Memerdekakan Pikiran : Sebuah Pengantar


Pada tanggal 17 Agustus 2019, Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaannya yang ke-74. Sudah tujuh puluh empat tahun Indonesia menyatakan dirinya merdeka atas penjajahan bangsa asing. Sudah tujuh puluh empat tahun negara yang menamai dirinya sebagai Indonesia berdiri setara dengan bangsa-bangsa lain dalam hal status kemerdekaan. Lebih lanjut, Semaraknya perayaan kemerdekaan ini terus beriringan dengan pertanyaan yang sangat klasik,

“Apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka ?”.

Jawaban dari pertanyaan ini sangat luas dan bervariasi, masing-masing orang memiliki pemikirannya masing-masing. Saya sendiri, menggunakan pertanyaan ini sebagai permenungan pribadi dengan sedikit mengubah pertanyaan menjadi,

“Apakah saya sudah merdeka ?”

Satu pertanyaan dengan respon yang sangat banyak di kepala saya.

Untuk tulisan saya kali ini, saya akan membagikan sedikit hal mengenai kemerdekaan dalam perspektif saya, kemerdekaan pikiran.

Mengapa?

Perayaan kemerdekaan tahun ini saya jalani dalam “diam” di asrama tempat saya. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang saya manfaatkan dengan sangat maksimal untuk merayakan bersama-sama perayaan hari kemerdekaan. Tahun ini, saya harus menerima bahwa saya harus menghabiskan waktu saya seorang diri, di kamar.

Bukan karena saya malas atau sangat tidak antusias dengan perayaan bersejarah ini, hanya saja tahun ini, tepat pada hari kemerdekaan ini, saya pun mengalami tumpah darah yang sedikit menyiksa (Anak perempuan pasti tahu maksud saya). Keadaan yang saya alami ini, memaksa saya untuk tetap tinggal di rumah dan beristirahat.

Diam dan beristirahat di asrama (di rumah) membuat saya memiliki cukup waktu untuk melakukan permenungan, reflaksi diri sambil dipandu oleh pertanyaan, “Apakah saya sudah merdeka ?”.

Hasil dari pemenungan ini, saya buat dalam bentuk tulisan ini, dengan harapan ketika saya bertanya pada diri saya sendiri pertanyaan, “Apakah saya sudah merdeka?”, maka saya memiliki sedikit jawaban yang bisa memuaskan diri saya sendiri. Syukur kalau bisa membantu orang lain untuk bisa menemukan arti kemerdekaan untuk mereka sendiri.

Seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya, tulisan saya kali ini menitik beratkan pada ‘diri sendiri’, pada kesadaran akan diri. Saya rasa para pembaca saya sudah paham karena tulisan saya yang seperti ini lahir karena saya masih bekerja sebagai seorang perawat kesehatan jiwa (dan saya tidak berniat untuk berhenti dalam waktu dekat ini).

Sedikit cerita, ada beberapa orang sahabat saya yang juga merupakan pembaca setia tulisan di blog ini, beberapa waktu yang lalu memberi saya komentar kurang lebih begini,

“Apakah kamu sudah berhenti menjadi penulis topik mengenai ilmu keperawatan dan praktiknya ?”.

Ehm, pertanyaan ini benar-benar langsung menusuk jantung saya. Saya kemudian sedikit memutar otak untuk mencari topik apa yang bisa saya bagikan kepada pembaca, terutama yang ada hubungannya dengan jati diri saya. (Terima kasih untuk sahabat saya, yang sudah mengingatkan saya mengenai siapa saya dan apa pekerjaan saya).

Okay, lanjut!

Arti Kata “Kemerdekaan”

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring. Kemerdekaan diartikan sebagai,

“Keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya); kebebasan”.

Sedangkan, merdeka dapat diartikan sebagai,

“Bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri”, bisa juga berarti,

“Tidak terkena atau lepas dari tuntutan; tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa”.

Definisi yang ditunjukkan diatas, jika kita ambil kesimpulan merujuk pada kata “Bebas, lepas dan tidak terikat”. Itulah arti kata kemerdekaan, merdeka.

Penjajahan pikiran

Sebelum masuk ke topik mengenai memerdekakan pikiran atau kemerdekaan pikiran, saya harus menjelaskan sedikit mengenai konsep penjajahan pikiran.

