#DearAyu: Burnout


Dear Ayu,

Sudah lebih dari sebulan saya pindah kerja dan bekerja di tempat yang baru. Menyesuaikan diri, pasti! Saya harus menyesuaikan diri dengan segala jadwal pekerjaan dan masih banyak lagi.

Pada hari yang ke-sekian, saya mulai merasakan rasa tidak nyaman akibat pekerjaan saya. Saya merasa sangat lelah dan bosan! Saya tidak nyenyak tidur, dan saya merasa badan saya sakit semua. Saya rasanya sangat ingin berlibur, membenamkan diri pada tempat yang nyaman dan tidak ingin diganggu. Saya merasa, ini adalah titik, titik dimana saya harus mengakui bahwa saya mengalami burnout karena pekerjaan.

Saya bekerja, tapi saya pun merasakan kelelahan dan saya merasa tertekan secara emosional! Saya tidak ingin melakukan apapun saat ini.

Banyak sekali rasanya hal-hal yang harus saya lakukan. Tapi, saya pun harus beristirahat dan membuat diri saya berhenti sejenak terlebih dahulu. Saya memerlukan pikiran yang jernih dan teratur pada saat ini. Saya pun merindukan keadaan ketika saya berjalan seorang diri pada sebuah tempat dan merasakan nyamannya kesendirian. Saya pun menyadari bahwa dimana pun saya berada, saya akan tetap merasakan hal seperti ini. Saya merasa kesepian, kesendirian dan kelelahan yang luar biasa. Saya rasanya tidak berhasil mengangkat rasa lelah dan rasa sepi dalam diri saya. Saya merasa tidak nyaman dan ada yang tidak beres dalam diri saya.

Lalu, saya putuskan untuk mengambil libur selama dua hari. Saya pikir cukup saja dua hari. Saya ingin menggunakan waktu ini hanya untuk diri saya sendiri, saya ingin mengerjakan apa yang hanya saya inginkan. Saya tidak ingin mengambil pekerjaan dari orang lain, saya pun tidak ingin memberi orang lain pekerjaan. Saya hanya ingin menikmati hidup, saya ingin berada dan sepenuhnya merasakan apa yang ada dalam pikiran saya. Saya hanya ingin sepenuhnya merasakan dan menjalani hidup saya, tanpa beban dan tanpa tuntutan.

Hari pertama, saya putuskan untuk membereskan kamar dan rumah tempat saya tinggal. Saya melihat bahwa ini adalah saatnya untuk memutuskan tali-tali tidak kasat mata yang mengikat saya sebagai seorang individu. Tali-tali ini secara sederhana adalah barang-barang yang saya miliki, tapi tidak sepenuhnya memberi saya konstribusi yang saya inginkan. Saya ingin melepaskan semua yang tidak saya perlukan dan merelakan barang-barang ini menjadi milik orang lain yang benar-benar membutuhkan. Saya ingin membuat hidup dan jiwa saya ringan melangkah.

Saya tidak ingin berpikir macam-macam, saya hanya ingin menikmati prosesnya. Saya ingin seratus persen menikmati setiap moment ketika saya melipat pakaian, menyapu dan mengepel lantai. Saya ingin menikmati air yang membasahi tangan dan kaki saya, saya ingin menikmati tarian-tarian debu di udara ketika sapu saya menyentuh mereka. Saya juga ingin menikmati keadaan ketika air keringat mengucur deras dari kening saya. Saya menikmatinya dan rasanya sungguh nyaman.

Lalu, saya menutup hari pertama dengan merasakan badan saya kesakitan. Tapi, entah bagaimana rasa sakit ini tidak masalah bagi saya. Bagi saya rasa sakit ini begitu nyaman dan mendamaikan. Saya tidak ingin berpikir terlalu panjang, saya hanya menikmati keadaan pada saat itu. Saya merasakan keringat yang bercucuran dan juga badan saya yang sakit karena bekerja yang mungkin terlalu keras. Saya menikmatinya.

Hari kedua, saya memilih untuk melakukan apa yang memang sangat ingin saya lakukan. Saya mendedikasikan hari saya hanya untuk melahap buku-buku yang memang sangat ingin saya baca sejak beberapa waktu yang lalu. Saya tidak ingin terburu-buru. Saya hanya ingin menikmatinya sampai habis, tapi hanya dalam keadaan yang santai dan tidak memiliki beban. Saya membaca satu demi satu kalimat yang ada dihadapan saya, memahami dan mendalami maksudnya. Menyerap ilmunya dan meninggalkan apa yang luput dari perhatian saya. As simple as that.

Saya memanjakan diri saya dengan tidak melakukan apa-apa, dengan diam dan menikmati, dengan membuka lebar telinga dan mengurangi protes diri. Saya hanya ingin menikmati setiap detik yang saya miliki, saya hanya ingin merasa bagaimana dan seperti apa itu, hidup.

Itu saja.

Dua hari ini rasanya cukup. Meskipun, masih banyak yang ingin saya lakukan, tapi saya tahu bahwa saya pun harus membatasi diri. Saya harus bekerja dan saya harus kembali ke dunia saya yang lainnya.

Apakah saya berhasil menghilangkan rasa kosong dalam diri saya ?. Saya rasa tidak. Rasa kosong masih ada di sana, Ia masih diam dan menunggu saat yang tepat untuk menguasai saya lagi. Tapi, tidak pada saat ini. Dua hari ini menyadarkan saya bahwa, saya tidak perlu menghapus rasa kosong dalam diri saya. Saya menginginkan rasa kosong itu ada dalam diri saya. Saya ingin agar Ia menjadi duri yang akan terus menerus mengingatkan saya bahwa saya adalah manusia biasa, mengingatkan saya bahwa saya saya harus berhenti sejenak dan mengevaluasi apa yang terjadi dalam diri saya. Saya memerlukan rasa kosong ini, dan saya akan membiarkan dia diam di sana.

Sincerely,

Your friend

Surat ini diposting sudah atas ijin pemilik surat yang asli. Surat ini dipublish dengan niatan baik dan untuk tujuan yang baik pula. Terdapat beberapa perbaikan kata dan kalimat untuk tujuan publikasi yang lebih sopan, dan perbaikan ini dilakukan atas ijin pemilik surat.

Ketika saya membaca surat yang ditujukan kepada saya ini, rasanya bagaimana begitu. Paragraf awal surat jelas menunjukkan masalah dan beratnya beban penulis surat. Tapi, kemudian dalam surat yang sama, penulis surat menjelaskan kepada saya bagaimana Ia beradaptasi dengan masalahnya, bagaimana Ia menemukan pemecahan masalah untuk dirinya sendiri. Surat dari salah satu sahabat saya ini benar-benar sangat menginspirasi.

Pertama, saya mengira bahwa sahabat saya ini sedang mengalami burnout. Seperti istilah yang dibawa oleh Teyhou Smyth Ph.D.,LMFT, “Burning the candle at both ends…”, atau dalam artian mengalami tekanan mental yang sangat tidak tertahankan yang banyak diakibatkan oleh pekerjaan atau bekerja.

Untuk mengenal lebih jauh mengenai Burnout, silahkan mampir dan membaca sedikit tulisan dari Suzanne Degges-White Ph.D yang berjudul “3 Signs of Burnout and 15 ways to reduce it”. Saya senang dengan definisi Suzanne tentang burnout atau bagaimana burnout dapat terjadi. Suzanne menekankan bahwa seorang individu dapat mengalami burnout ketika Ia memberikan apa yang Ia percaya Ia miliki, meskipun Ia sendiri tahu dari dalam hati yang terdalam bahwa untuk mewujudkan apa yang dimiliki ini, Ia harus bekerja super keras diluar kemampuannya.

Yeap, masalah burnout memang adalah masalah yang saat ini banyak terjadi di tempat kerja. Banyak sekali faktor yang menyebabkan burnout dapat terjadi pada karyawan, salah satunya adalah tindakan multitasking dan kompetisi dalam lingkungan kerja yang tidak sehat. Semakin lama, sangat sulit bagi pekerja untuk menemukan keseimbangan antara bekerja dan kehidupan personalnya. Pembiaran yang dilakukan oleh karyawan-karyawan ini juga sangat berbahaya, karena tekanan-tekanan ini jika dikumpulkan akan bekerja sebagai bom waktu yang akan meledak kapan saja. Ledakkannya, sangat mengerikan!.

