Tantangan menjadi seorang minimalis: Menahan keinginan berbelanja


Beberapa waktu yang lalu, saya pernah menuliskan tentang hidup minimalis seperti Menyoal tentang Gaya Hidup Minimalis dan tulisan tentang Marie Kondo dan Fumio Sasaki: Inspirasi Gaya Hidup Minimalis ala Orang Jepang. Sejak saat itu, saya benar-benar berniat untuk menerapkan gaya hidup teratur dan sedikit ala-ala minimalis seperti yang digambarkan dalam tulisan saya tersebut.

Alasan saya sederhana, saya hanya ingin hidup dengan sederhana. Itu saja. Mungkin, saya tidak akan se-minimalis seprti Fumio Sasaki. Saya tidak akan sanggup, tapi setidaknya saya bisa hidup tanpa bergantung pada hal-hal material yang tidak terlalu penting dan menaruh banyak perhatian saya pada hal-hal lain yang lebih penting dan lebih membutuhkan banyak waktu saya. Misalkan hubungan interpersonal dengan keluarga, sahabat dan juga pekerjaan.

Memilih untuk belajar hidup sederhana dan sedikit ala-ala minimalis membawa saya pada tantangan baru. Saya dihadapkan pada godaan untuk membeli sesuatu. Sesuatu ini bisa dalam bentuk apa saja. Bisa sebuah pena, sebuah buku bahkan sampai sebuah sepatu.

Saya ingat, ketika saya masih belum mengenal tentang hidup teratur dan sederhana (Saya lebih nyaman mengatakan hidup teratur dan sederhana ketimbang hidup minimalis),saya begitu nyaman dengan pikiran ‘ingin membeli sesuatu’. Ketika keinginan untuk membeli sesuatu muncul, saya menyiapkan diri, melihat sumber daya (dana) yang ada, lalu lekas membeli sesuatu ini. Tidak ada beban. Saya tidak merasa ada masalah ketika saya membeli barang dan barang ini berjejer dengan barang-barang saya yang lain. Saya merasa tidak masalah dengan (banyaknya) barang yang bertumpuk di tempat tinggal saya.

Namun, setelah saya mengenal konsep hidup teratur dan sederhana, semuanya berubah!. Saya menjadi cukup tertekan ketika muncul keinginan untuk membeli sesuatu. Keinginan ini muncul entah karena memang hanya ‘lapar mata’ atau memang membutuhkan sesuatu ini (meskipun tidak seratus persen membutuhkan). Saya cukup tertekan ketika harus menekan perasaan untuk membelanjakan uang yang saya miliki.

Ada sederet pertimbangan yang keluar dari pikiran saya. pikiran saya seperti sedang menyidang saya sambil ngotot memimta jawaban atas pertanyaan,

“Apakah sesuatu (barang) yang ingin kau beli ini perlu?”,

“Apakah benda ini bisa memberimu kepuasan, kebahagiaan dan kedamaian?”,

“Apakah benda ini bisa membuatmu menghasilkan sesuatu ?”,

“Apakah kau memiliki benda (barang) yang memiliki fungsi yang sama, yang bisa kau gunakan tanpa harus membeli baru ?”.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya harus sejenak berperang dengan diri saya sendiri, dan memaksa saya untuk mengulur waktu memberikan keputusan. Meskipun saya harus akui, karena konflik dalam pikiran saya ini, saya akhirnya mengambil keputusan “Tidak membeli” barang yang saya inginkan ini.

Kerap kali, ketika saya melewati toko yang menjual barang yang ingin saya beli ini, saya hanya lewat dan sesekali mampir, tapi tidak membeli. Terus saja demikian. Saya bahkan pernah sangat memimpikan barang ini, saya bahkan sudah memiliki visi saya menggunakan barang ini dengan nyamannya. Tapi apa yang terjadi, saya tetap berpegang teguh pada keputusan saya. Saya tidak membeli.

Saya tahu, saya pasti sangat membuat kesal penjual barang. Saya sudah memegang, menanyakan harga bahkan sudah menawar barang. Tapi, saya malah pergi begitu saja dan tidak jadi membeli.

Merenungkan perilaku saya seperti ini, sungguh menyedihkan. Saya menyiksa diri saya sendiri, hanya karena keinginan saya. Saya bahkan pernah menyalahkan ‘keinginan’ saya ini. Mengapa saya bahkan memiliki keinginan untuk memiliki benda ini. Saya seharusnya tidak memiliki keinginan. Saya bahkan memikirkan sampai kesana.

Saya pernah mendiskusikan mengenai keinginan saya untuk membeli barang dan kuatnya prinsip saya untuk tidak membeli barang tersebut kepada sahabat saya. Sahabat saya hanya berkata, “Mengapa kau tahan menyiksa dirimu sendiri selama ini ?”. Sahabat saya ada benarnya juga. Saya tidak bisa menyalahkan keinginan sahabat saya untuk melihat saya lepas dari derita dan menikmati hidup (Menikmati hasil kerja keras saya sendiri).

Saya juga pernah berpikir, “Apakah saya ini seorang yang tersesat dengan paham hidup teratur dan sederhana (Hidup minimalis) ?”. Upaya untuk menjawab pertanyaan ini saya lewatkan begitu saja dalam pikiran. Lain kali pikir saya, lain kali akan saya jawab.

Demikianlah kawan, curahat hati seorang manusia yang ingin hidup lebih sederhana tapi masih saja berkonflik dengan keinginan dalam dirinya sendiri. Saya merasa ini adalah pelajaran. Sesuatu yang harus saya hadapi dan pelajari untuk kedepannya.

Saya heran, bagaimana orang seperti Fumio Sasaki dan para minimalis di luar sana mampu bertahan dari keinginan untuk memiliki barang lain diluar barang yang mereka miliki. Apa yang mendorong mereka begitu kuat dan teguh menyayangi barang yang ada pada mereka saat ini dan tidak menggantinya dengan barang baru?

Semoga harimu menyenangkan, Kawan.

Iklan

39 pemikiran pada “Tantangan menjadi seorang minimalis: Menahan keinginan berbelanja

  1. Kalau pengin beli lebih baik beli saja mbak, selama tidak berlebihan dan tidak mengganggu anggaran kebutuhan pokok. Sesekali kita juga perlu memberi reward kepada diri sendiri sebagai hasil dari bekerja. Menurutku begitu, mbak Ayu. 🙂

    Disukai oleh 2 orang

  2. Pendapat yang menarik, Mas.
    Ia, saya harus mempertimbangkan hal ini, “Memberi reward” pada diri sendiri. Ini tujuannya lebih mulia.

    Terima kasih, Mas.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Sesekali beli sesuatu yg “agak mahal” bagi diri sndr sbg reward gk mslh sih sbnrnya. Kan cuma sesekali. Kecuali kl keseringan aplg sampai kebutuhan pokok dikalahkan demi memenuhi keinginan beli barang yg sbnrnya gk penting2 amat 😊 trmksh atas sharingnya.

    Disukai oleh 2 orang

  4. Wah, ini masukan yang sangat menarik, Mbak Luna.
    oh iya, rasanya saya pernah membaca tulisan Mbak Luna juga mengenai membeli barang yang mahal (dan bermerek) ketika berbelanja. Tidak perlu sering, tapi barang yang dibeli sudah berkualitas bagus.

    Terima kasih, Mbak.

    Disukai oleh 1 orang

  5. Pengen banget jadi minimalis, tapi aku nya suka laper mata 😭 aku pernah beli sesuatu agak mahal untuk reward karena udah lama menabung, eh ujung2nya beli banyak, mahal dan ga terkendali

    Disukai oleh 2 orang

  6. Mungkin kecintaan mereka terhadap ruang yg kosong lebih besar daripada kecintaan pada barang baru–)) kenapa minimalis bisa bertahan

    Disukai oleh 2 orang

  7. Saya juga masih dalam tahap pengen dan masih belajar satu persatu, Mbak. Tidak bisa langsung sekaligus ini, berat hahahaha.
    Minimalis ala saya saja nanti jadinya.

    Nah, salah satu tujuan ketertarikan saya pada gaya hidup minimalis ini adalah bagaimana mengontrol nafsu berbelanja. Ah, menarik pokoknya, Mbak.

    Suka

  8. Wah, ini jawaban yang sangat filosofis sekali. Mungkin, Mbak. Selain karena kecintaan pada ruang kosong, mungkin juga adalah besarnya peghargaan mereka pada benda-benda dalam jumlah sedikit yang mereka miliki. Entahlah, siapa yang tahu, Mbak.

    Suka

  9. wow, tampilan blognya baru nih.

    btw, untuk menerapkan sisi minimalism untuk diriku belum bisa kalau masih banyak kebutuhan ini itu. kalau dah berkecukupan baru bisa. that’s what I think

    Disukai oleh 2 orang

  10. Wah, Ia Kak. Saya orangnya mudah bosan, jadi sering gonta ganti tampilan blog. Sesuaikan dengan suasana hati.

    Ia, minimalism itu bukanlah gaya hidup yang menggunakan kata ‘harus’ dan ‘harus’. Ini adalah gaya hidup yang harus terus dimodifikasi oleh mereka yang memilih hidup demikian. Saya pun masih dalam proses, tidak bisa langsung. Menurut saya sih demikian, Kak hehehe.
    Tapi, saya beneran niat mau memilih gaya hidup ini. Lebih tepatnya ingin memilih gaya hidup yang kaya akan unsur ‘penghargaan’ dan menghargai benda-benda yang ada di sekitar/yang dimiliki.

    Suka

  11. Saya setuju sih dengan minimalis. Tetapi hanya barang barang tertentu saja. Misalnya elektronik, perabotan dan lain lain. Beda cerita dengan barang yang dipakai sehari hari. Sebagai wanita, saya juga ingin mempercantik diri sendiri karena hal itu say anggap sebagai ikhtiar dalam mencari jodoh hahaha

    Disukai oleh 1 orang

  12. Sebelum ada istilah “minimalism”, sejak kecil kita sdh diajarkan ” hidup sederhana”. Di era Suharto ada istilah “mengencangkan ikat pinggang” alias hidup hemat, jangan berlebihan, jangan boros. Jadi menurut saya, minimalisme itu bukanlah sesuatu yang baru.

    Disukai oleh 1 orang

  13. Hi, Kak Andi Hajar. Terima kasih sudah mampir dan memberi komentar.

    Ia, saya setuju. Minimalism itu bukanlah hal yang baru. itu adalah hal atau barang lama, yang dipermak lagi dalam kemasan yang baru. Kalau berbicara mengenai konsep marketing, saya rasa ini adalah konsep berjualan dan marketing yang unik dan menarik karena ide tentang minimalism ini dikemas dari ide-ide lama, dijual ke orang-orang, dan laku keras!

    Suka

  14. Kalau mau ngerem nafsu belanja, saya punya trik: tidak jalan2 ke mall, pasar, toko. Tidak buka aplikasi belanja online. Karena kalo melihat banyak barang, jadi lapar mata dan akhirnya ingin beli. Daripada tersiksa melihat barang2 itu tapi harus menahan diri utk tdk beli, lebih baik jangan diliat. Dari mata turun ke hati. Dari pandangan jadi pengin beli… Ini berlaku utk barang2 yg tdk terlalu dibutuhkan, hanya utk kesenangan. Utk barang2/kebutuhan pokok, ya harus dibeli. Kalau ke toko, siapkan list belanja dan langsung ke rak yg dimaksud. Gak usah byk celingak-celinguk, liat ini-itu, mampir sana-sini. Bayar lalu pulang. Sy menerapkan trik ini. Hasilnya: hati tenteram, isi dompet selamat.

    Disukai oleh 1 orang

  15. Wah, mantap kali Kak Andi. Terima kasih banyak atas sarannya. Ya, untung saja karena masa pandemi ini. saya jadi jarang jalan-jalan, dan memang melarikan diri untuk bekerja saja. Nafsu belanja lumayan terkendalikan, bahkan baru-baru saja kemarin, meskipun tanda diskon besar sekali di depan mall, saya berjalan melaluinya dengan aman tenteram.

    Suka

  16. Iya mbak. Sy belajar trik ini dr ibu sy. Beliau org yg sgt teguh, gak mudah terbujuk berbagai barang yg ditawarkan. Katanya, sebelum mengeluarkan isi dompet, tanya dulu diri sendiri: “penting gak nih?” “memang dibutuhkan ya?”… Gak usah window shopping. Jujur sj, waktu kita gak liat barang2 itu, gak ada keinginan beli kan? Tapi pas kita liat di etalase toko, seakan-akan barang2 itu manggil2 kita… Beli aku dong…beli aku… Tiba2 jadi ngerasa butuh deh. Padahal sebelum diliat, gak ada terbersit di hati. Intinya: gak usah diliat. Titik. Kita bisa bebas dr siksaan batin kan? Nah, lama2 kita akan jadi kebal. Meskipun diliat, tapi kita gak tersiksa lg ingin beli. Trus trik kedua: kalo misalnya kita setengah mati ingin beli barang yg sebenarnya gak penting2 amat, kita diamkan dulu keinginan itu selama beberapa hari. Jangan langsung eksekusi, jgn langsung order. Sabar… Diamkan bbrp hari. Setelah bbrp hari, biasanya pikiran kita jadi teralihkan dan kita tidak menggebu-gebu lagi ingin beli. Bahkan minat sdh hilang, selera menurun. Kita kembali berpikir normal, mampu ngerem diri. Coba aja mbak. Semoga berhasil…

    Disukai oleh 1 orang

  17. Mantappp banget, Kak Andi. Saya senang sekali membaca komentar ini. Memang, beberapa kali, saya jatuh ke dalam lobang ya sama. Berkali-kali malah. Tapi, saya akan coba trik yang dibagi oleh Kak Andi di sini. Sangat bermanfaat, Kak.

    Suka

  18. Iya mbak. Coba aja trik “mendiamkan keinginan selama beberapa hari” itu. Saya sdh sering praktekkan. Hasilnya: keinginan jadi menurun bahkan hilang sama sekali. Penyebabnya krn hasrat belanja yg tadinya menggebu-gebu jadi teralihkan oleh hal2 lain. Selama bbrp hari kita pasti disibukkan dgn memikirkan dan mengerjakan hal2 lain. Bahkan kita jg membeli berbagai kebutuhan pokok. Akibatnya isi dompet menipis dan gak ada lagi dana utk beli barang yg sebenarnya gak penting2 amat itu. Kita jg akhirnya berpikir lebih jernih: “gak usah beli barang itu, gak terlalu mendesak jg… Hanya menumpuk di lemari aja …” dll. Saya mengutip pendapat bapak Kurniawan Junaedhie, salah seorang penulis dan sastrawan bhw “Nuansa interaksi yg terjadi antara penjual dan pembeli tanaman hias biasanya berlangsung dalam situasi yg irasional, emosional, dan impulsif..” Bukan hanya dalam pembelian tanaman hias, tapi utk semua jenis barang, pembeli didominasi oleh dorongan perasaan. Dengan mendiamkan keinginan selama bbrp hari itu, diharapkan keinginan yg tadinya menggelora itu bisa menurun dan padam dgn sendirinya…

    Disukai oleh 1 orang

  19. Dorongan perasaan utk membeli, sy rasakan lebih dominan utk kategori barang non kebutuhan pokok alias barang yg gak terlalu mendesak, hanya utk kesenangan. Kalo utk kebutuhan pokok, ada dorongan perasaan yg kuat atau tidak, toh tetap harus dibeli kan? Intinya adalah bagaimana cara kita “menaklukkan diri sendiri”. Trik yg sudah sy jelaskan diatas adalah trik/cara yg sy terapkan pd diri sy sendiri. Mungkin orang lain punya cara2 berbeda tapi tujuannya tetap sama: menaklukkan/mengerem nafsu belanja agar tidak jadi kebablasan. Kalau nafsu gak terkontrol, repot deh jadinya… Terima kasih mbak Maria, sudah dibolehkan mampir disini…

    Disukai oleh 1 orang

  20. Oh ya mbak, apakah menurut mbak, beres2 rumah itu begitu rumit dan sulit? Sehingga Marie Kondo mesti terjun langsung beri tutorial beberes rumah? Ini sesuatu yg menarik. Di Indonesia belum ada profesi jadi konsultan beres2 rumah. Yg ada adalah asisten rumah tangga.

    Disukai oleh 1 orang

  21. Wah, mantap sekali ini, Kak Andi. Saya setuju dengan alasan “membeli karena alasan perasaan” saja. Saya pun banyak membeli barang dengan alasan ini dan kadang juga karena alasan “kasihan” dengan penjual. Hasilnya, saya sering membeli barang yang sebanarnya sangat tidak saya perlukan. Terima kasih sharing-nya, Kak. Sangat bermanfaat!

    Suka

  22. Saya senang sekali mendapatkan sharing pengalaman seperti ini, Kak. Luar biasa!
    Mampir juga Kak untuk tulisan lainnya tentang minimalis ya Kak. Terima kasih banyak.

    Suka

  23. Kak, untuk orang seperti di Amerika Serikat, saya rasa mereka sangat menjiwai gaya hidup maksimalis. Suka membeli banyak barang, tapi tidak memanfaatkannya dengan maksimal. Selain itu, banyak orang-orang yang tidak memiliki waktu untuk menikmati barang belanjaannya dengan maksimal juga. Setidaknya demikian hasil pengamatan saya dari beberapa video yang saya tonton. Untuk alasan inilah saya rasa mengapa Marie Kondo begitu sangat terkenal di sana. Marie Kondo mungkin tidak terlalu terkenal di tempat asalnya, karena mungkin di lingkungan sana, orang suka merapikan tempat tinggalnya dan hidup dengan minimalis.

    Itu pendapat saya, Kak.

    Untuk di Indonesia, saya tidak tahu. Tapi, apa yang dikerjakan oleh Marie Kondo ini, bisa dipraktikkan dan dicontoh oleh orang Indonesia, dan dijadikan sebagai peluang usaha juga.

    Suka

  24. Resolusi sy di tahun 2021 mendatang adalah mengurangi belanja barang yg gak penting dan mengurangi barang gak terpakai di rumah. Kelihatan sepele tapi berdampak besar utk kenyamanan dan kebahagiaan hidup sy.

    Disukai oleh 1 orang

  25. Saya pakai kata “mengurangi” bukan “berhenti” karena menghentikan kebiasaan itu butuh waktu, tidak bisa instan dan seketika. Soal Marie Kondo, mungkin banyak jg yg menghujat dia, menganggap dia kapitalis yg mengeruk uang, dll. Tapi apapun itu, dia telah membuat suatu “revolusi” yg mempengaruhi pikiran dan perilaku banyak orang. Dia menyebarkan aura positif dimana banyak orang akhirnya mau decluttering alias beres2 rumah. Rumah yg bersih, rapi, teratur, memberikan dampak yg positif bagi kesehatan fisik dan jiwa kita. Thanks to Marie Kondo!

    Disukai oleh 1 orang

  26. Wah, saya sangat setuju sekali dengan resolusi ini, Kak. Saya pun demikian. Sejak membaca dan juga menulis tentang minimalis di sini, saya memang sudah belajar untuk jadi sederhana dan berusaha untuk memaksimalkan barang-barang yang ada di rumah. Semoga tahun depan, bisa lebih teletan lagi.

    Suka

  27. Senang sekali membaca tulisan teman teman…sudah mulai belajar untuk hidup sederhana tidak lapar mata dengan diskon2

    Disukai oleh 1 orang

  28. Terima kasih, Kak.
    Semoga kita bisa hidup sederhana dan peka dengan keadaan di lingkungan kita.
    Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan pesan, Kak.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s