Jika dalam tulisan Hira Djamtani, penjajahan pikiran dikaitkan dengan ‘hak asasi manusia’, maka saya lain cerita. Saya melihat penjajahan pikiran sebagai bagian dari aktivitas kognitif yang berusaha menghambat manusia, seorang individu untuk berkembang dan mencapai potensialnya. Saya juga menilai konsep penjajahan pikiran sebagai keadaan pembiaran pada aktivitas cognitive yang tergolong kedalam ‘error’.

Seperti apa bentuknya ?.

Bentuknya seperti yang dijelaskan oleh Rob Willson dan Rhena Branch dengan buku mereka yang berjudul Cognitive Bahavioral Therapy (CBT) for Dummies. Penjajahan pikiran atau yang lebih dikenal sebagai error of thinking memiliki berbagai bentuk dan jenis, beberapa diantaranya adalah Catastraphising, All-or Nothing thinking, fortune-telling dan masih banyak lagi. Berbagai error of thinking ini menghambat seorang individu untuk mencapai poetensi terbesar mereka dan lebih parahnya adalah keadaan yang menyebabkan seseorang terjebak dalam keadaan cemas, rendah diri dan masih banyak keadaan yang tidak menguntungkan lainnya.

Saya merasa, error dalam berpikir ini adalah penjajah sesungguhnya dalam diri masing-masing individu. Error ini harus diluruskan kembali, di-set ulang agar tidak menimbulkan kerugian yang menyusahkan. Dalam ilmu psikologi, sangat memungkinkan untuk membasmi, menghilangkan penjajahan pikiran seperti yang sudah digambarkan.

Saya akan menuliskan topik mengenai errors in our thinking ini pada tulisan-tulisan saya kedepan. Stay tune!

 

addiction-unlimited_thinking-errors
Berikut adalah beberapa pengenalan singkat mengenai Errors of Thinking.

 

 

Meditasi dan Mindfulness: Kemerdekaan Pikiran yang sederhana

Pada masa kemerdekaan ini, saya ingin mengambil sedikit waktu untuk menegakkan pikiran saya sendiri untuk disiplin dalam melakukan mindfulness dan hidup se-optimal mungkin. Saya ingin lepas dan bebas dari pikiran-pikiran yang dapat menghambat saya mencapai potensi maksimal saya sebagai manusia.

Baca juga: Kemerdekaan Pikiran

Saya pasti memiliki cara saya sendiri, meditasi dan walking meditation adalah dua hal yang sangat saya gemari. Kegiatan ini benar-benar membantu saya menjernihkan pikiran dan saya banyak terbantu dengan dua kegiatan ini.

Mengambil waktu sejenak untuk merasakan rasa sakit ketika saya merasakan sakit kepala (akibat efek berhenti mendadaknya saya dari kopi) mengajarkan saya untuk lebih mendengarkan tubuh saya. Saya sudah lama memanjakan diri saya dengan zat seperti kafein, pada saat ini Ia menangis dan meregang karena kehilangan zat yang terus ada di sana setiap harinya. Saya memahami apa yang dirasakan oleh tubuh saya, dan saya membawa rasa sakit ini bersama. Saya menerimanya.

Bagaimana dengan pembaca sekalian, apakah memiliki cara yang sama ? atau mungkin berbeda ?.

 

Kemerdekaan-kemerdekaan yang lain.

Kemerdekaan atas “ketidaktahuan, ketidakpedulian dan ketidakmauan” untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945.

Kemarin, 16 Agustus 2019, saya memutuskan untuk sedikit berselancar di Facebook. Saya kaget karena menemukan sebuah status yang diunggah oleh seorang sahabat. Ia menuliskan mengenai negara Indonesia yang tidak berlandaskan Pancasila, tapi berlandaskan hanya pada sila pertama dari Pancasila. Status Facebook sahabat saya ini membuat isi kepala saya sedikit gatal, ingin sekali saya membalas isi statusnya dan memberikan respon saya atas tulisannya. Tapi, saya urungkan saja. Sudah sangat lama ketika saya memutuskan untuk tidak melakukan kontak (lagi) dengannya, dengan alasan kenyamanan warga Facebook yang menjadi pengikut kami berdua.