Kedua, sahabat saya secara tidak langsung memberi saya pengertian baru mengenai tugas sebagai perawat kesehatan jiwa. Sebagai seorang perawat yang bekerja untuk meningkatkan kesehatan jiwa pasien dan lingkungan sekitar, saya sudah cukup lama menyadari bahwa area praktik saya tidak terbatas hanya di rumah sakit. Jelas tidak cukup hanya di rumah sakit saja. Saya pun menyadari bahwa area yang paling utama dan harus menjadi perhatian saya adalah lingkungan komunitas, dalam hal ini dan salah satunya adalah lingkungan kerja. Adalah salah satu mimpi saya untuk membangun lingkungan kerja yang sehat jiwa bagi karyawan-karyawan tempat saya bekerja. Maklum, saya sangat terobsesi dengan lingkungan kerja yang produktif dan bebas stress.

Mengatasi Burnout

Teyhou Smyth Ph.D.,LMFT memberikan saran yang sangat bagus dalam tulisannya mengenai burnout dan cara untuk mencegah serta mengatasinya. Berikut adalah beberapa catatan yang bisa saya bagikan terkait dengan burnout dalam bekerja.

Lakukan evaluasi atau audit sesegera mungkin. Tubuh kita ini adalah system yang sangat luar biasa. Ya, ketika tubuh kita merasakan adanya masalah, Ia akan secara otomatis mencari dan menemukan pemecahan masalah. Ia akan mengaktifkan system yang memampukan kita untuk beradaptasi dan segera mengatasi masalah. Nah, system ini ada yang sifatnya bekerja di bawah alam sadar dan ada yang sifatnya sadar /bisa kita kontrol secara sadar. Bagi yang sifatnya sadar dan bisa dikontrol, cara untuk mengontol ini sangat penting. Salah satu cara yang sangat direkomendasikan adalah dengan melakukan evaluasi atau audit, atau ada yang menyebutnya “refleksi”. Teyhou Smyth Ph.D.,LMFT sendiri menyebutnya dengan istilah life-audit dan menyarankan untuk melakukan audit dengan menggunakan panduan sebagai contoh yang dituliskan oleh Wanda Thibodeaux. 

Mengambil tindakan untuk kebaikan diri sendiri. Burnout banyak kali terjadi karena sifat egois penderitanya. Mereka merasa mampu dan sanggup untuk menghadapi masalah yang ada di depan mata, tapi pada kenyataannya merasa sama sekali tidak sanggup.

Untuk menghadapi masalah seperti ini, penting bagi mereka yang berpotensi untuk terkena burnout untuk mengambil tindakan dan aksi yang akan membantu kebaikan diri sendiri. Tindakan yang dimaksud di sini sebagai contoh adalah 1) berani mengatakan tidak pada pekerjaan yang akan menghilangkan waktu untuk beristirahat dan memulihkan diri. 2) melepaskan rasa bersalah yang kadang dan kerap kali hinggap pada mereka yang sangat terobsesi untuk menjadi yang terbaik dan berada di atas rata-rata orang orang 3) ketika malam tiba, saatnya mempraktikkan absent pada koneksi internet dan handphone. Jauh-jauh saja dari benda elektronik yang akan mengganggu dan mengacaukan hidup seperti ini, dan selanjutnya 4) lepaskan diri dari benda-benda, kebiasaan atau orang-orang yang akan membuat hidup menjadi tidak nyaman. Lepaskan saja pada alam semesta dan biarkan alam semesta bekerja sesuai dengan tugasnya.

Mengikuti tantangan anti-burnout untuk satu minggu. Langkah ini adalah bagian dari tindakan untuk mengambil langkah yang akan memberi keuntungan/kebaikan untuk diri sendiri. Selama satu minggu, coba untuk melakukan beberapa hal yang direkomendasikan berikut:

  1. Pulang kerja tepat pada waktunya. Jangan melebih-lebihkan jam bekerja dengan alasan apapun. Hindari lembur, apalagi lembur yang tidak memiliki tujuan dan arti yang menguntungkan.
  2. Jangan bekerja di luar jam kantor, atau jangan membawa pekerjaan kantor ke rumah. Batasi saja pekerjaan kantor hanya di kantor saja. Jangan terlalu baik hati atau jangan terlalu loyal dengan pekerjaan. Saya belajar mengenai pembatasan bekerja ini dari sahabat saya yang merupakan seorang Dosen Ilmu Keperawatan. Ia mengajarkan saya untuk tidak mencampurkan urusan pekerjaan dengan waktu saya untuk beristirahat. Apapun dan bagaimana pun pekerjaan akan selalu ada, nah sekarang tinggal seberapa bijaknya kita yang memiliki pekerjaan ini untuk mengatur mana yang paling baik (dan paling kita butuhkan) untuk kita.
  3. Jadwalkan untuk melakukan post-work self-care. Kegiatan post-work self-care ini macam-macam. Saya sendiri secara rutin belajar untuk mengatur waktu post-work self-care ini dengan menyediakan waktu sendiri selama satu sampai dua jam setiap harinya. Waktu ini saya isi dengan mengerjakan pekerjaan yang memang sangat saya sukai, bisa menonton atau membaca buku.
  4. Waktu tidur haruslah cukup setiap harinya. Banyak penelitian menunjukkan kecelakaan dan kesalahan dalam pekerjaan terjadi karena waktu tidur dan istirahat yang tidak stabil dalam artian kurang. Untuk alasan inilah mengapa seorang pekerja sangat penting untuk menghindari waktu lembur dan perbanyak waktu istirahat.

Selanjutnya, yang terpenting dari semua ini adalah melihat mana kegiatan atau tugas yang menjadi prioritas dan mengerjakan mana yang paling penting dalam hidup. Dalam surat yang dikirimkan oleh sahabat saya diatas, saya melihat bahwa pada saat itu Ia memprioritaskan dirinya sendiri. Ia mungkin saja merasa lelah karena cukup lama Ia menahan diri untuk memuaskan pekerjaan dan orang-orang yang bekerja dengannya, dan tindakan itu membuatnya lelah. Ia selanjutnya memilih untuk mengerjakan apa yang menjadi prioritasnya pada saat itu, dirinya sendiri.

Secara pribadi saya salut dengan pilihan yang Ia ambil. Ia bisa dan mampu melihat apa yang menjadi masalah dan apa yang menjadi kebutuhannya pada saat itu. Ia pun dengan berani mengambil keputusan untuk menghadapi masalah yang terjadi padanya.

Nah, bagaimana dengan teman-teman sekalian. Apa yang teman-teman upayakan ketika burnout terjadi ? tindakan atau langkah-langkah apa saja yang teman-teman ambil untuk mempercepat proses adaptasi dan pemulihan.

Silahkan untuk membagikannya di kolom komentar.

As always, salam dari saya.

32 pemikiran pada “#DearAyu: Burnout

  1. Saya rasa sih, memang harus dihadapi deh, toh itu kan masih baru juga.
    adaptasi memang moment yang cukup sulit, terlebih jika kita tidak kenal siapapun di tempat itu. yah seluwes2nya kita mengenalkan diri dan mengakrabkan diri saja. soalnya kalau sudah menemukan teman yang akrab, kebosanand an kejenuhan dalam pekerjaan akan teralihkan dg sendirinya

    Disukai oleh 1 orang

  2. Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar, Kak.

    Ia, satu bulan-an itu masih termasuk cukup baru. Saya pun berpikir mengapa pada waktu yang masih sangat singkat, sahabat saya ini bisa mengatakan bahwa Ia merasakan burnout dan stress yang berlebihan. Mungkin karena jenis pekerjaannya (Yang memang adalah pekerjaan kantoran, menatap laptop hampir seharian dengan interaksi dengan karyawan lain dengan menggunakan media komunikasi miskin tatap muka). Tapi, saran dari Kakak ada benarnnya, Ia sepertinya harus menjalin kerjasama dengan orang lain (dalam hal karyawan lainnya) juga.

    Disukai oleh 1 orang

  3. nah, mungkin itu juga masalahnya, dulu awal kerja sih saya bagian produksi, jadi memang perlu menjalin komunikasi. sebab pekerjaan di produksi memang membutuhkan kerja sama tim.

    kalau kasusnya pekerjaan yang seharian menatap komputer memang bikin bete,

    Disukai oleh 1 orang

  4. Sejauh ini sih saya belum pernah merasa burnout. Kebetulan lingkungan kerja dan teman2 di sini santai semua. Maksudnya, tak mengikatkan diri dalam kompetisi yang keras dan ketat. Atau apa mungkin hidup saya kurang tekanan? 😅

    Tapi utk yang burnout kasihan juga. Lagi butuh-butuhnya teman ngobrol yang gak toxic. Tapi,
    teman Mbak Ayu yang menyadari diri gak baik2 saja dan perlu penyelesaian itu sudah bagus. Apalagi sdh punya alternatif meski sifatnya hanya pengalihan. Keep fight saja. Setiap pekerjaan ada ujiannya. 😊😊

    Disukai oleh 1 orang

  5. Membaca tulisan diatas seperti sedang bercermin, hahaha. Saat ini saya mengambil cuti, sengaja. Karena saya sedang lelah memuaskan orang-orang dengan kinerja saya, wkwkwkwk (lebhaaaay parah!) Kendatipun lebay itulah kenyataannya :D.

    Sometimes ada rasa bersalah karena mengambil cuti disaat kerjaan kantor lagi padat-padatnya. Lagi banyak-banyaknya. Mbak masih ingat tulisan saya tentang sisi lain dari libra? itu bagian dari ciri khas saya bila ingin keluar dari masalah kantor, hahaha. Cemen banget saya yak?

    How glad im, waktu baca tulisan di atas. Saya pikir, cuman saya saja yang rada2 sakit karena hal tersebut, ternyata kebingungan itu kini terjawab sudah, hehehe.

    Kalau ditanya, apa yg saya lakukan saat ini mengingat secara emosi saya mengambil cuti 2 minggu? Saya sudah membeli novel. Buwanyaaaaaaaak. Sebagai nutrisi bagi jiwa saya. Lalu sudah mendownload beberapa drama korea dan mengatur jadwal untuk jalan2. Tapi yang terakhir itu agak mengancam keselamatan karir sih, kalau ketahuan kaaan saya bisa di pecat! hahaha

    Tapi bodoamat ah..
    Kenapa saya harus membuat orang lain senang kalau jiwa saya tertekan?
    .
    .
    .
    .
    .
    *numpang tjurhat*

    Disukai oleh 2 orang

  6. Sepertinya saran2 dari Mbak Ayu prlu saya terapkan. Pekerjaan saya kebetulan adl jenis pekerjaan yg banyak menatap layar laptop dan yg dilihat angka semua (maklum accounting 😅). Jujur saja, itu sering bikin pusing, mules, lemes haha 😅. Dan bbrp kali saya burnout krn kerjaan yg seperti tdk ada habisnya. Apalagi ini mau akhir tahun. Kl saya sdh merasa sangat pusing dan lelah, saya bnr2 bs rehat dari HP dan berkata “tidak” utk melakukan pekerjaan di luar jam kerja/kantor.

    Disukai oleh 1 orang

  7. Saya sering mengalami burnout pada pekerjaan-pekerjaan terdahulu, tetapi sejak membaca buku “The Subtle Art of Not Giving A F*ck” karangan Mark Manson, saya mulai dapat memilah mana yang diprioritaskan dan mana yang harus dieliminasi.

    Sikap bodo amat memang perlu diterapkan supaya kita juga dapat menikmati kehidupan kita dengan nyaman, tanpa perlu pusing dengan anggapan banyak orang 🙂

    Disukai oleh 1 orang

  8. Ia, Kak. Saya pun bisa membayangkan, kalau pekerjaannya hanya berhadapan dengan benda mati, hummm…pasti sulit.

    Wajar saja dalam waktu yang hanya kurang dari dua bulan, Ia sudah merasa sangat tidak nyaman.

    Suka

  9. Ia Mbak, sepertiya memang karena pengaruh ‘lingkungan kerja’. Sangat berpengaruh buangettt.
    Saya juga membenarkan mengenai ‘teman kerja’. Sepertinya sahabat saya ini belum menjalin hubungan yang baik dengan teman-teman di lingkungan kerja tempat baru. Sepertinya sih.

    Betul, “Setiap pekerjaan ada ujiannya”, ada tantangan yang harus dilewati, dan setiap pekerjaan membutuhkan keberanian untuk mengambil resiko !. Kalau melihat bagaimana sahabat saya ini menyelesaikan masalahnya (Meskipun mungkin bersifat sementara), saya yakin bahwa Ia pun akan mampu menghadapi masa-masa awal pekerjaannya ini dengan baik. Semoga.

    Terima kasih sudah mampir, Mbak.

    Disukai oleh 1 orang

  10. Kakakkkkkk, terima kasih banyak sudah mampir dan ikut berbagi cerita. Lopeee you suangatttt.

    Ia, saya kadang berpikir bahwa ketika kita sudah bekerja, kita kadang lupa diri, lupa dengan diri sendiri dan kebutuhannya. Kita terlalu fokus untuk menyelesaikan pekerjaan, berkompetisi untuk menunjukkan diri menjadi yang terbaik di kantor dan banyak lagi. Kita lupa bahwa jiwa kita perlu diperhatikan juga. Kita lupa bahwa kita pun sangat perlu istirahat.
    Kisah sahabat saya ini salah satunya. Saya tahu bahwa sahabat saya ini sangat kompetitif, Ia memiliki etika kerja yang sangat luar biasa. Salut juga karena Ia tahu bahwa Ia lelah, dan berani mengambil keputusan untuk beristirahat sejenak. Saya belajar dari dia dalam hal ini.

    Betul, Kak. “Kenapa saya harus membuat orang lain senang kalau jiwa saya tertekan ?”. Noted!

    Me first! mungkin kita perlu sedikit egois ya. Jangan terlalu banyak berbuat baik dengan orang lain sampai lupa berbuat baik dengan diri sendiri.

    Suka

  11. Halo, Mbak Luna.
    Wah, saya senang sekali kalau saran yang saya tulis di sini dapat memberi Mbak Luna inspirasi dan menggerakkan Mbak Luna untuk melakukan sesuatu demi kebaikan diri sendiri.

    Yeap, Saya bisa bayangkan bagaimana rasanya duduk diam di kantor, dan hanya menatap layar laptop. Persis seperti sahabat saya dalam tulisan ini. Saya pun menyarankan Mbak Luna untuk mengambil waktu sejenak, beristirahat dari hiruk pikuk dunia gadget (Laptop, Hand phone dan sebagainya), kalau tidak bisa seperti sahabat saya ini yang sengaja mengambil libur singkat, mungkin dalam satu hari beri waktu rehat satu sampai dua jam. Me time begitu wkwkwkwk.

    Semoga bisa membantu ya Mbak. Salam untukmu.

    Disukai oleh 1 orang

  12. Nah, ini dia. Pas buanget Kak.

    Kalau dilihat dari kisah sahabat saya ini, Ia memilih membersihkan rumah, membaca (dan mungkin tidak melakukan apapun).

    Suka

  13. Halo, Pak.

    Wah, ini saran yang kece buanget! Saya pernah menyarankan sahabat saya untuk membaca buku yang sama, mungkin karena alasan inilah dia berani mengambil libur selama dua hari (padahal dia adalah pegawai baru yang baru saja bekerja kurang dari 2 bulan). Sepertinya sahabat saya ini sudah sangat mempraktikkan sikap “bodo amat” wkwkwkwk.

    Terima kasih sudah berkunjung dan memberi komentar, Pak. Salam dari saya.

    Suka

  14. Nah itu mbak, kebetulan saya memang melakukan sprti yg Mbak Ayu blg. Krn kerjaan saya sllu berhadapan dg gadget (laptop dan HP), jd saya memang butuh jeda utk mengistirahatkan mata. Jam istirahat biasanya saya manfaatkan. Trs kl sore atau malam sepulang kerja, saya jg mengurangi interaksi dg gadget.
    Saya adl orang yg menganggap bhw Work Life Balance (WLB) itu penting skli. Bahkan bs dibilang terobsesi. Jd bagi saya wkt dlm sehari 24 jam itu hrs terbagi scr seimbang utk sgla hal : bekerja, istirahat, keluarga/teman, hobi (membaca dan menulis terutama) dan wkt utk Tuhan (sprti sholat dan mengaji). Sampai ada slh satu hal yg terganggu keseimbangannya, saya bs stress.

    Disukai oleh 1 orang

  15. Tulisannya bagus, Kak! Rapi juga, jadi enak bacanya walau banyak definisi. Aku tuh keinget materi kuliah kalau ada nama para ahli, hahaha. 😂

    Walaupun belum bekerja, aku merasa pernah burnout juga sebagai mahasiswa. Penat banget sama kuliah yang tugasnya numpuk banget-banget. Saking penatnya, kadang aku meliburkan diri sendiri setelah memastikan nggak ada agenda penting di kampus. Kadang merasa bersalah, tapi ya da … butuh banget rehat. :”D Eh, jadi curhat ‘kan aku, hahaha.

    Disukai oleh 1 orang

  16. Wah, Mbak Luna memang luar biasa !

    Terima kasih sudah mau sharing dan berbagi sedikit rahasia untuk tetap sehat emosional-psikologis ketika sedang asik bekerja. Saya sungguh salut!

    Betul, keseimbangan adalah sesuatu yang sangat penting. Kita perlu menyeimbangkan kegiatan dan aktivitas seperti bekerja, istirahat, keluarga, hobby bahkan waktu untuk Tuhan.

    Sekali lagi, terima kasih banyak Mbak Luna. Keseimbangan, benar..ini adalah hal yang sangat perlu kita jaga dan benar-benar dirawat. Keseimbangan.

    Disukai oleh 1 orang

  17. Betul sekali, Kak. Keadaan yang sama juga terjadi pada sahabat saya dalam tulisan ini. Dia tidak mampu berpikir dan sangat kesulitan untuk berkonsentrasi. Bekerja pasti menjadi sangat tidak produktif kalau begini.
    Seperti yang dituliskan sahabat saya, mengambil waktu sejenak untuk beristirahat dan mengatur ulang kembali adalah apa yang disarankan.

    Suka

  18. Terima kasih banyak, Mbak. Definisi yaaa, ini kebiasaan sejak kuliah hahahaha.

    Betul, sebagai mahasiswa, stress berlebihan itu pasti dan sering terjadi. Banyaknya mata kuliah yang harus dikuasai dan ditakhlukkan, pasti lah mengalami yang namanya stress (dan kadang sangat berlebihan). Tapi, saya salut, Mbak sudah bisa menemukan cara yang cocok untuk menenangkan diri dan berdamai dengan keadaan yang membuat stress. Ini jauh lebih penting!

    Semangat, Mbak. Ia, tidak apa-apa, kadang kita memang sangat perlu untuk curhat. Biar ringan beban hati ini hahahaha

    Disukai oleh 1 orang

  19. Kita harus rencanakan ini untuk Ikatan Kata, Kak. Bisa tahun depan atau dua tahun lagi begitu hahahaha.

    Untuk saat ini, kalau memang sedang mengalami stress berlebihan, mari istirahat barang sejenak. Pekerjaan pasti akan selalu ada, pasti. Tinggal pilihan kita saja, mau istirahat atau terus lanjut membaca isi kepala yang berat wkwkwkwk

    Suka

  20. Wah saya juga sering ngalamin ini. Perihal adaptasi apalagi, saya termasuk orang yang susah adaptasi. Namun kalau udah mulai nyaman ya, enak aja ngomongnya.
    Bisa dijadikan pembelajaran ya kak ceritanya.

    Disukai oleh 1 orang

  21. Hi, Devita. Terima kasih sudah berkunjung dan memberi komentar.

    Benar, pengalaman sahabat saya ini bisa dijadikan pembelajaran untuk kita semua. Perihal adaptasi, masing-masing orang memiliki caranya masing-masing, cepat dan lambatnya pun berbeda-beda. Tidak apa-apa, bersabar. Ia kan ?

    Suka

  22. Terima kasih kaak, postingannya jadi bikin aku berkaca ke diri sendiri. Beberapa hari lalu sempet ngalamin burnout dan posisiku ini ngga memungkinkan untuk cerita ke siapa-siapa sehingga hanya berakhir dengan kesedihan dalam hati aja. Untungnya aku punya cara sendiri untuk sembuh dari burnout itu.. kurang lebih cara-caranya kayak cara yang tadi kakak sebutin. Dan semoga aja diriku ini bener2 udah sembuh, nggak cuma berpura-pura sudah sembuh. Huhu..

    Disukai oleh 1 orang

  23. Hi, Mbak Deyo.

    Apapun yang terjadi padamu saat ini, semoga kedamaian menghampirimu dan tinggal bersamamu ya.

    Benar, kalau sudah menyadari ada masalah, lekaslah untuk menyelesaikan masalah tersebut, ambil waktu sebentar untuk beristirahat. Tubuh dan jiwa kita memerlukan hal demikian.

    Ia, saya tidak menganjurkan untuk pura-pura sembuh. Meskipun banyak yang bilang, “Fake it until you make it”, saya tetap tidak menganjurkan membohongi diri sendiri soal kelelahan psikologis, karena kecenderungan untuk malah menjadi buruk.

    Terima kasih sudah mampir ya, Mbak. Salam.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar