang. Penelitian tidak dilakukan seorang diri, tapi dilakukan secara bersama-sama dan juga dilaporkan dalam bentuk laporan kelompok. Apakah mereka melupakan dan melepaskan esensi dari skripsi?.Tidak. Mereka sama sekali tidak melupakan esensi dari skripsi sebagai bentuk sumbangan untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan menaikkan kesejahteraan komunitas dan lingkungan. Mereka sudah melakukannya meskipun memang tidak dilakukan per kepala mahasiswa. Sebagai gantinya, Filipina menerapkan ujian negara bagi seluruh mahasiwa yang ingin mendapatkan gelar sarjana. Ujian negara ini untuk memastikan bahwa mereka memiliki kompetensi yang sama rata dan sesuai dengan yang diharapkan oleh negera, sehingga negara bisa dengan bangga mengakui bahwa mereka pantas untuk menjadi salah satu warga negara yang membanggakan.

Lalu, bagaimana dengan kita di Indonesia? Ya, kita juga melakukan ujian negara dalam artian ujian nasional bagi beberapa mahasiswa program tertentu dan juga menerapkan skripsi sebagai prasyarat untuk setiap mahasiswa. Sebagai contoh adalah pendidikan dokter dan perawat. Dokter harus mengikuti ujian kompetensi dokter sebelum Ia sah mendapatkan gelar sarjana kedokteran dan profesinya. Demikian juga perawat. Seorang perawat tidak bisa mendapatkan surat tanda registrasi perawatnya jika Ia tidak lulus ujian kompetensi perawat. Kalau tidak lulus dari ujian kompetensi, Ia tidak akan bisa berpraktik dan menjadi seorang perawat. Tapi, apakah dokter dan perawat tidak menulis skripsi?. Ya. mereka masing-masing menulis skripsi sebagai prasyarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Itu wajib hukumnya. Tidak menulis skripsi, artinya tidak akan mendapatkan gelar sarjana. Titik.

Lihat, bukankah beban dari mahasiswa kita sudah cukup berat terutama dalam hal pendidikan?. Tapi, apakah beban ini sejalan dengan prestasi yang diukir oleh para mahasiswa/I kita?. Entahlah, saya sulit untuk berkomentar.

………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan pada tantangan 10 kali menulis #katahatichallenge dari #katahatiproduction #katahati.

Tantangan Ke-lima dengan tema, “Unpopular Opinion”.

No hurt feelings, Guys.

7 pemikiran pada “Persyaratan untuk menjadi sarjana, Apakah masih perlu menggunakan skripsi?

  1. Setuju, mbak. Sebagian bahkan malah buat skripsi asal2an, manipulasi data lah atau bayar orang🙄

    Disukai oleh 1 orang

  2. Kalau ada dua kubu di Indonesia, saya akan pilih untuk masuk ke kubu menolak adanya skripsi. Ganti aja jadi penelitian berkelompok. Habisnya akhir dari skripsi apa coba selain masuk perpus, berdebu, trus masuk gudang, trus dibakar (mungkin) ?? :/ entahlah gimana itu nasib 2 eksemplar skripsi saya di kampus huhu

    Disukai oleh 1 orang

  3. Saya berharap, nasip Skirpsi Kak Sekar bisa bermanfaat bagi adik-adik mahasiswa yang saat ini sedang menyusun skripsi. Juga, tidak hanya berakhir di gudang saja.

    Ia, tapi mau bagaimana lagi kita ya. Skipsi itu sudah menjadi kata “Wajib” untuk kita.

    Terima kasih sudah mampir dan memberi komentar Kak Sekar.

    Suka

  4. Kalo menurutku skripsi tetap perlu kak.. karna itu adalah tolak ukur keberhasilan kita sebagai mahasiswa.. jadi kalau lah skripsi ditiadakan apa yang menjadi barometer pencapaian kita sebagai mahasiswa.. sebuah hasil penelitian pun pasti tetap akan ditulis bukan.. Mungkin permasalahan di skripsi ini adalah menghadapi dosen pembimbing yang terkadang tidak kita tahu maunya apa.. 😁

    Kalau bicara soal pendidikan di Indonesia.. mungkin sejak SD kita diharuskan mencapai sebuah standar yang sebenarnya yang tidak semua pelajar butuhkan.. maunya si Indonesia ini diterapkan sejak dini proses belajar mengajar sesuai dengan minatnya.. negara2 di luar khususnya jepang sudah menerapkan itu.. untuk apa seorang anak belajar rumus algoritma, rumus kimia, rumus fisika, dan rumus2 lainnya jika sebenarnya cita2 dia itu ingin jadi penyanyi ??

    Nah kmbali ke masalah awal.. tapi jika jurusan itu adalah passion dan minat kita.. mungkin seberat apapun skripsi itu.. pasti kita akan tetap dengan senang hati mengerjakannya.. 😁

    Maaf agak panjang kak.. 😁

    Disukai oleh 1 orang

  5. Terima kasih sudah mampir dan memberi komentar, Kak. Saya senang membacanya.

    Ya, seberat apapun skripsi, memang harus ‘ada’ dan dikerjakan oleh Mahasiswa. Barometer yang mengatakan bahwa kita adalah ‘mahasiswa’, hum…, mungkin, Kak.

    Tentang pendidikan di Indonesia yang sesuai minat, sayasangat setuju. Setelah besar seperti ini, saya rasanya cukup sadar bahwa saya banyak membuang-buang waktu untuk mempelajari banyak hal yang sebenarnya tidak saya butuhkan pada saat ini. Hahahaha…bagaimana menjelaskannya ya.
    Kita punya banyak pekerjaan rumah untuk pendidikan dasar dan pendidikan wajib untuk negara kita.

    Suka

Tinggalkan komentar