Meskipun saya sudah menyelesaikan ketujuh series movie Harry Potter, saya harus mengakui bahwa sampai saat ini, saya masih belum mengerti betul dengan film ini. Saya masih belum mengerti betul jalan cerita dari kisah Harry Potter sesungguhnya.
Baca Juga: Antara Aku dan Professor Severus Snape
Sahabat saya yang baik hatinya, memberikan saya solusi untuk masalah ini,
“Baca saja bukunya, karena kadang film yang diangkat dari buku, jauh berbeda dari cerita sesungguhnya”.
Saya mengikuti saran ini dan mencari waktu yang tepat untuk membaca satu demi satu series Harry Potter. Benar, seperti apa yang dikatakan oleh sahabat saya, cerita dari buku aslinya sungguh berbeda dari cerita yang dipaparkan dalam movie. Saya bisa mengatakan bahwa saya lebih jelas memahami jalan cerita dari buku ketimbang jalan cerita dari movie hasil adaptasi.
Untuk buku yang saya pilih, saya sengaja mencari buku yang tidak diterjemahkan, alias buku yang ditulis dengan asli penulis. Alasannya sederhana, saya tidak ingin kisahnya berkurang hanya karena terjemahan dan editing yang tidak sesuai. Bukannya saya meremehkan pekerjaan para editor, hanya saja saya sangat menyukai cerita yang original. Sama seperti beberapa buku yang pernah saya lahap sebelumnya.
Ketika membaca sampai kurang lebih seratus halaman, seperti biasanya, saya bisa mengambil beberapa pelajaran yang sangat ingin saya bagikan kepada teman-teman pembaca setia sekalian. Berikut adalah pelajaran-pelajaran yang berhasil saya kumpulkan,
Belajar tentang Resiliency dari Harry Potter
Ketika saya berusaha untuk menyelesaikan serial Harry potter untuk buku pertama, saya sedang dalam tahap menyelesaikan sebuah penelitian keperawatan dengan topik resiliency. Resiliency secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan untuk bertahan dan bounce back terhadap masalah-masalah yang menimbulkan stress dalam hidup. Dalam proses menyelesaikan penelitian ini, saya mengalami sedikit kebosanan (sejujurnya terlalu sering kebosanan ini melanda) dan saya memilih untuk menyalurkan energi bosan saya pada membaca buku. Buku Harry Potter serial pertama, The Sorcerer Stone menjadi pilihan saya yang sangat disengaja.
Harry, pada usianya yang masih sangat muda dan tidak tahu apa-apa (berusia sekitar satu tahun) harus kehilangan kedua orang tuanya dan menjadi yatim piatu. Ia kemudian dikirim secara sengaja ke rumah tantenya (yang merupakan adik kandung dari Ibunya), seorang manusia biasa yang tidak memiliki kekuatan sihir sama sekali (biasa dikenal sebagai Muggle). Ia menjalani masa-masa pertumbuhannya dengan berhadapan dengan keluarga tantenya yang terkesan sangat tidak menyukainya; mengadapi berbagai macam ketidakadilan dan hidup seolah-olah tanpa kasih sayang. Sebelas tahun, Ia bertahan dari keadaan seperti ini. Tapi, Ia tidak pernah benar-benar membenci keluarga tantenya ini.
Ia bisa saja berubah menjadi orang yang sangat jahat, mungkin sama jahatnya seperti Voldemort. Tapi, Ia memilih untuk tidak mengambil jalan seperti ini. Masa-masa penderitaan yang Ia jalani, Ia anggap sebagai masa-masa latihan untuk dapat menjadikannya sebagai seorang penyihir yang sesungguhnya. Dengan didorong oleh keinginan untuk membuktikan diri pada orang lain, Ia cukup beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang luar biasa, yang menariknya ke jalan yang benar.
Kembali, soal 11 tahun masa-masa penderitaan Harry. Dalam bukunya, saya merasa bahwa masa-masa pertumbuhan Harry sungguh sangat tidak adil. Ia sangat tidak dianggap dan Ia menerima keadaan ini tanpa banyak mengeluh dan tanpa banyak protes. Sikap menerimanya inilah yang sangat unik. Sikap menerima dan bertahan inilah yang saya sebut sebagai resilience.
Harry, tumbuh dengan daya resiliency yang sangat alami, berkat pengalaman yang Ia jalani pada masa-masa awal hidupnya. Ia menjadi kuat karena Ia sudah ditempa selama sebelas tahun masa-masa hidupnya, sebelum Ia masuk sekolah sihir ternama di dunia, Hogwarts.
Resilience yang dimiliki oleh Harry menunjukkan kesamaan konsep dengan resilience yang di paparkan oleh beberapa theorist ilmu keperawatan yang membahas mengenai resilience. Resilience dan characteristics yang terkandung didalamnya, bisa terbawa secara genetic dan selanjutnya ditempa selama masa awal-awal hidup.
Resilience yang didukung oleh dukungan social yang baik.
Harry mungkin adalah orang yang tergolong sangat beruntung. Dalam perjalanannya, Ia menemukan sahabat dan kawan yang benar-benar setia dan sangat membantunya. Ia tidak menutup diri tentunya, dan mungkin ini juga adalah bagian dari pembalasan rasa kesepian yang Ia rasakan selama 11 tahun masa awal pertumbuhannya (Ia tidak pernah merasakan benar-benar memiliki tema).
Ia beruntung karena Ia menemukan Weasley sekeluarga dan menemukan salah satu anggota keluarga Weasley dan menjadikannya teman (dan salah satu anggota keluarganya yang selanjutnya menjadi istrinya kelak). Ia juga beruntung, karena sejak awal, Ia sudah dilindungi dan di dukung oleh penyihir-penyikir yang baik hati, yang bersedia untuk membantunya, meskipun bantuan yang diberikan lebih tepat dikatakan untuk memandirikannya.
Dukungan yang Ia Terima di dunia sihir, sangat berbeda dengan dukungan yang Ia Terima di dunia manusia. Hal ini membuat Ia merasa mampu, mampu untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah Ia lakukan. Belum lagi keinginannya untuk bisa membuktikan diri bahwa Ia mampu.
Rasa ingin tahu yang besar, mengantarkannya pada petualangan yang tidak terbayangkan.
Harry, dengan dunianya yang sempit di dunia manusia, membentuknnya menjadi pribadi dengan rasa ingin tahu yang besar di dunia lain, dunia sihir.
Ia benar-benar memanfaatkan kesempatannya untuk menjelajahi dunia baru dan belajar dengan cepat. Meskipun ia nampak sangat ceroboh, tapi keingintahuannya yang besar secara tidak langsung melahirkan keberanian, dan menggerakkan orang-orang disekitarnya untuk mengikutinya.
Tidak pernah merasa takut.
Hal yang paling mengesalkan dari Harry menurut orang-orang yang suka mencari aman mungkin adalah keberaniannya. Ia sungguh anak yang sangat berani! Terutama untuk ukuran anak berusia sebelas tahun.
Keberaniannya mungkin tumbuh karena pengalamannya sebelumnya, Ia berhasil lepas dari maut dan hidup. Perjumpaannya dengan Voldemort ketika Ia basih bayi, (meskipun menyisakan duka mendalam karena harus kehilangan kedua orang tuanya) memberikannya keberanian untuk melakukan apapun yang bisa Ia lakukan. Bahkan Ia tidak merasa takut untuk menghadapi ancaman yang sama untuk yang kedua kalinya. Ia menjadi terbiasa dengan bahaya.
Kesadaran diri
Harry adalah orang yang sangat sadar diri, Ia terus menerus merenungkan apa yang baru saja Ia lakukan. Terkadang malah seperti orang dengan jenis pikiran yang berlebihan.
Kesadaran diri yang dimilikinya, besar kemungkinan terbentuk dari masa-masa awalnya tinggal bersama keluarga tantenya.
Kesadaran diri ini, kadang bisa mencegah Ia melakukan tindakan bodoh. Tapi, juga menjadi senjata bermata dua, menjadikan Ia sebagai orang yang bisa melakukan tindakan-tindakan bodoh yang bahkan nyaris tidak terpikirkan oleh orang lain. Kesadaran diri ini membuatnya mendapatkan teman dan mudah untuk memahami mereka. Betapa hebatnya kesadaran diri yang Ia miliki.
Tidak peduli dengan omongan orang lain
Hal menarik lainnya yang sedikit kontras dengan aspek kesadaran diri Harry adalah ketidakpeduliannya dengan pendapat orang lain. Ia sungguh tidak peduli dengan dampak dan kerusakan yang mungkin dapat Ia timbulkan dari tindakan yang Ia ambil. Selain rasa yang kuat untuk membuktikan diri, Harry menyimpan dendam yang sangat besar terhadap Voldemort.
Harry juga termasuk orang yang sangat focus, focus dengan apa yang Ia kerjakan dan menjadi sangat tidak peduli dengan sekelilingnya kecuali dengan apa yang menjadi tujuannya. Dalam satu atau dua hal, Harry memiliki kesamaan dengan Voldemort dalam hal ini. Mereka sama-sama sangat focus dengan tujuan mereka masing-masing. Bedanya mungkin, Voldemort sangat siap untuk mengorbankan orang lain bahkan mereka yang menaruh kepercayaan padanya. Sedangkan Harry sebaliknya, Ia sanggup mengorbankan dirinya sendiri untuk menyelamatkan orang lain.
Harry, setelah tahu bahwa Ia adalah orang yang sangat penting di dunia sihir, juga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa ada banyak orang yang meletakkan standard yang sangat tinggi padanya. Mereka berharap agar menjadi seperti ini dan seperti ini. Lalu, ketika Harry gagal, banyak orang yang mencemooh dia dan menjauhinya. Harry menanggapi hal ini dengan pembuktian kualitas diri,bahwa Ia selamat dari kematian setelah bertemu dengan Voldemort bukan tidak berarti apa-apa. Harry menunjukkan diri (bukan hanya pada orang lain, tapi pada dirinya sendiri juga) bahwa Ia memang unik dan memang istimewa.
Demikianlah teman-teman beberapa hal yang bisa saya bagikan mengenai pelajaran yang bisa dipetik dari buku pertama Harry Potter.
Bagaimana menurut teman-teman ?
Semoga tulisan ini bermanfaat ya, teman-teman.
Keep writing, keep inspiring!
https://www.instagram.com/p/Bu5uZnPFoIx/
rasa penasarannya kadang membuatnya terlibat masalah yang lebih serius.
SukaDisukai oleh 1 orang
Ia, Sangat setuju dengan pendapat ini, kak. Rasa penasarannya ini yang membuka kisah petualangan menariknya. Ya, kadang itu juga yang membuatnya harus berhadapan dengan banyak masalah, yang tidak hanya merugikan dia, tapi merugikan orang lain hehehe
SukaSuka
Mbak Ayu ingin menjadi seperti Harry dengan semua masalahnya??😂
SukaDisukai oleh 1 orang
Cukup menjadi diri sendiri, Kak.
Tidak berniat menjadi orang lain, kasihan haahaha
SukaSuka
Coba baca novel The Bartimaeus Trilogy + prequel-nya yang berjudul The Ring of Solomon, Mba. (Dan jangan lewatkan setiap catatan kaki yang ada di novel itu). Kalau suka sama Harry Potter, biasanya pasti suka novel ini. Saya pribadi bahkan lebih suka novel yang dikarang oleh Jonathan Stroud ini.
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah, terima kasih atas sarannya ya, Mas.
Akan saya masukan dalam daftar bacaan selanjutnya. Saat ini, saya memang sedang dalam program menyelesaikan bacaan tentang Harry Potter, setidaknya satu buku untuk satu minggu. Saya sudah berhasil menyelesaikan tiga buah buku saat ini, masih tersisa empat buah minggu yang artinya empat minggu. Setelah itu, saya akan mencari buku yang disarankan oleh Mas.
Sekali lagi, terima kasih banyak ya.
SukaDisukai oleh 1 orang
Halo. Hadir di sini dari rekomendasi related post menyangkut Harry Potter. Suka waktu tahu Mbak tertarik untuk baca Potter setelah dibuat ga paham oleh filmnya. Di lingkungan saya ga banyak yang tertarik untuk tahu lebih jauh padahal juga ga paham sama film yg dengan segala keterbatasannya harus memangkas banyak hal, contohnya Harry sendiri yg di film lebih menonjolkan kemandirian Harry sementara di buku lebih menunjukkan perjalanannya dengan dibantu banyak orang di kehidupannya. Tapi memang dasarnya film dan buku beda ya, bagai air dan es.
Oh ya, saya juga setuju dibagian baca buku asli lebih greget daripada terjemahan, tapi menurut saya versi terjemahan Harry Potter layak dicoba, Mbak. Penerjemahnya mendiang Ibu Listiana Srisanti. Saya suka cara beliau menerjemahkan bahasa sehari-hari remaja inggris jadi percakapan bahasa indonesia yg luwes. Sampai sekarang saya masih suka buka buku terjemahannya dan membandingkan dengan versi asli. Bagus untuk belajar terjemah yang baik hehe
SukaDisukai oleh 1 orang
Hi, Mbak. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan pesan. Wah, saya senang sekali bisa menemukan satu orang lagi penggemar novel fenomenal ini.
Sampai sekarang, saya masih belum menyelesaikan semua bukunya looo, malah lari ke buku lain heee
Terima kasih atas sarannya, Mbak. Benar, setelah menerbitkan tulisan ini, saya pun diberi pinjaman buku terjemahan serial Harry Potter oleh sahabat saya. Dia juga punya intensi yang sama dengan Mbak, sama-sama ingin menyadarkan saya bahwa saya harusnya jangan menganggap remeh karya terjemahan, karena karya terjemahan pun dikerjakan dengan sepenuh hati.
Saya tidak memperhatikan nama penerjemah karya ini, terima kasih banyak ya. Saya jadi tahu mengenai Ibu Listiana Srisanti. Semoga beliau dapat beristirahat dalam damai dan surga-Nya. Amin.
SukaSuka