Beberapa tahun silam, saya pernah membuat heboh (sedikit) karena diskusi dan dialog bebas saya dengan sahabat saya ini. Hingga suatu waktu, saya menyadari betapa bodohnya saya, dan saya akhirnya melepaskan diri dari diskusi yang Ia bawa ke media social. Beberapa kali saya diundang untuk melakukan diskusi seputar topik yang secara bebas Ia pilih, tapi saya menolak. Saya tidak ingin memberikan panggung kepada sahabat terkasih saya ini. Terlebih lagi, saya tidak ingin menyeret diri saya sendiri ke tempat atau keadaan yang tidak saya inginkan.

Sahabat saya ini, terus menjadi pokok doa saya selama beberapa tahun ini. Ia saya golongkan sebagai seorang yang idealis dengan tingkat yang ‘sangat’. Diskusi dengannya adalah kesia-siaan, karena dalam perspektif saya, dia tidak ingin menerima masukan apapun dari saya. Saya lelah sendiri jadinya.

Jejak digital saya berdiskusi dengannya akan terus ada di sana dan Semoga jejak digital ini tidak membuat kami dipenjara karena kebodohan kami dalam berpendapat dan mengemukakan pembenaran diri. Saya belajar banyak hal darinya, terutama dalam hal ‘berdebat’. Saya belajar mengontrol diri darinya.

Okay, kembali ke topik awal. Saya melihat pekerjaan rumah besar untuk bangsa ini. Tahun ini, tema kemerdekaan dititikberatkan pada #SDMunggulIndonesiaMaju. Perkara sumber daya manusia ini bukanlah hal yang mudah. Manusia dalam sejarah adalah makhluk yang sangat ambisius, kokoh pada pendirian dan adalah makhluk yang belajar. Ya, meskipun manusia adalah makluk yang belajar dan karena belajar inilah maka Ia mampu untuk dirubah, tapi ada banyak faktor yang diperlukan untuk mengubah manusia. Ah, pokoknya adalah tugas yang besar dan berat untuk bisa mengunggulkan SDM ini.

SDM yang unggul adalah juga SDM yang terbebas dari paham-paham yang menyesatkan. SDM yang berpegang teguh pada Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Tidak menggunakan paham-paham yang malah mengarah pada konsep ‘makar’. Ah, berat sekali membahas mengenai hal ini. Tapi, inilah yang saya maksudkan. Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk menjadikan masyarakatnya bebas dari pikiran dan niat untuk memecah belah bangsa ini.

Kemerdekaan dari faktor dalam diri yang menghambat kemajuan dan perkembangan diri.

Kemerdekaan ini adalah kemerdekaan yang lebih bersifat pada diri sendiri. kemerdekaan ini adalah kemerdekaan dari rasa malas, perilaku menunda-nunda pekerjaan, rasa iri dengki, sifat suka mengibah dan masih banyak lagi sifat yang dapat menghambat kemajuan dan perkembangan diri.

Mengenai perilaku menunda-nunda pekerjaan. Silahkan mampir ke Blog sahabat saya, Maria Dhawo. Ia menuliskan sesuatu yang menarik mengenai cara untuk melawan keinginan untuk terus menunda pekerjaan.

Perilaku seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya ini adalah penghambat kemerdekaan masing-masing individu. Hal-hal seperti ini harusnya bisa disingkirkan dan diri sendiri seharusnya bisa ‘merdeka’ dari keadaan mengenaskan ini.

Kemerdekaan dari terpengaruh dan hanya tergantung pada pendapat orang lain.

Ada, ada orang yang demikian. Orang yang mencari harga diri dari hanya pendapat orang lain saja. Mereka adalah orang yang tidak percaya pada diri dan kemampuan diri sendiri. Orang yang seperti ini, saya golongkan kedalam kelompok mereka yang suka melecehkan diri sendiri.

“Apakah sukses itu hanya berdasarkan pengakuan dari orang lain saja ?”

Itu pertanyaan saya pada mereka yang menggantungkan dirinya hanya pada mengemis pada pengakuan orang lain. Ah, Semoga kita sekalian tidak demikian.

Saya berharap, Semoga kita sekalian menghargai dan menyayangi diri kita sendiri dan menaruh standar kesuksesan kita bukan hanya pada ‘pengakuan atau persetujuan dari orang lain’.

Kemerdekaan dari Kopi

Hari kemerdekaan tahun ini, saya dedikasikan sebagai hari untuk mulai berhenti mengopi atau minum kopi. Saya menyadari bahwa kopi membawa pengaruh buruk (lebih banyak) dari pada pengaruh baik untuk tubuh saya. Saya mengalami gangguan kecemasan terus menerus dan itu sangatlah tidak baik untuk diri saya sendiri (Mereka dengan masalah gangguan kecemasan dianjurkan untuk mengurangi input kafein pada tubuh mereka, dan kalau bisa tidak minum kopi sama sekali).

Saya lalu membulatkan tekad untuk berhenti mengonsumsi kopi. Keputusan ini mungkin adalah keputusan yang sangat berat untuk saya pribadi. Tetapi, saya ingin sekali membersihkan tubuh saya dari pengaruh buruk kafein. Bukan berarti saya tidak minum kopi sama sekali, hanya saya harus membatasi sedikit konsumsi kopi dalam tubuh saya. Demi kebaikan saya juga nantinya.

Demikian sedikit cerita saya mengenai kemerdekaan dan kemerdekaan-kemedekaan kecil lainnya. Bagaimana denganmu, kawan ?

 

 

Beberapa tulisan yang ikut menginspirasi saya untuk menuliskan topik ini

Sahabat blogger saya, Luna Pratiwi menuliskan hal indah mengenai perayaan kemerdekaan ini dengan judul “Poem/ Small Notes on Independence Day”. Tulisannya ini ikut menginspirasi saya untuk menuliskan tulisan ini.

HIRA JHAMTANI dari blog miliknya bebaspikir.com dengan tulisannya yang berjudul “Memerdekakan Pikiran dan Ruang Hidup”. Tulisan milik Ibu Hira ini saya temukan secara tidak sengaja ketika saya mengetik di Google dengan kata kunci, “Penjajahan pikiran”. Ketidaksengajaan ini membawa saya pada keinginan kuat untuk melanjutkan ide untuk menulis mengenai topik memerdekakan pikiran.

Rob Willson dan Rhena Branch dengan buku mereka yang berjudul Cognitive Bahavioral Therapy (CBT) for Dummies. Buku ini sangat membantu saya mempelajari secara sederhana dan akurat praktik CBT yang sering disebut-sebut oleh para praktisi kesehatan jiwa (dan para praktisi keperawatan jiwa juga). CBT adalah hal yang sangat mendasar, harus dipelajari juga oleh seorang perawat.

Beberapa waktu yang lalu, saya sembat berdebat kecil dengan salah satu sahabat saya. Ia dalam persepsi saya sangat ngotot untuk tidak secara gamblang mempelajari mengenai CBT. Ia sangat mendorong saya untuk berhati-hati dan menyerahkan persoalan CBT hanya kepada dokter atau Psikiater atau Psikolog (Saya pernah berpikir kalau sahabat saya ini mungkin saja terkena penyakit penjajahan pikiran). Saya tidak setuju dengannya, saya seperti biasanya sangat ingin mempelajari hal seperti ini dan saya lakukan. Selanjutnya, saya berdiskusi dengan sahabat saya lainnya yang merupakan psikiater dan psikolog. Diskusi kami menarik dan saya sangat tidak menyesal sudah mempelajari mengenai CBT ini.

Dan yang terakhir ini mungkin adalah bonus,

Dalam beberapa hari ini, saya ter-infuse dengan ide mengenai minimalist living and practice. Saya menemukan sosok Youheum dari video-video yang Ia share di Youtube. Saya selanjutnya menjadi sangat tertarik dengan sosoknya. Mengenalnya dari Youtube, saya selanjutnya beranjak ke Blog-nya yang bernama Heal Your Living. Saya begitu terkesan dengan gaya hidupnya, dan menggunakan beberapa waktu luang saya untuk membaca, menyaksikan karya-karya yang Ia telurkan. Sangat menarik!

Selanjutnya adalah musik.

Bukan rahasia lagi kalau musik dapat menginspirasi kita sampai level kreativitas tertentu. Saya juga termasuk orang yang dengan sangat mudah terinspirasi oleh musik. Pada saat ini, dan pada saat menuliskan tulisan ini, saya sedang menikmati lagu jenis country yang dinyanyikan oleh Duo Maddie and Tae yang berjudul “Die from a Broken Heart”. Lagu mereka sangat unik dan saya sangat menikmati setiap melodinya.

