Menyoal tentang Gaya Hidup Minimalis


Dalam postingannya beberapa waktu yang lalu, Kak Layang Seta menuliskan tentang Gaya Minimalis Tak Cocok untuk Saya. Tulisan ini secara langsung menyentak saya secara pribadi. Tulisan ini begitu powerful sehingga membawa saya pada tahapan permenungan yang cukup mengenai gaya hidup yang juga cukup kontroversial dan menimbulkan riak-riak komentar dari banyak orang.

Tulisan milik Kak Layang Seta jelas membuat saya mempertanyakan kembali pilihan hidup saya, yang juga menginspirasi terwujudnya tulisan ini. Bagi saya, ini adalah hal yang sangat menarik untuk saya refleksikan lagi! Tentu saja!

Hidup minimalist, artinya

Minimalism menjadi trend akhir-akhir ini. Serius, dalam masa yang sangat komsumtif ini, minimalism dan hidup menjadi lebih sederhana nampak sangat menggiurkan, terutama untuk mereka yang tidak bisa bersaing dengan kehidupan yang serba komsumtif ini. Am I right ? humm…tidak semua orang bisa setuju dengan pendapat ini tentunya.

Pengertian Minimalism yang cukup menyentuh saya adalah pengertian dari sebuah Blog yang banyak menuliskan tentang Minimalism (Saya betah berlama-lama menjelajah situs mereka),

Minimalism is a tool that can assist you in finding freedom. Freedom from fear. Freedom from worry. Freedom from overwhelm. Freedom from guilt. Freedom from depression. Freedom from the trappings of the consumer culture we’ve built our lives around. Real freedom.

Minimalism is a tool to rid yourself of life’s excess in favor of focusing on what’s important—so you can find happiness, fulfillment, and freedom.

Minimalism tidak berbicara langsung mengenai menghemat barang atau hal yang banyak saya pikirkan sebelumnya. Minimalism menawarkan nilai berbeda yang cukup berkesan, kebebasan. Tentu kita akan berpikir, kebebasan seperti apa yang lahir dari keterikatan atau melepaskan dengan total ?.

Definisi lain juga datang dari salah satu situs ini,

What Minimalism is really all about is reassessment of your priorities so that you can strip away the excess stuff — the possessions and ideas and relationships and activities — that don’t bring value to your life.

Pertanyaan kembali lahir dari pikiran saya, “Apakah minimalis itu sama artinya dengan tidak memiliki apa-apa alias bergaya hidup miskin (padahal kaya) ?”

Saya rasa, tidak tepat juga menjawab pertanyaan ini dengan “Ya atau Tidak”. Mungkin pertanyaan ini harus sedikit dirubah agar tidak menimbulkan ketersinggungan dimana-mana.

“Apakah gaya minimalis itu lebih tepatnya dilakukan oleh orang kaya ? Apakah orang miskin atau yang tidak berpunya tidak boleh juga melakukannya, karena mereka pada dasarnya tidak berpunya?”.

Saya rasa, pertanyaan ini lebih menunjukkan bahwa si penanya meletakkan standart minimalism kedalam definisi punya dan tidak punya. Pemahaman seperti ini tidak ada salahnya juga, karena pada dasarnya praktik minimalism adalah pada pembatasan penggunaan barang/kepemilikan dan hanya memilih barang-barang tertentu. Tapi, pemahanan ini juga sedikit cacat karena minimalism tidak hanya soal kepemilikan atau tidak pada suatu benda. Ada definisi yang jauh lebih dalam dari sekedar hanya kepemilikan.

Terus kudu pie ?

Kembali, minimalism berhubungan dengan pilihan. Tidak semua orang akan berkata ‘ya’ dan tidak semua akan berkata ‘tidak’. Pilihan ini sangat bersifat subjektif, personal dan saya rasa tidak tepat juga mengolok mereka yang tidak memilih hidup seperti ini atau juga memilih hidup seperti ini.

Pilihan

Ya, saya memilih untuk menjalani gaya hidup minimalis. Saya memutuskan untuk melakukan hal tersebut pada awal tahun lalu. Saya putuskan untuk hidup sederhana, seadanya dan tidak berlebih-lebihan. Keputusan ini saya ambil karena banyak alasan. Salah satunya adalah ketika saya melakukan bersih-bersih kamar, rumah, dan barang-barang milik pribadi, saya menemukan banyak sekali barang-barang yang saya kumpulkan entah sadar atau tidak, dan itu sangat mengganggu. Ada banyak rupiah yang seolah terbuang percuma untuk barang-barang yang hanya berakhir ‘sia-sia’ tanpa dimanfaatkan dengan baik.

Saya juga menyadari bahwa saya orang yang tidak suka ribet sana atau ribet sini. Saya menyukai gaya yang simple dan tidak terlalu WOW. Saya tidak suka membawa barang yang berat-berat dan lebih memilih untuk membawa barang-barang yang cukup terbatas (sesuai kebutuhan) ketika saya melakukan perjalanan.

Saya juga menyadari kebanggaan saya ketika saya bisa menjadi lebih sederhana, terlihat tidak berlebih-lebihan ketika berkumpul bersama teman-teman saya. Saya senang menjadi sedikit berbeda dari teman-teman saya yang bisa dikatakan suka bergaya sedikit berlebihan. Saya suka melihat mereka menggunakan pakaian-pakaian bagus dengan make up yang WOW, tapi entah kenapa saya tidak suka menjadi seperti mereka. Saya senang ketika mereka bersinar demikian dan saya bersinar dengan cahaya saya sendiri. Kadang, bergaya sama seperti sahabat dan teman-teman kelompok itu tidak begitu menarik.

Selain beberapa alasan ini, pengalaman hidup saya dengan orang-orang yang sangat sederhana mengajarkan saya tentang hidup sederhana dan sedikit mendekati kata “miskin”. Ya, saya hidup bersama para Biarawati Katolik lebih dari 3 tahun. Saya benar-benar merasa cocok dengan gaya bersahaja, sederhana dan minimalis yang diterapkan oleh beberapa Biarawati-biarawati katolik ini. Saya merasa menjadi seperti diri saya sendiri ketika saya meneladani sikap hidup mereka. Otomatis, saya menjadi lebih ringan dan lebih aware dengan sekeliling saya.

Saya selanjutnya memutuskan untuk membuat hidup saya lebih sederhana, lebih selektif ketika membeli barang, menerapkan aturan ‘apa yang saya butuhkan pada saat ini’, lalu ‘apakah barang ini nanti bisa didaur ulang’ dan masih banyak aksi yang lainnya.

Sosok Marie Condo

Jujur saja, sampai saat ini saya masih belum mengenal betul siapa itu Marie Condo. Beberapa orang sahabat sudah mewanti-wanti saya untuk segera membaca buku karya Marie Condo ini dan belajar mengenai hidup minimalis dan sebagainya.

Saya mengikuti Ia di Instagram, tapi itu tidak cukup untuk dapat mengenal seseorang dan karya apa yang ditawarkannya untuk dunia. Saya benar-benar harus menggali informasi tentang Marie Condo ini, terutama tentang misi yang dibawa serta dijualnya untuk dunia. Nampaknya Ia sangat terkenal dengan seni pemanfaatan barang-barang secara lebih maksimal.

Ketika saya menyelesaikan tulisan ini, Saya sudah berhasil membaca buku yang ditulis oleh Marie Kondo, pada postingan saya selanjutnya, saya akan menyertakan ringkasan dan nilai-nilai yang berhasil saya serap dari buku yang Ia tulis.

Not a Pure Minimalist

Saya bukan orang yang benar-benar menerapkan gaya hidup minimalis. Serius tidak!. Saya masih menyimpan banyak barang yang menurut saya cukup menjadi guilty pleasure untuk saya sendiri. Benda tersebut salah satunya adalah buku. Saya tidak bisa bersikap minimalis pada buku. Buku bahkan menguasai hampir separuh kamar tidur saya di rumah orang tua. Saya memang secara sengaja menempatkan perpustakaan keluarga kami di kamar saya. Saya entah mengapa bisa tidur dengan nyaman ketika saya melihat beberapa tumpukan buku di kamar. Belum lagi tempat tidur saya adalah tempat paling nyaman untuk membaca buku.

Kecintaan saya pada buku dan bagaimana saya memboroskan uang saya hanya untuk memenuhi nafsu saya untuk membaca, sudah membuat saya menjadi seorang yang bukan minimalis. Setidaknya demikian menurut beberapa orang yang memegang paham minimalis.

Minimalis ala Saya

Pakaian. Untungnya saya bukan orang yang suka mengoleksi pakaian. Saya menuruti Ibu saya dalam hal ini. Saya tidak suka berpakaian bagus atau sengaja memberi kesan pada orang lain terkait apa yang saya kenakan. Saya bahkan berada pada tahap tidak peduli dengan apa yang saya kenakan. Saya banyak mendapatkan kritik dari teman-teman geng saya karena hal ini. Gaya berpakaian saya juga sangat tidak jelas, dari sangat feminim sampai sangat tomboy. Untuk berpakaian, saya menerapkan peraturan ‘sesuai mood’, sangat tergantung dengan suasana hati saya pada saat itu dan saya sangat tidak senang jika dipaksa untuk mengenakan sesuatu. Saya juga tidak begitu senang kalau diminta menggunakan seragam. Ketidaksukaan saya dengan seragam terjadi mungkin karena lebih dari 4 tahun harus menggunakan seragam ketika saya menempuh pendidikan sarjana keperawatan beberapa waktu yang lalu. Mungkin karena sudah sangat bosan menggunakan seragam sehingga pada saat ini, saya lebih memilih untuk menggunakan baju bebas dan suka-suka saja.

Aplikasi di Gadget. Syukurnya saya adalah orang yang sangat minimalis dalam hal aplikasi gadget. Tidak banyak aplikasi yang saya simpan di Gadget saya. Saya mengikuti saran dari Kelly Foss untuk menggunakan aplikasi yang memang saya butuhkan dan menghapus aplikasi yang tidak saya butuhkan. Hitung-hitung hemat memori handphone juga, karena memori handphone saya yang memang tidak seberapa banyaknya.

Aplikasi yang saya pilih tetap berada di dalam gadget saya juga adalah aplikasi yang memang setiap hari dan hampir setiap waktu saya gunakan untuk bekerja atau melakukan aktivitas. Aplikasi ini juga harus membantu saya untuk berkembang menjadi pribadi yang baik dan dapat membantu banyak orang lebih luas lagi. Selain dengan tujuan demikian, saya juga berusaha untuk memastikan bahwa aplikasi yang saya miliki tidak membuat saya ketergantungan. Saya sangat tidak ingin sampai terjadi demikian, karena saya pernah mengalami bagaimana rasanya ketergantungan pada aplikasi tertentu sampai harus mengorbankan banyak jam tidur saya. Saya kapok!

Make up dan skin care. Come on! Sebagai seorang perempuan, make up dan skin care adalah hal yang sangat sulit untuk diminimalisir. Sebelumnya, saya orang yang super lengkap dalam menggunakan make up. Saya tidak mau ketinggalan sedikit pun skin care, apalagi step-step dalam menggunakan make up, harus lengkap!. Tapi, setelah awal tahun lalu, saya mulai belajar untuk menyederhanakan semua yang saya tahu. Saya juga belajar untuk mengurangi penggunaan berlebihan make up pada wajah dan juga skin care. Saya juga menekankan penggunaan dan promosi produk dalam negeri.

Kamar. Pengalaman saya tinggal di biara para biarawati lebih dari 3 tahun ini mengajarkan saya untuk menyederhanakan apapun yang ada di dalam kamar saya. Saya tidak menyukai ada banyak barang di kamar tidur saya di tempat perantaun ini. Saya hanya memperbolehkan barang-barang yang memang sangat saya butuhkan dan memang saya gunakan harian. Jika ada barang yang tidak saya gunakan, saya akan memilih untuk menyingkirkannya. Saya juga memiliki kebiasaan untuk tidak menyimpan barang apapun di bawah tempat tidur, sebuah big no-no untuk saya. Saya senang kalau kamar saya nampak kosong dan hanya ada beberapa barang penting saja.

Dompet. Okay, dompet saya memang tidak berukuran besar. Saya memang sengaja menggunakan dompet dengan ukuran yang kecil dengan alasan praktis (dan lebih tepatnya karena saya tidak memiliki isi dompet yang banyak). Ini bukan rahasia lagi, salah satu alasan saya hidup sederhana adalah karena saya hidup sesuai dengan isi dompet saya. Saya ingin hidup sesuai dengan realita dan tidak ingin membohongi public. Rasa aneh saja kalau saya harus bergaya hidup mewah tapi kenyataannya saya memang bukan orang berpunya hahahaha.

Yeap, demikian tulisan saya mengenai hidup minimalis yang masih dalam tahap proses. Saya tidak 100 persen minimalis, setengah dari minimalis sudah sangat saya syukuri. Puji pada Tuhan.

Semoga Tulisan ini memberi sedikit insight untuk membantu kita sekalian hidup sesuai dengan keinginan dan harapan kita. Yang terpenting adalah kita bisa menikmati anugerah hidup dengan semaksimal mungkin dan dengan sebermanfaat mungkin dalam jalan yang diberkahi Tuhan.

Amin!

Terima kasih kepada Kak Layang Seta yang telah menuliskan tulisan yang sangat luar biasa, tulisan yang mampu menggerakkan orang untuk berpikir dan merefleksikan diri. Saya belajar banyak tentu saja.

Salam sukses untuk kita semua.

34 pemikiran pada “Menyoal tentang Gaya Hidup Minimalis

  1. Selalu suka dan selalu menantikan tulisan dari Mbak Ayu Frani. Salam semoga cinta dan kebahagiaan berlimpahan untukmu dan keluarga.

    Saya sudah membaca lifestyle KonMarie oleh Marie Kondo (pakai K). Seperti biasa dalam buku manapun, beberapa saya setuju dan beberapa saya tidak. Saya ambil saja hikmah baiknya. Buku Marie Kondo memang memiliki sedikit pengaruh dalam kehidupan pribadi saya. Tetapi bagaimanapun juga kalau harus se ekstrem Kon Marie, aku tidak bisa. Jadi hidup gaya minimalis, itu kembali lagi kepada tujuan kita. Tujuan kita menjalani hidup itu untuk apa toh? Kok harus minimalis segala? Kalau cuma lifestyle ya buat apa?

    Tak dapat dipungkiri, teknik Kon Marie sedikit mempengaruhi saya. Tetapi ada satu prinsip yaitu dalam segala sesuatunya yang paling penting adalah tujuanmu melakukan itu untuk apa. Dan ndilalah tertanam kuat di benak saya, agama mengajarkan, hidup itu jangan berlebih-lebihan. Kalau kata Haidar Bagir, jangan sampai pindah dari satu titik ekstrim menuju titik ekstrim yang lain. Gak baik.

    Salam, saya jejakandi.

    Disukai oleh 2 orang

  2. Salam kenal mbak. Aku juga sedang dalam proses declutter besar-besaran krn tahun depan berencana pindah rumah dan barangkali ke ukuran yg lebih kecil. Sehingga mau tak mau, akan mengurangi banyak barang yg ada. Gak masalah jg krn kebanyakan barang di rumah juga nggak terpakai kok. Hanya disimpan for the sake of ‘memory’ or simply because ‘sapa tau nanti kepake’. Padahal yo nggak. Aku banyak nulis ttg decluttering ini di blogku dan bbrp teman blog bertanya apakah aku berniat untuk hidup minimalis? Jawabanku adalah: NGGAK TAU. Saat ini fokusku adalah untuk bisa berhasil mengenyahkan banyak barang tak terpakai di rumahku. Ujung2nya akan jadi minimalis atau tidak, blm tau jg. Tp yg jelas, saat ini aku sdh cukup bangga bisa hidup dgn minimalist wardrobe (baju, jilbab, tas dan sepatu). Hanya urusan wardrobe aja yg sdh bisa aku kontrol saat ini. Hehehe.

    Disukai oleh 2 orang

  3. Ulasan yg selalu menarik dari Kak Ayu 👍 sbnrnya sblm nge-trend gaya hdp minimalis kyk skrg ini, saya memang sdh terbiasa sejak kecil utk hdp sederhana dan semampunya. Jd kebiasaan ini memang sdh didikan dari ortu. Cuma ya nggak sampai yg ekstrem sih hehe. Utk barang2 fashion kyk baju, sepatu, tas, jilbab saya memang jarang beli. Saya aja kl beli baju paling setahun cuma 1-2 kali. Dan sekali beli, saya lgsg beli bbrp dan habisnya memang agak mahal 😅 Utk sepatu dan tas, saya jg kl beli biasanya sekalian yg agak mahal dg mksd biar lebih tahan lama. Jd saya suka beli barang mahal itu bkn buat gaya2an atau dipamerin ke tmn2, tp lbh kpd durability dari barang itu. Utk make up dan skin care, saya beli seperlunya aja krn saya bkn cewek yg hobi dandan. Saya kl dandan gk sampai yg ‘heboh’ bnget kyk kebanyakan tmn2 saya hehe. Saya jg dari dlu dibiasakan sm ortu kl barang2 yg saya pny blm rusak dan msh layak pakai, gk usah beli baru. Beli barang2 jg sesuai kebutuhan aja. Dan krn itulah saya jg sllu berusaha utk menjaga barang2 saya biar gk keseringan beli barang yg berakibat pemborosan uang.

    Disukai oleh 1 orang

  4. Halo, Kak Jejakandi. Terima kasih banyak atas appresiasinya.
    Oh Ia, Marie Kondo (pakai K). Dalam tulisan Ayu berubah menjadi C karena pengaturan di Komputer yang bekerja secara otomatis. Lupa juga untuk membetulkan. Terima kasih banyak atas koreksinya ya, Kak.

    Wah, saya juga mengambil kesimpulan yang kurang lebih sama dengan apa yang Kakak tuliskan. Betul, saya sangat mengagumi bagaimana Marie Kondo mengantarkan pembacanya untuk melihat lebih jauh tindakan dan pilihan hidup teratur dan minimalis. Filosofi yang ditawarkan oleh Marie Kondo ini menarik untuk dipelajari.

    Terima kasih atas komentar baiknya, Kak. Salam juga untuk Kakak dan keluarga, semoga kita sekalian selalu bahagia dan bersemangat untuk berbagi.

    Disukai oleh 2 orang

  5. Hi, Mbak. Wah….Luar biasa! Terima kasih atas sharing yang luar biasa.
    Ketika bersiap pindah rumah, proses de-cluttering itu pasti, bahkan sampai level besar-besaran. Semoga sukses proses beres-beresnya ya, Mbak. Terutama proses pindah rumah, semoga lancar.

    Nah, kalau berbicara mengenai barang-barang yang memiliki nilai dan kesan yang berharga, ini yang sedikit sulit untuk di enyahkan. Secara otomatis akan kita keep dan entah mau di apakan nanti. Melepaskan itu agak susah hehehe.

    Wah, nanti bisa nih jalan-jalan ke blog Mbak untuk melihat tulisan mengenai de cluttering. Pengen belajar banyak juga untuk hidup lebih sederhana tapi tidak pelit wkwkwkw. Oh ya, ada juga yang bilang kalau mereka yang hidup minimalis itu cenderung pelit hehehehe.

    Suka

  6. Hi, Mbak Luna. Terima kasih atas ceritanya yang luar biasa. Wah, ternyata banyak diantara kita yang sebenarnya sudah mempraktikkan hidup sederhana, meskipun tidak sampai minimalis pakai banget. Setuju, pengaruh ajaran dan didikan orang tua itu sangat memberi pengaruh terhadap pilihan hidup kita pribadi.

    Mengenai membeli pakaian, saya juga memiliki pengalaman yang kurang lebih sama. Dulu pernah terlintas dalam pikiran bahwa untuk pakaian, lebih baik membeli pakaian yang langsung dengan harga mahal dan teruji tahan lamanya. Tidak perlu banyak, tapi karena nilai mahalnya, secara otomatis akan menaikkan harga pakaian itu di mata orang lain/teman-teman. Lebih baik memang dibandingkan membeli banyak pakaian dengan harga murah, tapi tahu sendiri lah.
    Tapi, akhir-akhir ini jadi berpikiran berbeda. Membeli pakaian atau benda apapun harus dengan prinsip “Apa gunanya?, Apa untungnya ?”. Jadi, sedikit lebih selektif juga. Hasilnya memang, kalau dilihat di lemari, pakaian saya sangat terbatas hahahaha. Kadang jadi bahan olokan teman-teman juga, karena pakaian saya itu-itu saja hahahaha.
    Tapi, ya sudah lah hahaha.
    Kembali, ini tentu saja pilihan hidup masing-masing. Tidak apa-apa, pilih saja mana yang menurut kita nyaman dan aman untuk kita jalani.

    Mengenai menjaga barang-barang yang menjadi milik, wah Mbak…Itu saya buanget. Saya termasuk orang yang awet dalam menggunakan sesuatu. Apalagi barang pemberian orang lain. Saya jaga betul itu, selain menghargai si pemberi, juga menjaga memori yang ada di barang tersebut.

    Wah, saya jadi cerita banyak ini wkwkwkw.

    Terima kasih sudah berkunjung ya, Mbak. Saya selalu senang mendapatkan komentar dan pesan dari Mbak Luna.

    Disukai oleh 2 orang

  7. Bukan pelit. Sama sekali bukan. Minimalis itu hanya hidup dengan barang yg benar2 dipakai. Klo pakenya banyak ya barangnya banyak. Klo hanya sedikit ya brati barangnya cm sedikit

    Disukai oleh 1 orang

  8. Ia, Mbak. Saya juga tidak setuju dengan pernyataan bahwa orang yang minimalis atau orang yang hidup sederhana/ bersahaja itu di katakan pelit. Jelas beda ya, Mbak.

    Suka

  9. Ho oh beda. Orang hidup minimalis bisa jadi punya simpel wardrobe (jumlah tiap item terbatas) tp bajunya branded semua. Lets say, Raditya Dika menyederhanakan koleksi arlojinya dr yg jumlahnya skitar 10 menjadi cukup bbrp saja (klo ga salah dibawah 3). Tp merknya Rolex. Lha dimana pelitnya orang yg beli Rolex, wkwkwk…. jd menurutku, MINIMALIS itu lebih kepada mengurangi jumlah— bukan nominal per-barang.

    Disukai oleh 2 orang

  10. Minimalis = sederhana. Mungkin saya mengartikannya begitu. Meski pun ke dua kata itu relatif bagi setiap orang. Tulisan yang memacu untuk berfikir.

    Salam kenal, mbak Ayu Frani.

    Disukai oleh 1 orang

  11. Hi mba.Menarik. Kebetulan saya punya blog tersendiri yg mengkhususkan untuk tema minimalis itu. 🙂Sebetulnya patokan minimalis itu tergantung org masing2, ya. Karena kita hidup di negeri berbudaya maksmimalis, bisa jadi gaya ala zen- seperti beberapa pelopor gerakan ini- terlampau ekstrim. Apalagi kita itu cenderung khawatir akn opini dari orang lain bila tampak “kurang modal”😂. Minimalis merupakan antitesis konsumerisme dunia industri. Ya namanya gaya hidup, itu pilihan. Kalau nggak sanggup ya tinggal ditinggalkan. Karena penyebab itu tidak semudah itu diatasi. Dalam kasus maksmimalis yg sgt parah spt hoarder, dibutuhkan konseling kejiwaan/terapi, karena biasanya ada pencetus. Kalau ternyata cocok/nyaman knp tidak. Yam Marie Kondo itu fokus akhirnya lebih ke arah cara merapikan bukan meminimalis, menurutku, ya.

    Suka

  12. Iya ya? Konmari emphasize nya kepada merapikan dan cara menata barang. Klo mau yg minimalis bisa baca Fumio Sasaki (ekstrim) atau siapa itu orang bule Amrik yg ganteng, Joshua Becker klo ga salah. atau Peter Walsh (declutter tp tidak ekstrim).

    Disukai oleh 2 orang

  13. Hi, Mas. Terima kasih banyak karena sudah mampir dan memberi komentar.

    Ketika menulis dan memutuskan untuk menerbitkan tulisan ini, harapan terbesar Ayu adalah agar tulisan ini memicu diskusi dan pemikiran untuk pembaca. Terima kasih karena telah merespon demikian. Salam kenal juga untuk Mas. Senang rasanya bisa mendapatkan teman baru.

    Disukai oleh 1 orang

  14. Mbak,…Woaaaa…Saya senang sekali karena Mbak bisa mampir dan memberi komentar. Terharu sangat!
    Betul, saya sangat setuju dengan pandangan Mbak yang Mbak tuliskan.
    Hidup di masyarakat yang lebih menghargai dan memberi nilai pada pentingnya jumlah benda yang dimiliki, ini tentu saja adalah tantangan bagi mereka yang menilai dan mengelompokkan diri sebagai ‘minimalis’.

    Marie Kondo dengan konsep Zen miliknya, wah…Mbak, saya juga memberikan penilaian yang sama mengenai visi yang dibawa oleh Marie Kondo, Zen. Sangat tepat!

    Terima kasih banyak atas pencerahannya ya, saya pasti akan sering-sering berkunjung ke blog Mbak. Serius, keren!

    Suka

  15. Mbak, wah…Betul itu . Untuk next buku bacaan saya adalah buku dari Fumio ini. Beneran pengen tahu beda konsep atau visi yang dibawa dengan milik Marie Kondo.
    Terima kasih banyak atas rekomendasinya ya, Mbak.

    Wah, saya jdi sangat senang begini.

    Disukai oleh 1 orang

  16. Halo, Mbak Vera.
    Wah, gaya hidup ini sangat patut untuk dicoba. Semangat untuk memulai dan semoga bisa belajar banyak dari gaya hidup seperti ini. Saya juga masih berproses, masih belajar. Sejauh ini sih, menyenangkan. Meskipun masih belum seperti yang dibicarakan oleh Marie Kondo dan kawan-kawannya.

    Disukai oleh 1 orang

  17. Halo, Kak Anggie Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan pesan. Salam kenala juga untukmu.

    Luar biasa, Kak Anggie. Hidup sederhana, bersahaja memang sangat melekat dengan kehidupan kita masyarakat Indonesia. Bahkan sudah menjadi ciri khas yang unik dan tidak terpisahkan.

    Suka

  18. Tulisan yang bagus mba, salam kenal, saya penikmat tulisan2 topik minimalis dan menemukan tulisan ini dari Googling.

    Menurut pengamatan saya, kebanyakan kekeliruan memahami gaya hidup minimalis adalah menganggap gaya hidup tersebut sekadar “hidup dengan sedikit barang” atau malah “hidup miskin” atau “terlampau sederhana”

    Padahal intinya adalah hidup dengan kesadaran (intentional living, bukan terpaksa keadaan) dan mengutamakan apa yang penting bagi kebahagiannya. Nah, kalo seorang minimalis kemudian mengurangi barang2nya itu karena dia mendapati barang2 tersebut ternyata tidak penting untuknya atau menghalangi kebahagiaannya. Nantinya bukan hanya barang, tapi juga aktivitas, pikiran, dan sebagainya.

    Contoh konkret yang saya rasakan, saya punya lemari pajangan mainan yang selalu saya kuatirkan kotor, berdebu, dan nanti gimana kalo ada banjir datang ke rumah (beberapa tahun sekali rumah saya mengalami banjir, mungkin 5 tahunan, tapi makin ke sini makin tinggi).

    Setelah mengenal gaya hidup minimalis, mengasessment barang2 yang telah saya miliki, saya menemukan lemari tersebut menjadi penghalang ketenangan saya. Dan terbukti dengan perginya lemari tersebut beserta sebagian isinya, saya jadi plong dan bersiap menghadapi masalah2 lain yang lebih penting daripada memikirkan harus mengelap secara rutin lemari pajangan mainan beserta isinya.

    Jadi menyingkirkan barang itu adalah hasil analisis pribadi masing2 yang jika dilakukan akan bikin bahagia, bukan malah sengsara. kalo dengan gaya hidup minimalis hidup jadi sengsara pasti ada yang salah dengan memahami dan menerapkannya.

    Disukai oleh 1 orang

  19. Hi, Mas Iqbal. Saya senang sekali Mas bisa mampir dan meninggalkan komentar di sini. Saya merasa tersanjung.

    Hidup minimalis ini masih menjadi bahan diskusi yang tidak pernah habis untuk saya sendiri. Masalahnya, saya sambil belajar, dan sambil menerapkannya dalam kehidupan saya sehari-hari. Terima kasih banyak atas sharing pendapat serta pengalaman ini. Saya bisa belajar juga.

    Saya sangat setuju, kalau dengan menerapkan hidup minimalis kita malah menjadi sengsara, ini mah namanya sudah salah arah.

    Salam hangat dari saya, Mas.

    Suka

Tinggalkan komentar