Setelah selesai dengan bagian pertama, saya tidak ingin berlama-lama dengan bagian ke dua dari tulisan ini. Otak saya dipenuhi dengan berbagai informasi dan sangat disayangkan kalau informasi ini hanya tersimpan di dalam sana. Informasi ini akan memberikan hasil dan impact kalau saya bisa meramu informasi ini menjadi sebuah tulisan dan membagikannya di blog ini.
Baca juga: “Dari mana Manusia berasal ?” (Bagian I)
So, here we go untuk bagian kedua dari tulisan ini.
Munculnya konsep spiritualitas dalam kehidupan Homo Sapiens memberi keuntungan untuk menekan sifat ‘binatang’ dalam diri Homo Sapiens itu sendiri. Ketika membaca dan sekaligus mendalami buku yang ditulis oleh Yuval Noah Harari ini, saya berpendapat bahwa penulis memang secara gambang menuntun pembaca untuk percaya bahwa konsep spiritualitas, konsep keberadaan akan Tuhan adalah konsep yang diciptakan oleh manusia dan pikirannya. Konsep ini lahir dari komunitas Homo Sapiens. Ide ini jelas berbahaya kalau hanya dipahami setengah-setangah.
Tapi, saya di luar penulis ingin menekankan bahwa konsep spiritual, konsep keberadaan akan Tuhan sangat membantu Homo Sapiens untuk menjadi makhluk hidup yang tumbuh dengan nilai moral dan lebih menunjukkan nilai manusiawi. Hubungan spiritualitas yang dijalin Homo Sapiens dengan sosok yang Ia sebut sebagai Tuhan secara efektif menjadi pagar yang berhasil membatasi sifat binatang yang dimiliki oleh manusia. Semakin jauh Homo Sapiens dari sifat binatangnya, maka semakin Ia menjadi makhluk yang berbeda dari makhluk hidup lainnya, dan perbedaan ini sangat baik-menguntungkan.
…
Homo Sapiens lebih sehat, kuat dan lebih cerdas dibandingkan manusia pada zaman sekarang. Harari secara gamblang menunjukkan bahwa Homo Sapiens adalah makluk yang cerdas, kecerdasannya bahkan melampaui manusia pada masa saat ini. Perbandingan yang diberikan Harari adalah ketika Ia membicarakan soal masa bercocok tanam manusia purba. Pada masa ini, Harari menilai bahwa Homo Sapiens mencapai titik puncak perkembangan kognitifnya. Bukti perkembangan kognitif ini adalah terciptanya Bahasa, selanjutnya terciptanya alat-alat yang menjadi bagian dari teknologi primitif yang mampu membantu manusia bertahan hidup di alam yang keras dan sangat tidak bersahabat pada masa itu.
Homo Sapiens juga dinilai lebih sehat dan kuat dibandingkan manusia sekarang. Perbandingan yang dilihat juga kurang lebih sama yaitu pada jaman dahulu sebelum manusia menetap dan membentuk komunitas, manusia sering berpindah-pindah tempat tinggal dan melakukan pengembaraan dari satu tempat ke tempat yang lain. Manusia pun banyak kali harus berhadapan dengan bencana dan bahkan bahaya yang datang dari alam, tapi sekali lagi, manusia bertahan.
…
Masa bercocok tanam membuat Homo Sapiens menemukan satu keinginan unik dalam dirinya, yaitu hungry for more. Frasa hungry for more yang tidak terkendali akan berubah menjadi sifat ‘serakah’, dan itu yang terjadi pada Homo Sapiens pada masa-masa bercocok tanam saat itu.
Masa bercocok tanam adalah masa selepas masa berburu dan meramu makanan. Pada masa ini manusia memang mengembangkan kreatifitasnya untuk dapat menciptakan tempat hidup, bekerja dan berkomunitas yang ideal. Manusia mulai menciptakan alat-alat bantu untuk melancarkan proses untuk bercocok tanam dan hidup. Ini tentu adalah proses yang sangat luar biasa, dan kemajuan sangat pesat terasa pada masa-masa ini. Tapi, manusia pun tidak lepas dari efek yang ditimbulkan oleh adanya kemampuan ini. Salah satunya adalah sifat yang sudah saya sebutkan diatas, sifat serakah. Manusia selanjutnya berkompetisi dengan manusia-manusia lainnya untuk mendapatkan hasil alam yang terbaik. Manusia pun berusaha untuk dapat mengungguli manusia-manusia lainnya dalam berbagai bidang yang memungkinkan.
Saya melihat mekanisme dan proses ini sebagai sesuatu yang sangat luar biasa. Manusia dan komunitasnya menciptakan sendiri perkembangan dan kemajuan yang dibutuhkan oleh dirinya sendiri dan komunitasnya. Seperti dua sisi mata uang, kemampuan yang dimiliki manusia ini sangatlah menakjubkan untuk dipelajari.
…
Homo Sapiens adalah satu-satunya spesies yang mampu mengontrol makhuk hidup lain bahkan sampai pada proses reproduksi makhluk hidup tersebut. Sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan advance dibandingkan dengan makhluk hidup yang lainnya, manusia memang sangat luar biasa. Letak luar biasanya makhluk hidup ini terletak pada kemampuannya untuk mengendalikan, menjinakkan dan menjadi master atas makhluk hidup lain (Binatang).
Harari menggunakan dasar pemikiran bahwa manusia itu memiliki derajat yang sama dengan makhluk hidup yang lain, seperti binatang dan tumbuhan (pengertian lebih kepada binatang). Harari memiliki pemikiran bahwa hewan-hewan seperti sapi, kambing dan hewan-hewan lainnya adalah makhluk hidup yang hidup di muka bumi ini sejajar dengan manusia. Tapi, manusia menunjukkan sifat dan perilaku yang membuat derajatnya dibandingkan dengan hewan-hewan ini berbeda. Manusia mampu menakhlukkan hewan-hewan dan menjadi tuan atas makhluk hidup ini.
Bukti yang bisa kita lihat dari pernyataan di atas adalah bagaimana manusia memulai gerakan beternak hewan-hewan peliharaan. Selain anjing yang pernah dijelaskan pada tulisan terbitan sebelumnya, hewan seperti Ayam, Sapi, Kambing dan masih banyak lagi berhasil menjadi hewan peliharaan yang memberi keuntungan kepada manusia.
Harari tidak hanya menyorot perihal sifat dan kemampuan manusia untuk menakhlukkan makhluk hidup lain ini. Ia pun melancarkan kritik terhadap tindakan untuk mengembangbiakkan hewan secara tidak etis. Sebagai contoh adalah proses produksi susu sapi. Harari mengkritik kesanggupan manusia untuk memperlakukan hewan secara ‘keji’ untuk mencapai apa yang diinginkan oleh manusia.
…
Ketika Homo Sapiens memutuskan untuk hidup menetap, mulailah kekhawatiran tentang masa depan menghantui mereka. Kekhawatiran akan masa depan ternyata diawariskan dan memang sudah ada dalam DNA manusia sejak zaman dahulu kala. Harari menuliskan dalam bukunya, ketika Homo Sapiens hidup mulai menetap dan tidak berpindah-pindah lagi, mereka mulai membantuk perilaku khawatir dengan apapun yang terjadi pada mereka nantinya. “Apa yang akan terjadi selanjutnya ?”. Homo Sapiens dengan kemampuan kognitif yang luar biasa tidak hanya tinggal diam dengan rasa khawatir yang mereka miliki, mereka pun mulai bergerak dan mengupayakan agar dapat mencegah hal buruk terjadi. Buah dari kekhawatiran ini adalah terciptanya banyak teknologi baru yang membantu manusia. Manusia pun belajar! dan manusia berkembang! dan ini adalah hadiah terindah yang diberikan oleh rasa khawatir kepada perkembangan umat manusia di muka bumi.
Bersambung ke bagian III.
Sya ijin share?🙏🙏
SukaDisukai oleh 2 orang
Silahkan, Kak. Semoga bermanfaat 🙏
Mohon sertakan link tulisan ke blog ini juga ya Kak. Terima kasih 🙏
SukaSuka
Luar biasa manfaatnya, sya mendapatkan pengetahuan baru,🙏🙏
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih, Kak 🙏
SukaSuka
Sya tunggu bagian ke III nya
SukaDisukai oleh 1 orang
Asssiapp Kak, saat ini sedang saya siapkan 🙏
SukaSuka
Iya sama”
SukaDisukai oleh 1 orang
Ok
SukaDisukai oleh 1 orang
Dari sepasang manusia yang memiliki kualitas sperma dan sel telur yang kualifie.
SukaDisukai oleh 1 orang
Wkwkwkwk, Ia Kak secara biologis wkwkwkw
SukaSuka
Tak sabar ingin segera baca bagian ke 3 nya. Semakin penasaran 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
beberapa bulan yang lalu saya ga sengaja beli buku ini mbak, setelah di liat2 eh isinya bagus juga ya wkwkwk
di bab awalnya aja udah mindblowing tuh dibagian bahwa manusia modern (homo sapiens) bukan satu2 nya ras manusia yang pernah tinggal di bumi, menurut si yoval ada ras lain seperti Naenderthal dsb.
tapi entah kenapa justru ras kita (sapiens) lah yg masih eksis sampai sekarang 😀
keren mbak penulisan nya
bila berkenan mohon
lanjutkan ke bagian berikut nya hehehe
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih karena sudah mampir dan membaca, Kak.
Saya sedang dalam proses editing untuk postingan selanjutnya. Mohon bersabar ya.
SukaSuka
Terima kasih sudah mampir, membaca dan memberi komentar, Kak.
Ia, saya benar-benar dibuat mindblowing dengan informasi-informasi yang diberikan oleh Harari dalam bukunya ini. Kalau boleh diistilahkan, saya seperti baru memakan buah terlarang (forbidden fruit) dan pikiran saya terbuka karena banyaknya ketidaktahuan.
Ia, Kak. Saya akan lanjutkan tulisan ini untuk bagian ke-III. Saat ini sedang dalam proses finishing. Mohon bersabar ya. Terima kasih sekali lagi.
SukaDisukai oleh 1 orang
Mbak cantik bolehlah aku ini bertanya, tentang jika konsep Tuhan dan hal lain yang tertulis tadi merupakan hasil ciptaan pikiran lantas bagaimana dengan orang-orang yang beribadah di realitas, artinya gini. Jika konsep tentang Tuhan merupakan hasil ciptaan pikirannya sedangkan pada saat bersamaan ibadah/amal perbuatan/moral yang di lakukan oleh manusia tidak dalam rasionalitas akan tetapi terjadi di realitas eksternal. Sedangkan jika konsep Tuhan itu di ciptakan melalui argumentasi, lalu bagaimana proses membentuk dan hadir dalam pikiran manusia?
SukaDisukai oleh 1 orang
Hi, Kak.
Saya perlu mengingatkan lagi bahwa pernyataan yang menyatakan bahwa “Konsep Tuhan adalah konsep yang ciptakan oleh pikiran manusia” adalah berdasarkan pemikiran yang dihasilkan oleh Yuval Harari dalam bukunya, Homo Sapiens. Pemikiran seperti ini sebenarnya bukan original milik Harari, tapi di’teguhkan’ kembali oleh Harari.
Harari menjelaskan bahwa konsep Tuhan diciptakan oleh pemikiran manusia, dengan keadaan ini, makanya ada ritual, ibadah, moral, amal dan sebagainya. Kesadaran manusia (lebih ditekankan pada masa-masa awal/prasejarah) akan adanya ‘pencipta’, Tuhan, atau makhluk yang lebih berkuasa dibandingkan manusia menjadikan manusia melahirkan ritual, ibadah, amal dst. Sangat sulit untuk menerima argumentasi yang menyatakan sebaliknya, mengingat manusia adalah makluk yang selalu memberikan ‘alasan’untuk apapun yang Ia lakukan.
Lalu, bagaimana proses membentuk dan hadirnya pikiran bahwa ‘ada Tuhan’, kembali merujuk pada tulisan Harari, adalah karena adanya ‘kesadaran’. Manusia sadar bahwa lingkungan sekitarnya (alam, hewan dan bahkan manusia) dan bahkan dirinya sendiri tidak bisa ‘ada’ begitu saja. Sama seperti manusia yang bisa menciptakan patung, dst, logika ini dipakai untuk menyatakan bahwa “manusia pun adalah makluk yang diciptakan”, sehingga hadirlah sosok ‘pencipta’. Saya rasa, titik ‘kesadaran’ ini tidak hanya sampai disini saja kalau kita pikirkan lagi, tapi akan lebih baik kalau kita melihat langsung dari argumentasi yang digiring oleh Harari kepada pembaca melalui bukunya.
Demikian, semoga menjawab pertanyaan Kakak.
Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar.
SukaSuka