Marie Kondo dan Fumio Sasaki: Inspirasi Gaya Hidup Minimalis ala Orang Jepang


Pintu yang terbuka: Perjumpaan dengan sosok Marie Kondo

Sosok Marie Kondo begitu sangat terkenal dikalangan pecinta seni beres-beres rumah, terutama bagi mereka yang memilih untuk hidup lebih minimalis. Saya sendiri sangat tertarik dengan sosok Marie Kondo setelah membaca tulisan Kak Layang Seta mengenai Minimalism dan banyak tulisan dari Mbak Phebie dari blog-nya Meminimalis

Baca juga: Menyoal Gaya Hidup Minimalis.

Niat saya tidak besar, saya hanya ingin mengenal sosok Marie Kondo ini secara sekilas tapi dengan cara yang tepat. Buku yang Ia tulis menurut saya adalah media yang paling sesuai untuk mengenal tentang sosoknya. Benar saja, buku miliknya yang menjadi best seller langsung menghipnotis saya seketika. Saya jelas tidak bisa lepas dari buku ini dalam beberapa waktu. Pikiran saya tertuju hanya untuk mengungkap ‘misi apa yang dibawa oleh sosok Marie Kondo’ dan ‘mengapa Ia begitu sangat menarik bagi banyak orang’.

Saya menemukan sosok Marie Kondo seperti sosok orang Jepang lainnya, setidaknya orang Jepang yang saya kenal. Kebanyakan dari mereka adalah sosok yang sederhana, santun dalam berbicara, dan sedikit pemalu (tapi kalau kenal banget sangat malu-maluin). Sekilas mengenalnya, saya dapat mengambil sedikit kesimpulan bahwa Marie Kondo adalah orang yang mampu mengubah hal biasa-biasa saja bagi kebanyakan orang menjadi hal yang luar biasa bagi banyak orang.

Lebih dalam, saya menemukan bahwa Marie Kondo mungkin saja memiliki indikasi kecemasan yang berlebihan (Semacam Obsessive Compulsive= Keinginan yang kuat untuk merapikan barang-barang sesuai dengan keakuratannya), tidak bisa diam, dan suka mencampuri urusan orang lain bahkan mungkin dapat mencapai tahap ‘mengesalkan’.

Ia begitu mempesona dimata orang-orang yang mendambakan keteraturan, dan mungkin banyak dibenci oleh kalangan orang yang suka ketidakteraturan dan acak-acakan.
Saya sendiri tidak membencinya, tapi juga tidak begitu menyukainya. Secara, seni menyusun dan mengatur barang yang Marie Kondo tawarkan adalah seni yang sudah sejak kecil saya pelajari dan saya lakukan. Saya mencontoh langsung dari Ibu saya di rumah, yang mungkin lebih keras mengajar saya merapikan rumah dibandingkan dengan Marie Kondo.

 

kondo-v2-1552588097
Marie Kondo (Source: hips.hearstapps.com)

 

 

Misi Zen dalam Ajaran Marie Kondo

Membaca buku Marie Kondo membuat saya memahami sedikit mengenai misi yang Ia bawa. Ia mewakili seni dan ilmu dari timur, membawa aroma Zen dalam misinya untuk merapikan barang-barang banyak orang di Barat. Ya, jelas sekali terlihat dalam tulisannya bahwa Ia membawa dan mengimani ajaran zen dalam seni mengatur dan merapikan barang-barang yang Ia praktikkan. Saya yakin.

Marie Kondo menggunakan prinsip terkenalnya, “Jika barang ini memberikan kebahagiaan bagi pemiliknya, keep it. Kalau tidak, harus relakan untuk dipindahtangankan pada orang lain”. Prinsip ini sama seperti prinsip Zen dalam soal melepaskan kepemilikan, percaya bahwa tidak ada satu pun yang benar milik kita. Semuanya hanya pinjamam, dipinjamkan bagi inidvidu untuk dirawat, dijaga dan selanjutnya siap untuk dilepaskan kapan saja.

Zen juga mengajarkan mengenai harmonisasi dengan alam semesta, menyelaraskan diri dan lingkungan sekitar diri dengan alam semesta. Tidak memaksanya berlebihan dan tidak menguranginya, mengalir dan membawa pada kedamaian. Barang yang dimiliki Individu harusnya dapat membawa kedamaian bagi pemiliknya. Jika hanya membawa beban, atau hanya membawa kerugian bagi individu, maka lepaskan saja. Relakan agar barang itu dimiliki oleh orang lain atau singkirkan saja dari status kepemilikan. Setidaknya demikian prinsip yang diajarkan oleh Marie Kondo.

Marie Kondo juga mengajarkan mengenai melepaskan barang kepemilikan kita sebagai bagian awal dari proses untuk meningkatkan fungsi hidup kita sebagai manusia. Pertanyaan bagi mereka yang sangat konsumtif dan suka mengoleksi barang adalah, “Apakah mungkin melepaskan barang kepemilikan kita untuk memperkaya hidup kita ?”. Kaya sendiri mengantung arti kepemilikan akan kebendaan. Bagaimana mungkin dengan melepaskan kebendaan kita, kita menjadi kaya ?. Bukankah ini malah menjadikan kita miskin ?.

Fumio Sasaki: Hidup Minimalis dan Misi Ajaran Zen

Buku kedua yang menjadi daya tarik saya pribadi adalah buku karya Fumio Sasaki yang berjudul “Goodbye, things on minimalist living”. Rumor yang beredar mengatakan bahwa buku ini lebih praktikal dan lebih baik dibandingkan dengan buku milik Marie Kondo meskipun keduanya mengajarkan hal yang kurang lebih sama, berpusat pada minimalism.

Minimalism menurut Fumio Sasaki adalah konsep dan praktik dimana seseorang mengurangi barang-barang yang ia miliki sampai mencapai batas ‘minimal’ dan selanjutnya melepaskan barang-barang yang tidak penting dan hanya menyimpan barang-barang yang akan membawa kita pada bahagia. Fumio memberikan contoh yang berasal dari dirinya sendiri, ketika Ia memiliki banyak barang dan Ia bukannya bahagia tapi malah kerepotan dan berujung pada ketidakbahagiaan. Kebahagiaan tidak dipandang sejalan dengan kepemilikan barang-barang. Kebahagiaan bisa didapatkan ketika tidak memiliki beban kepemilikan akan banyak barang!.

Fumio juga mengajarkan mengenai mengurangi kecemasan atau kekhawatiran dalam hidup dengan cara menyederhanakan hidup itu sendiri. Pada dunia seperti saat ini, ketika tuntutan dan standar hidup sangat mencekik, kecemasan dan kekhawatiran menjadi penyakit yang paling banyak diderita oleh banyak orang. Cemas yang mungkin saja dahulu terasa ‘biasa’, pada saat ini berubah menjadi sesuatu yang sangat luar biasa ketika terjadi. Orang-orang tidak bisa berhenti untuk bekerja dan berpikir untuk dapat hidup, mencekik !. Pada keadaan seperti inilah, hidup minimalis dan lebih sederhana menjadi salah satu solusi untuk meringankan banyak kekhawatiran dalam hidup.

Fumio juga menekankan bahwa perkembangan teknologi pada saat ini sudah sangat membantu kita untuk menyederhanakan hidup kita. Jadi, pergunakanlah teknologi ini untuk membuat hidup menjadi lebih sederhana dan produktif. Sebagai contoh, menonton film atau mendengarkan musik. Pada saat ini, perkembangan teknologi sudah memudahkan kita untuk menyimpan file film dan juga musik dalam storage yang sangat-sangat kecil dan simple. Dunia maya menyediakan tempat penyimpanan digital seperti google storage atau dropbox untuk menyimpan file-file penting. Gunakan mesin yang bisa mengakses mesin penyimpanan ini dan bum! jadi!.

Dalam bukunya, Fumio bahkan mengajak pembaca untuk menganalisa mengapa mereka bisa ‘tidak bahagia’ dipandang dari unsur kepemilikan suatu benda. Fumio menyimpulkan bahwa salah satu alasan mengapa kita menjadi tidak bahagia meskipun kita sudah memiliki ‘banyak benda’ adalah rasa ‘bosan’ yang sangat cepat terjadi pada kita. Rasa bosan ini tercipta karena kebiasaan hidup kita yang sudah sangat terbiasa dengan variasi, berbagai macam perubahan. Ketika variasi hilang dari sebuah benda, maka kita akan secara cepat menumbuhkan rasa bosan dan tidak nyaman. Lalu, segera menuntut untuk berpindah dan mencari sesuatu yang baru lagi. Untuk mengatasi rasa bosan ini, Fumiko menawarkan solusi berupa menumbuhkan rasa syukur terhadap benda yang kita miliki. Rasa syukur ini dapat berupa upaya untuk meningkatkan nilai kebendaaan dari benda yang kita miliki. Tidak hanya itu saja, Fumiko juga menekankan pentingnya meningkatkan fungsi dari benda yang kita miliki. Fungsi ini harus menjadi hal yang lebih penting dari hanya sekedar alasan emosional. Tapi, setelah membaca buku Fumio lebih dalam lagi, saya pun menemukan bahwa meningkatkan fungsi kebendaan dari sebuah benda pun bukanlah hal yang benar dilakukan. Fumio menuliskan bahwa, apapun yang terjadi, jangan sampai membiarkan benda atau sebuah objek menjadi tuan atas diri manusia itu sendiri. Itu tidak boleh sampai terjadi seperti ini. Jika terjadi seperti ini, manusia bisa dikatakan masih belum bisa mencapai keadaan minimalism dan master atas dirinya sendiri.

Tidak seperti Marie Kondo, Fumio menyediakan lebih dari lima puluh pelajaran yang bisa langsung dipraktikkan oleh pembaca yang berniat untuk belajar mengenai minimalism. Lima puluh lebih pelajaran-pelajaran ini sangat praktis dan cukup mudah untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Saya secara pribadi menggarisbawahi pentingnya “Disiplin diri” untuk dapat mewujudkan hidup yang lebih minimalis. Tidak hanya itu saja, Fumio juga menambahkan poin-poin penting yang dapat diuntungkan atau diambil dari praktik hidup secara minimalis. Poin-poin ini memang sengaja didaftarkan dan diurutkan berdasarkan pengalaman pribadi Fumio sebagai praktisi hidup minimalis.

fumio-sasaki-c-fumio-sasaki-300dpi-1491840373
Fumio Sasaki (Source: hips.hearstapps.com)

 

Hal yang masih belum bisa saya pahami tapi masih terus saya usahakan untuk pahami

Meskipun konsep hidup minimalis nampak cukup mudah dan bersahabat untuk dipraktikkan. Tapi, saya masih memiliki banyak hal-hal yang menjadi tanda tanya. Kebanyakan memang ada hubungannya dengan prinsip hidup atau tatanan dasar dari praktik minimalis ini. Beberapa hal yang masih belum saya pahami adalah sebagai berikut.

“Membuang” Apa yang menjadi ‘milik’

Dalam kedua buku yang saya baca, saya kerap membaca dan mengulang kata ‘membuang’. Apa yang dimiliki, jika sifatnya sudah berlebihan dan toxic. Buang!. Ini semacam peraturan pertama untuk mencapai hidup minimalis dari seseorang yang hidup maximalist.

Membuang, rasanya sangat tidak cocok di telinga saya. Mengapa harus membuang?. Mengapa harus melepaskan?. Mengapa tidak diberikan kepada orang lain atau disumbangkan saja. Bukankah akan lebih baik dan lebih memberi nilai?.

Marie Kondo memang banyak menyebutkan mengenai ‘membuang’ dan sedikit menyarankan untuk menyumbangkan atau meminjamkan kepada orang lain. Berbeda dengan Fumio dalam bukunya yang lebih banyak menyarankan untuk memberi nilai lain untuk barang yang memang tidak kita pergunakan lagi (dan berniat untuk kita singkirkan). Fumio banyak memberikan saran untuk meminjamkan barang yang tidak kita butuhkan kepada orang lain atau dengan rela memberikan kepada orang yang memang lebih membutuhkan. Saya memang lebih setuju dengan bagaimana Fumio mengkondisikan barang-barang yang sudah tidak dipergunakan lagi.

 Menjadi Bahagia dengan memiliki sedikit atau tidak memiliki sama sekali

Fumio dan Marie Kondo mengajarkan konsep bahagia dengan dasar hanya memiliki sedikit atau tidak memiliki sama sekali. Hal ini sangatlah unik dan menarik terutama karena pada masyarakat kita saat ini, kebahagiaan itu terletak pada kepemilikan dan mengklaim sesuatu. Akan nampak lebih bahagia kalau kita berhasil memiliki sesuatu yang melambangkan kekayaan, kebendaan dan harta.

Komunitas tempat saya hidup, sekeliling saya pada saat ini mengajarkan hal yang persis sama. Harkat dan martabat seseorang itu terletak pada kekayaan dan kebendaannya. Orang yang sederhana, tidak memiliki apa-apa bukanlah orang yang bahagia. Konsep ini langsung membuat orang termasuk saya pun secara otomatis memilih bekerja keras untuk dapat memiliki dan menguasai sesuatu. Itu adalah hal yang menjadi tujuan saya sekolah, bekerja dan menginvestasikan waktu saya. Jika saya tidak mampu mencapainya, maka saya bisa dikatakan ‘gagal’.

Ketika saya berencana untuk memilih hidup secara lebih teratur, lebih terorganisir dan lebih minimalis. Saya mendapatkan berbagai macam respon dari berbagai macam pihak. Banyak yang melakukan penolakan, tapi banyak juga yang mendukung. Wajar saja memang, ide untuk hidup sederhana dan terkesan miskin karena tidak memiliki apa-apa bukanlah hal yang bisa dibanggakan sebagai orang Indonesia di lingkungan tempat saya tinggal. Kesan kaya, menggunakan barang-barang bagus, suka ganti-ganti pakaian atau aksesoris adalah nilai dari seorang manusia. Ia kaya, Ia berkedudukan adalah standard kesuksesan di masyarakat. Anyone can relate ?. Yah, kebanyakan masih seperti ini. Wajar saja kalau ide untuk berbalik dari keadaan ini dan nampak ‘miskin’ menjadi ide aneh dan ditertawakan orang lain tentu saja.

Merelakan hadiah yang diberikan oleh orang lain, jika hadiah tersebut tidak kita butuhkan atau tidak kita gunakan

Dalam kebudayaan kita menerima hadiah pemberian dari orang lain dan menggunakannya adalah bentuk penghargaan dan ucapan terima kasih kepada orang yang memberikan kita hadiah. Gaya hidup minimalis mengajarkan kita bahwa kita harus tega untuk melepaskan barang pemberian orang lain, yang memang tidak kita gunkan dan tidak memberi kita keuntungan apa-apa. Kita juga dilarang untuk mengoleksi barang-barang yang sama sekali tidak pernah kita gunakan.

Giving up barang-barang pemberian orang lain ini adalah hal yang sangat sulit untuk saya pribadi. Saya takut bagaimana kalau orang yang memberikan saya barang mengetahui bahwa saya tidak menggunakan barang pemberiannya. Ia mungkin saja akan merasa sakit hati dan jera untuk memberi saya sesuatu. Tapi, dalam bukunya, Fumio mengatakan bahwa jika sampai orang yang memberi kita hadiah menjadi sakit hati dan bahkan menjauhi kita setelah tahu bahwa barang pemberiannya tidak kita hargai, hal ini menunjukkan bahwa orang ini tidak tulus memberikan kita sesuatu. Anggapan ini sedikit keras, dan saya masih berproses untuk belajar mempraktikkan hal ini.

Meningkatkan aktivitas meminjam barang jika kita tidak menggunakan barang tersebut dalam kurang waktu yang ‘lama’ dan konsisten.

Meminjam mungkin hal yang selalu saya hindari. Saya masih berpikir bahwa meminjam itu erat kaitannya dengan berutang, dan saya sangat benci berutang! Saya selalu dilanda kecemasan yang bagaimana begitu ketika saya berutang, sehingga saya selalu terpicu untuk membayar utang dalam kurun waktu ‘segera’ dan ‘secepat-cepatnya’.

Fumio dalam bukunya sangat menganjurkan pembacanya untuk meminjam barang yang memang tidak terlalu sering atau tidak secara konsisten digunakan. Hal ini terasa sangat tidak nyaman untuk saya pribadi, kalaupun memutuskan untuk melakukan peminjaman, saya mungkin harus berpikir lebih lama lagi. Saya masih bepikir untuk membeli dan memiliki sendiri dan bertanggung jawab atas barang milik sendiri.

Fokus untuk meng-eliminasi hal-hal yang tidak perlu dilakukan atau dikerjakan: Salah satu prinsip minimalis yang cukup berat. 

Salah satu hal menarik yang saya temukan dalam buku yang ditulis oleh Fumio adalah bagaimana Ia mengambil contoh hidup minimalis dari orang-orang yang terkenal. Sebagai contoh adalah Steve Jobs. Ia menuliskan bahwa Steve adalah seorang minimalis sejati. Saya rasa kita bisa menebaknya dari bagaimana Ia berpakaian. Baju hitam, celana jeans dan sepatu sneaker. Hampir sama dengan Mark Zuckerberg dengan pakaian berwarna abu-abu miliknya. Menurut Fumio, salah satu ciri orang yang minimalis adalah kebiasaanya menggunakan pakaian yang terkesan itu-itu aja. Bahkan karena itu-itu saja, pakaian tersebut berubah menjadi ciri khas dan melekat kuat sebagai karakter dari orang tersebut.

Dari beberapa contoh yang diberikan oleh Fumio, Ia memang menekankan lebih banyak pada Steve Jobs yang dinilai sebagai minimalis sejati. Steve memang orang yang tidak menyukai basa-basi, Ia sangat focus dengan apapun yang Ia kerjakan bahkan sanggup mengeliminasi hal-hal yang dirasa tidak perlu. Proses eliminasi ini bahkan terkesan sangat kejam dan nampak tidak berperasaan. Tapi, Steve memang tidak begitu peduli, efisiensi dan cepatnya mengerjakan sebuah proyek berada dalam prioritas pertama seorang entrepreneur seperti Steve.

photogrid_15633291751513330771759680212587.jpg

Mimpi saya setelah ini

Ketika membaca dan merenungkan mengenai minimalism dan decluttering. Saya memiliki mimpi untuk membuat wadah agar banyak orang dapat berbagi dan mengajarkan mengenai keterampilan ini kepada sahabat dan mereka yang membutuhkan (terutama pada saat ini adalah anak-anak asrama di sekitar tempat saya tinggal). Saya bahkan sangat tertarik untuk menjadikan kegiatan ini sebagai bisnis yang layak untuk menghidupi sedikit orang.

Saya bermimpi, saya bisa membuka lapangan pekerjaan dengan keterampilan beres-beres ini. Bukankah ini akan menjadi sesuatu yang menarik untuk dilakukan dan dikerjakan ?. Semoga saya bisa mewujudkannya nanti.

Mengapa saya melakukan hal ini ?.

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah caption mengenai membaca dan melakukan perubahan setelah membaca. Saya suka dan senang membaca, tapi muncul pertanyaan dalam pikiran saya, “Apa hasil yang bisa saya petik dari membaca ini?,  Apakah hanya sebatas bacaan tanpa tindakan ?, Bukankah rasanya rugi jika hanya membaca saja tanpa melakukan sesuatu setelah membaca ?”. Membaca akan menjadi lebih baik jika saya mampu membawa perubahan setelah saya membaca. Membaca dan memberi efek dan dampak dari bacaan. Seharusnya demikian, bukan ?.

Saya sungguh tidak ingin menjadi orang yang hanya dikenal sebagai orang yang terlalu menyukai kegiatan membaca, tapi zero tindakan. NO! Saya bukan orang yang demikian tentu saja. Atau setidaknya, saya tidak ingin menjadi orang yang seperti demikian. Rasanya sangat tidak adil dan sangat rugi jika pekerjaan saya hanya membaca dan tidak melakukan aksi.

Meskipun saya akui cukup sulit, tapi bertekat untuk menjalani hidup minimalis. Langkah saya sederhana, saya usahakan sederhana dan pelan-pelan saja. Tidak apa-apa pikir saya, karena hidup minimalis itu memerlukan proses dan usaha yang lumayan akan membutuhkan waktu yang lama (dan akan menjadi panjang) sampai benar-benar menjadi minimalis.

Good luck untuk saya pribadi dan juga untuk siapapun yang memiliki minat untuk hidup dengan jalan seperti ini.

Semangat!

17 pemikiran pada “Marie Kondo dan Fumio Sasaki: Inspirasi Gaya Hidup Minimalis ala Orang Jepang

  1. Waduh di mention, suatu kehormatan trmksh.🙇‍♀️ Marie Kondo bilang sebagai anak tengah dengan bersih2 dia dpt perhatian ortu. Jadi msg2 org punya sejarah. Org2 seperti Fumio yg tiba2 memutuskan jadi minimalis karena sudah mencapai banyak hal dan “jenuh” dgn materialism. Mereka berdua dipengaruhi aliran Zen krn memang orang Jepang. Kalau mau lihat sudut pandang barat kita bisa mencontoh Joshua Becker atau The Minimalists. Jauh lebih logis..Soal membuang mungkin terjemahannya seolah sampah ya. Padahal lebih tepat kata “mengalihkan kepemilikan”..daripada kita miliki tapi tidak terpakai. 😁

    Disukai oleh 1 orang

  2. Wah, saya baru dengar mengenai Fumio Sasaki. Sejujurnya, saya setuju dengan pendapat Marie Kondo mengenai membuang barang yang tidak terpakai. Saya hidup di asrama, seminimal mungkin saya lebih baik tidak punya barang banyak. Misalnya, alat alat masak saya dapat warisan dari para senior, tapi saya hanya ambil piring satu, wajan satu, gelas satu dan sebagainya. Tidak berlebihan, daripada pada akhirnya tidak terpakai barang itu menjadi usang dan malah rusak. Di Jepang, membuang barang2 elektronik atau barang2 yang besar justru harus membayar cukup mahal, maka dari itu banyak orang Jepang yang give away atau jual dengan harga murah ke orang lain. Misalnya, kursi, meja, kasur, tv, sepeda dan lain lain.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar, Mbak. Saya yang merasa sangat terhormat.

    Ia, saya setuju buanget, Mbak! Karena kedunya adalah orang Jepang, wajar kalau Zen menjadi bagian yang hampir tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan mereka. Baik Marie Kondo dan Fumio Sasaki, memiliki kesamaan dan juga perbedaan yang membuat mereka unik di mata penggemarnya.

    Betul, sebaiknya tidak ‘membuang’ ya mbak, tapi mengalihkan kepemilikan.

    Terima kasih, saya jadi antusias menggali lebih dalam lagi mengenai hidup minimalis.

    Suka

  4. Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar Mbak Rahayu. Senang rasanya bisa membaca sharing dari Mbak Rahayu mengenai kebiasaan orang Jepang. Wah, saya baru tahu kalau ternyata di Jepang membuang barang malah harus membayar. Terima kasih informasinya, Mbak.

    Ia, selain Marie Kondo, ada Fumio Sasaki dengan bukunya yang juga sangat booming, dan menjadi best seller. Secara personal, saya lebih menyukai buku miliki Fumio Sasaki, bahasa yang digunakan serta materi yang dipaparkan lebih bersahabat dan mudah dipraktikkan.

    Anak asrama ?. Sama! Kita satu prinsip mengenai memiliki barang yang minimal karena tinggal di asrama. Balada anak asrama ya, Mbak.

    Suka

  5. Saya masih belum paham makna minimalis itu sendiri mbak. Karena kalau hanya tampak fisik dari sisi interior rumah itu bisa dibuat. Bagaimana kalau rumahnya sudah minimalis, tapi rekening tabungannya over maximalis? Alias uangnya tak berseri? 🙂

    btw, nice article.

    Disukai oleh 1 orang

  6. Sampai detik ini, arti minimalis bagi saya masih terbatas pada kepemilikan benda/barang.
    Kalau untuk tabungan, wah…minimalis tabungan sangat tidak saya anjurkan, Mas hahahaha. Kalau mengenai isi tabungan, saya anjurkan kita ikuti paham maksimalis saja wkwkwkw.

    Terima kasih, Mas. Saya masih giat belajar untuk menulis dengan baik.

    Suka

  7. Iya Mbak sama sama! Iya, di Jepang membuang barang elektronik dan benda2 besar dikenakan biaya, makanya untuk tinggal di Jepang harus minimalis kayanya hehehe

    Beginilah hidup asrama, serba sempit juga

    Disukai oleh 1 orang

  8. Dalam sekali kajiannya mba.., pada dasarnya perilaku seseorang adalah gambaran dari sebagian yang dia yakini. Dan dalam tulisan saya lihat mba berhasil “menelanjangi” si orang jepang. Ada banyak hal penting yang dipelajari dari si orang jepang itu dan ada beberapa hal yang menurut saya kurang pas. Pada akhirnya apa yang diyakini sebagai sesuatu yang baik tidak sepenuhnya dapat melepas karakter asli seseorang. Makasih mba.., 🙏

    Disukai oleh 1 orang

  9. Terima kasih sudah mampir dan memberi komentar Bang Acri. Suatu kehormatan bagi saya pribadi.

    Ya, saya belajar dari banyak orang bahwa kita tidak bisa hanya menelan bulat-bulat apa yang ‘disajikan’ dan disukai oleh dunia. Kritis dalam berpikir dan mengelola inforrmasi adalah keterampilan yang terus menerus diasah sepanjang hidup. Saya beruntung karena banyak orang mengajarkan saya hal penting ini.

    Terima kasih juga untuk Bang Acri.

    Suka

  10. saya senang merawat barang. tapi semakin banyak yang sy punya, makin banyak yg sy rawat. sy juga senang merapikan barang, dan semakin banyak barang semakin banyak yg sy rapikan.

    fumio dan marie menginspirasi sy. jika memang punya 1 lemari utk pakaian, jng menambah lemari untuk menampung koleksi pakaian, tapi seleksi yg benar2 memberi joy, dan donasikan/ jual yg lain, agar lemari tidak bertambah.

    begitu juga aplikasi di HP, jika sdh 1 bln tidak digunakan, sy akan menghapusnya. jika koleksi poto di hp bertambah, at least luangkan waktu utk menghapus foto yg kurang bermakna, alih2 membackup atau menambah storage baru. dg demikian pikiran terasa lbh ringan dan lbh bersyukur kpd apa yg dimiliki.

    hari ini baru saja sy menyelesaikan buku Fumio, dan penjelasannya cukup mengena: dengan meminimalkan kepemilikan, secara otomatis sy merasa bersyukur atas apa yg sy miliki. bagaimana dengan anda?

    Disukai oleh 1 orang

  11. Hi, there!
    Saya sangat setuju dengan pendapat yang dituliskan di sini. Saya menyeleksi dengan sadar dan hati-hati, apa yang benar-benar memberi saya kebaikan dan juga kebahagiaan. Saya coba meminimalisir kepemilikan yang seolah mengekang kaki saya untuk berkreasi dan hidup secara optimal/maksimal.

    Apapun pelajaran yang kita peroleh, semoga kita masing-masing menemukan kebahagiaan, kepuasan dan kedamaian dalam kepemilikan kita akan barang-barang tertentu.

    Salam.

    Suka

Tinggalkan komentar