Have a nice day, everyone!

 

23 pemikiran pada “Memerdekakan Pikiran : Sebuah Pengantar

  1. wahh, terharu ada nama saya disebut >.< sbnrnya yang susah adl merdeka dari penjajahan diri sendiri krn musuh terbesar sejatinya adl diri sendiri bkn orang lain. sama kayak negara ini. okelah, Indonesia emg udh merdeka dari penjajahan bangsa asing. tapi, problemnya hari ini, kita banyak bertengkar sesama anak bangsa sndr (contoh terbaru : kasus pelecehan rasial thdp mhs Papua di Surabaya). ulasannya lengkap dan mendalam sprti biasa.
    salam hangat.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Kemerdekaan dan kebebasan juga memiliki belenggu yang lebih besar, lho. Dalam sehari aku punya 5 x kewajibam untuk memerdekakan pikiran dan melupakan masalah2 dunia. 😄

    Disukai oleh 2 orang

  3. Terima kasih, Mbak Luna. Saya memang sangat terinspirasi dengan tulisan Mbak Luna beberapa waktu yang lalu. Draf tulisan ini sudah jadi, tapi saya sedang sibuk dalam beberapa waktu ini dan lupa publish tulisan ini segera.

    Saya setuju, musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Ironis ya hahaha.

    Terima kasih sudah bersedia meninggalkan komentar.

    Disukai oleh 2 orang

  4. Ia, Kak. Pasti selalu diiringi dengan tanggung jawab dan lain sebagainya.

    Wah, “…5x kewajiban untuk memerdekakan pikiran dan melupakan masalah-masalah dunia”. Ini pernyataan yang sangat dalam sekali, Kak.

    Disukai oleh 1 orang

  5. Tulisannya bagus kak. Kak menurut kakak lomba 17 agustus itu kan banyak masihan makan kerupuk, tarik tambang, panjat pinang. Padahal negara lain pada lomba buat robot. Bagaimanakah kakak menanggapi hal itu?

    Disukai oleh 3 orang

  6. Terima kasih, kak.

    Menanggapi paparan masalah yang Kakak berikan, saya akan menanggapinya demikian. Saya menyambut baik kegiatan masyarakat luas untuk menyambut perayaan ulang tahun kemerdekaan kita. Sangat malah !.
    Saya termasuk orang yang sangat antusias dengan kegiatan persiapan untuk merayakan hari kemerdekaan negara kita.
    Bentuk kegiatan yang Kakak paparkan adalah bentuk kegiatan yang menjadi kegiatan tahunan di negara kita, saya menyambut baik kegiatan ini.

    Lalu, mengenai ‘lomba membuat Robot’ yang dilakukan oleh negara lain, humm…Saya belum melakukan validasi, negara mana yang menyelenggarakan lomba membuat robot pada hari kemerdekaannya. (Mungkin Kakak bisa memberi saya informasi ?). Bagi saya, setiap negara dan terutama warga negara suatu negara memiliki hak untuk merayakan hari kemerdekaannya sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya, dengan catatan masih berpegang pada nilai, norma dan hukum yang berlaku.
    Kembali, saya menekankan, ‘sesuaikan dengan kapasitas’ yang dimiliki oleh masyarakat negara tersebut.

    Apakah masyarakat Indonesia bisa melakukan perayaan kemerdekaan dengan lomba membuat robot ? Yeap, bisa! Kembali, tergantung pada keinginan, kapasitas (plus modal dan sumber daya juga didalamnya).

    Begitu jawaban saya, Kak.
    Semoga bisa menjawab pertanyaan yang Kakak berikan.

    Salam kenal.

    Suka

  7. Saya pernah menulis, Kak, tentang perbedaan bebas dan merdeka. Saya tidak dapat menemukan akar kata bebas, tapi merdeka berasal dari bahasa Sanskirt, “mahardika”, yang makna spesifik-aktualnya adalah: “Keleluasaan dalam memilih dan menjalani kebenaran.”

    Terima kasih tulisannya, Kak 🙂

    Disukai oleh 1 orang

  8. Wah, ini info yang sangat menarik, Bang Ical. Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan komentar.

    Mahardika, ya. Jadi ingat nama salah satu anaknya Nia Ramadhani, betul ngak ?

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar