Belajar kemampuan untuk BERSABAR: Sebuah Refleksi.


Patience in times of stress fosters peace of mind instead of anger” (Toni Bernhard J.D).

Bagi orang yang memiliki sifat ‘tidak sabaran’, keadaan ‘menunggu’ adalah musuh terbesarnya!

Sungguh, bagi orang yang tidak sabaran, kegiatan menunggu adalah kegiatan atau aktivitas yang paling dibenci, paling buang-buang waktu dan paling sering dimusuhi.

Apakah kamu termasuk orang yang tidak sabaran ?

Saya, Ya! Saya adalah orang yang sangat tidak sabaran!. Saya akui dengan sadar salah satu sifat buruk saya ini, dan saya memiliki dua pandangan berbeda terkait dengan keadaan ini. Tidak sabaran bisa memberikan keuntungan, tapi juga bisa memberikan ketidakberuntungan juga.

Okay, Singkat cerita, ketika saya diutus untuk mengikuti sebuah kegiatan yang akan memakan waktu yang cukup lama, alih-alih meminta doa untuk diberi berkah kepintaran dan kelancaran dalam melangsungkan aktivitas, saya lebih memilih untuk didoakan agar mendapatkan berkat ‘kesabaran’ untuk menjalani setiap prosesnya. Saya tahu betul bahwa saya bukanlah orang yang sabar dalam menghadapi setiap masalah. Saya tipikal orang yang akan segera menghancurkan kepompong untuk memaksanya segera menggerakkan kakinya dan terbang. Proses metamorphosis kupu-kupu sungguh adalah proses paling tidak saya sukai (dan yang paling tidak saya mengerti, otak saya selalu bertanya “why” dan “how”).

Saya menyadari bahwa saya adalah orang yang demikian.

Saya tidak bisa menunggu sesuatu tanpa memahami dengan pasti apa yang sebenarnya saya tunggu, saya tidak bisa diam!. Saya adalah orang yang tidak bisa menunggu dalam diam, saya harus melakukan sesuatu dan memanfaatkan waktu yang saya miliki dengan sangat bijak!

Tidak ada yang namanya buang-buang waktu!

Trust me, saya belajar pelajaran yang sangat mahal mengenai manfaat waktu hampir dalam seluruh perjalanan hidup saya.

 

Definisi

Patience, jika dilihat di kamus menunjukkan arti seperti ini,

the capacity to accept or tolerate delay, difficulty, or annoyance without getting angry or upset”.

Dari jabaran definisi ini kita dapat menemukan bahwa terdapat tiga hal penting yang harus bisa dikuasai dan dilewati oleh mereka yang masuk dalam kriteria sabar. Ketiga hal penting ini adalah kemampuan untuk mampu menghadapi1) delay, 2) difficult dan 3) annoyance.

Cerita sedikit,

Beberapa waktu yang lalu, saya diminta untuk menunggu seseorang (orang yang cukup penting). Janji jam 9 pagi, saya sudah tiba di tempat janjian sudah kurang lebih 15 menit sebelum waktu janjian. Saya menunggu. Tapi, ternyata setelah lewat jam 9 pagi, saya mulai gelisah. Saya tidak menyangka kalau saya harus menunggu satu jam, untuk dapat bertemu dengan orang ini.

Selama menunggu kedatangan orang (penting) ini, rasa kesal saya memuncak!. Saya mulai membentuk pikiran-pikiran negative yang sangat tidak baik. Saya juga mulai memaki dalam hati. Rata-rata makian saya adalah mengenai ‘sangat tidak disiplin dan sangat tidak menghargai waktu’ terhadap orang yang saya tunggu ini. Terlepas dari seberapa pentingnya orang ini, nilai dia dimata saya mulai jatuh, hanya karena tidak tepat waktunya orang ini. Bahkan, tidak ada sedikitpun konfirmasi mengenai perubahan waktu pertemuan.

Awalnya, Setelah menit yang ke-lima belas dari jam 9 pagi, saya memutuskan untuk menyibukkan diri dengan hal lain, diluar menunggu orang ini. Saya sudah melepaskan keinginan saya untuk bertemu dengan orang ini dan saya sudah tidak tertarik lagi untuk membicarakan apa yang seharusnya saya bicarakan dengan orang ini. Saya tahu, saya sangat tidak bijaksana. Saya seharusnya memaklumi dan bersikap diam dan tidak terlalu memperpanjang masalah. Tapi, maaf, saya bukan orang yang demikian. Sejak beberapa tahun silam, saya belajar dengan sangat bahwa waktu itu sangatlah berharga. Mencuranginya adalah hal yang paling saya sesali dan saya bertekat untuk tidak mengulanginya lagi.

Saya sungguh tidak sabaran!

Berbeda dengan sahabat saya yang dengan tenang dan diam menerima keterlambatan ini, saya sama sekali tidak!. Saya langsung saja berubah menjadi seperti ulat kepanasan yang tidak bisa diam dan mulai memberikan komentar-komentar pedas yang saya sesali akhirnya.

Perumusan masalah

Setelah kejadian itu, saya pulang ke rumah dan mencari waktu tenang. Pada saat itulah saya merenungkan mengenai hal ini. Saya melihat kembali peristiwa ini dengan memutar ulang dan ulang setiap segment kejadian dalam kepala saya. Lalu, saya mengambil satu kesimpulan, “Saya memang orang yang tidak sabaran”.

Nah, berdasarkan cerita ini, teman-teman sekalian bisa sangat jelas melihat bahwa ada ‘masalah’ dengan saya. Masalah tersebut tergambar dari ketidakmampuan saya untuk berhadapan dengan keterlambatan (dalam cerita diatas adalah penundaan waktu bertemu), kesulitan akibat ketidakdisiplinan waktu dan perasaan yang muncul setelah itu (Saya merasa seperti dihina, karena pelanggaran janji bertemu. Saya merasa harga diri saya diabaikan).

Perjalanan untuk menyadari masalah

Perjalanan untuk menyadari mengenai moment ketidaksabaran ini, saya tuangkan dalam tulisan sederhana ini. Seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya sangat berharap agar tulisan ini dapat menjadi pengingat bagi saya pribadi dan juga bagi teman-teman yang memiliki masalah yang kurang lebih sama dengan saya. Saya harap, kita sekalian bisa mengambil pelajaran dari setiap kejadian atau pengalaman seperti ini.

Menghubungkan dengan kejadian-kejadian lainnya.

Saya menyadari bahwa ini bukan untuk pertama kalinya saya mengalami hal seperti ini. Saya marah, saya kesal dan saya merasa protes dengan kejadian yang kurang lebih terjadi seperti ini juga sebelumnya.

Saya pernah begitu sangat kesal karena menyadari bahwa menulis untuk publikasi ilmiah itu ternyata sangat berbeda dengan menulis di blog. Come one, guys! Saya memang masih sangat lugu waktu itu. Saya juga begitu sangat kesal karena mengetahui bahwa Bahasa Indonesia saya ternyata masih selevel anak Sekolah dasar. Ini berdasarkan pengakuan seorang sahabat saya yang merupakan seorang guru Bahasa Indonesia dan pecinta sastra Indonesia. Bisa dibayangkan betapa sangat kesalnya saya, bukan?.

Saya kesal, saya marah dan saya menjadi sangat tidak sabaran. Beberapa hal ini saling kait mengait dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Saya menyadari bahwa beberapa trigger ini, melukai harga diri saya. Saya tidak bisa mengelak bahwa meskipun dalam keadaan seperti ini, saya masih memiliki harga diri. Jika saya tidak salah mengingat, dalam film-film lawas Bollywood, harga diri begitu sangat dijunjung tinggi. Bahkan diatas cinta sekalipun. Saya sangat terpengaruh dengan pandangan dari film-film Bollywood ini sepertinya (sangat malah).

Self-diagnose: Pikiran yang tidak sabaran, salah satu contoh tanda dari pikiran yang dilanda penyakit cemas berlebihan.

Entah karena saya memiliki pikiran cemas yang berlebihan atau karena dosis kafein yang terlalu berlebihan, maka saya menghasilkan pikiran yang sangat tidak sabaran ini.

Tapi, ada beberapa informasi yang saya dapatkan, yang menunjukkan bahwa ada korelasi yang positif antara pikiran yang tidak sabaran dengan pikiran cemas yang dimiliki oleh individu.

Rasa cemas adalah emosi paling tua, sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri (ketika Ia menyadari bahwa Ia adalah bagian dari planet ini). Perasaan cemas atau was-was, adalah bagian yang sangat tidak bisa dipisahkan dari respon untuk bertahan hidup dan melindungi diri dari ancaman yang mungkin saja bisa membunuh dan memberi rasa sakit kepada individu yang dirasakannya. Sayangnya memang, orang yang memiliki kecemasan yang berlebihan secara kasat mata memiliki ‘ancaman’ ini terus menerus atau menganggap bahwa ada ancaman terhadap diri mereka terus menerus (padahal kenyataannya tidak).

Nah, bisa dibayangkan bukan betapa sangat tidak nyamannya orang dengan masalah kecemasan ?. Ya, orang dengan kecemasan seperti ini akan merasakan kelelahan yang terus menerus (Bagaimana tidak, mereka harus dan dipaksa untuk terus siaga selama mereka ‘sadar’). Ini adalah gambaran keadaan yang sangat tidak nyaman. Serius! Sangat tidak nyaman!

Rasa tanggung jawab yang besar (dan kelewat besar)

Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, saya tidak bisa mengelak bahwa saya adalah seorang anak yang penuh dengan tanggung jawab. Kedua orang tua saya, sejak kecil sudah meletakkan tanggung jawab untuk membantu dan mengurus kedua adik kecil saya dan saya sudah menerima tanggung jawab ini sejak kecil.

Saya juga menilai bahwa tanggung jawab adalah nilai penting yang sungguh sangat penting. Orang yang keren bagi saya adalah orang yang bertanggung jawab terhadap apapun yang Ia kerjakan. Terhadap apapun yang Ia hadapi.

Ketika saya masih kecil, pelanggaran atas tanggung jawab ini menyebabkan ketidakpuasan dari kedua orang tua saya. Saya kemudian mendapatkan efek dari ketidaknyaman ini, bisa dalam bentuk kemarahan dari kedua orang tua saya atau pengabaian dari kedua orang tua saya, dan kejadian ini adalah hal yang sangat tidak nyaman bagi saya.

Jika melihat ke masa lalu seperti ini, teman-teman yang membaca ini mungkin akan berpikir bahwa, “Betapa sangat menyedihkannya masa kecilmu”. Saya tidak bisa tidak setuju dengan pernyataan seperti ini. Karena, kalau dilihat lebih dekat lagi, ini benar-benar apa yang terjadi. Saya memang berada dalam keadaan yang sungguh dan sangat menyedihkan (sangat malah). Saya tumbuh dengan kepedulian dan kepekaan yang sangat terhadap setiap peristiwa hidup yang saya miliki. Saya mungkin berhasil melakukan pengalihan disana dan disini, tapi saya tidak pernah berhasil membohongi apa yang saya rasakan (terutama terhadap perasaan yang saya rasakan).

Ini mungkin adalah derita anak pertama (kali yaaa). Maaf jika saya terlalu emosional.

 

Mengurangi masalah secara perlahan-lahan

Bernafas

Ini mungkin adalah hal paling sederhana dan paling saya anjurkan untuk mengontrol rasa kesal dan mungkin marah yang keluar karena ketidakmampuan untuk mengontrol rasa tidak sabar dalam diri.

Bernafas.

Kadang, karena terlalu konsentrasi menghadapi masalah yang ada di depan mata, kita bahkan lupa untuk sekedar bernafas. Bukan dalam artian bahwa kita tiba-tiba saja mengalami henti nafas dan (maaf) meninggal. Tapi, bernafas yang dimaksudkan disini adalah mengatur pola nafas teratur dan normal.

Sudah merupakan fakta bahwa ketika kita marah atau kesal, terjadi peningkatan kerja otot-otat nafas yang menyebabkan kita kehilangan kendali terhadap keteraturan irama nafas kita biasanya. Kembali seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, reaksi fight and flight.

Nah, jika tiba-tiba saja kita menjadi kesal karena perasaan tidak sabarnya kita, lalu berubah menjadi marah dan sebagainya. Ingatlah ini, bernafas. Bernafaslah dengan teratur. Hitung saja dalam hati, perlahan, konsentrasi pada pergerakan otot-otok nafas. Rasakan udara yang masuk ke dalam paru-paru dan juga sebaliknya ketika meninggalkan paru-paru.

Rasakan bedanya.

Bersosialisai dan perluas rasa tenggang rasamu dengan orang lain

Sampai saat ini, saya percaya bahwa solusi ‘makan siang’ atau menyempatkan diri untuk meyantap sesuatu sambil membicarakan permasalahan yang terjadi antara satu orang dengan orang lainnya, efektif mengurangi ketegangan dan stress. Saya beberapa kali sudah mempraktikkan hal ini dan jujur saja, saya banyak berhasil memecahkan masalah yang terjadi karena kekeliruan hanya dengan makan siang bersama atau sekedar ngopi bersama.

Meskipun teknologi kita sudah secanggih pada saat ini, tetap saja, kita tidak pernah bisa menggantikan tatap muka, face to face yang merupakan inti dari komunikasi. Bahkan sentuhan. Ya, pertemuan memungkinkan kita untuk melakukan sentuhan dengan mereka yang kita temui. Sentuhan ini bisa berupa salaman atau biasanya pelukan, yang biasa saya praktikkan dengan sahabat-sahabat perempuan saya (Saya biasanya tidak masalah jika melakukan peluk-pelukan dengan sahabat pria, hanya aja memang budaya di tempat kita, di Indonesia masih menganggap ini sedikit membuat risih, jadi, saya akan sangat hati-hati mengenai hal ini).

Pertemuan seperti ini, membuka banyak hal-hal tertutup yang luput dari perhatian kita sekalian dan memperjelas pandangan yang kabur, yang kebanyakan disebabkan hanya karena persepsi kita semata.

Banyak kali, setelah pertemuan yang saya lakukan dengan beberapa orang, saya merasakan kelegaan yang luar biasa. Semuanya menjadi sangat jelas dan ringan rasanya. Ringan karena lepas semua persepsi saya dengan orang yang bersangkutan, terutama persepsi yang bersifat negative. Saya ingin melepaskan semua hal-hal seperti itu.

Belajar kesabaran dari diskusi melawan orang yang ‘keras kepala’

Mungkin, pengalaman yang cukup membanggakan bagi saya adalah pengalaman untuk melakukan diskusi (online) dengan seorang teman yang saya golongkan sebagai orang yang ‘keras kepala’ dan sangat ‘tertutup’ dengan pendapat orang lain (Dalam artian, hanya membenarkan pendapat yang datang dari dalam dirinya saja atau dari apa yang Ia peroleh). Mungkin Ia juga menganggap saya demikian juga.

Saya belajar sangat banyak! Saya bahkan mengakui hal ini kepada dia secara terbuka dan juga secara personal.

Salah satu mutiara yang saya temukan dalam diskusi kami adalah kemampaun untuk ‘bersabar’. Ya, bersabar dengan keras kepala yang Ia miliki dan juga dengan tingkah lakunya yang sangat dan sangat ngotot dengan keinginannya. Ia ingin agar saya membenarkan apa yang menurutnya benar dan mengikuti langkahnya.

Tapi, saya bukan orang yang demikian. Keluarga dan sahabat-sahabat terdekat saya mengenal saya sebagai orang yang paling keras kepala dari antara yang lainnya. Sulit mengubah nilai-nilai dasar yang sudah mengkristal dalam hidup saya pribadi.

Dan, itulah yang terjadi.

Diskusi yang lebih tepatnya terlihat seperti perang ini, membawa saya untuk menemukan permata berharga yang saya sebut kesabaran dan juga kemampuan untuk mengendalikan emosi ketika berhadapan dengan perilaku yang nampak kurang sangat kurang adil.

Berhenti mengkhawatikan segala sesuatu, dan mulai percaya bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan waktunya.

Bagi orang yang tidak sabaran, percakapan mengenai menunggu kadang bisa membuatnya takut dan berlari. Apalagi jika menunggu itu adalah proses yang memakan waktu yang lama (dan sangat lama).

Hal ini hanya bisa diubah dengan perlahan disertai dengan komitmen dalam diri yang baik untuk tidak lagi melakukan perbuatan yang menyengsarakan.

Mereka yang terus menerus khawatir adalah mereka yang tidak tuntas dalam mata kuliah mengenai kepercayaan. Mereka tidak percaya pada siapapun, bahkan mereka tidak percaya dengan diri mereka sendiri. Lebih parahnya, mereka bahkan tidak percaya dengan si pemberi hidup. Hal ini wajar terjadi, kebanyakan dari mereka mungkin saja mengalami pengalaman masa lalu yang sangat menyakitkan, terutama pengalaman ketika masih awal-awal masa awal pertumbuhan dan perkembangan sebagai manusia. Pengabaian yang diberikan oleh Ibu kandung ketika masih bayi akan membentuk karakter mudah khawatir dan juga sangat tidak sabaran. Kejadian ini saling kait mengait satu sama lain, sangat wajar terjadi.

Mereka menghargai hidup mereka dengan kepercayaan bahwa “Jika mereka mencapai sesuatu, mereka berharga”

Hidup memang adalah usaha untuk mencapai sesuatu. Tapi, apakah ini juga berarti bahwa setiap detik yang kita miliki harus diinfestasikan hanya untuk mencapai sesuatu dan baru bisa dibilang bahwa hidup kita berharga ?. Saya rasa tidak.

Tapi, mereka yang digambarkan dalam cerita diatas adalah orang-orang yang memiliki pemikiran demikian. Sedetik adalah sangat berharga, karena sedetik saja dapat merubah sesuatu menjadi sesuatu. Sedikit berharga dan hidup mereka bergantung pada sedetik itu!.

Selain sikap tidak dapat mentoleransi apapun, timbul pula sikap tidak sabaran yang cukup mengesalkan untuk orang-orang seperti ini. Lalu, bagaimana cara untuk menghadapi situasi seperti ini?. Kembali, sadari. Sadari apa yang pada saat ini sedang dirasakan dan sadari jika apa yang kita rasakan itu valid. Keliru atau tidak, itu valid.

Nanti, perlahan-lahan kita perbaiki dari sana.

Demikian teman-teman bagaimana saya berproses untuk berdamai dengan rasa tidak sabar dalam diri saya. Tidak semua orang akan berpikiran seperti saya. Tapi, trik ini bisa dipergunakan oleh teman-teman ketika sedang belajar untuk berdamai dengan berbagai emosi dalam diri.

Semoga membantu!

 

PS. Jika teman-teman memiliki tambahan trik lainnya. Mohon untuk menuliskannya di kolom komentar. Saya yakin bahwa kita akan dapat belajar dengan sangat baik dari pengalaman-pengalaman yang kita bagikan.

16 pemikiran pada “Belajar kemampuan untuk BERSABAR: Sebuah Refleksi.

  1. Aku juga nggak sabaran kak ;( nggak sabar disini bukan perihal menunggu melainkan emosi. huhu. kalau sudah benar-benar tidak sabar ujung-ujunngnya pasti menangis. Dan berdiskusi dengan org keras kepala adalah hal yang selalu saya hindari karena saya paham saya orgnya tidak sabar huhuhuhu

    Disukai oleh 1 orang

  2. Wah, selamat karena kita mungkin berada di kelompok yang sama!

    Hehehe, tidak apa-apa, tidak sabar itu bisa menjadi kelemahan, tapi juga kekuatan. Tergantung situasi untuk mengimplementasikannya.
    Mengeluarkan uneg-uneg secepat mungkin, mungkin saja adalah cara untuk mendamaikan batin segera.

    Semangat!

    Suka

  3. Halo, Zapufaa.
    Menyadari bahwa diirmu memiliki kcenderungan perilaku tertentu dan tahu bagaimana menempatkan diri ketika berada dalam situasi seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya adalah point plus-plus untuk diirmu sendiri. Harus bangga, karena Zapufaa sedikit banyak sudah mengenal diri sendiri dengan baik.

    Tidak apa-apa, kesabaran dan tingkat kesabaran masing-masing orang itu berbeda-beda. Semuanya tergantung situasi, kondisi dan masih banyak faktor lainnya.

    Semangat!

    Kalau saya pribadi, berdiskusi dengan orang yang keras kepala itu, saya anggap sebagai latihan kesabaran hahahaha. Tidak enak memang, karena saya rasanya mau nonjok sana dan nonjok sini, tapi rasanya menantang untuk bisa mengungguli orang yang keras kepala dalam berdiskusi hahahaha (Personal interest saja).

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar