“Dari Mana Manusia Berasal?” (Bagian IV)


Semakin ke sini, saya merasa bahwa judul “dari mana manusia berasal?” sama sekali tidak relevant lagi. Saya seharusnya mengganti judul tulisan ini. Tapi, entah mengapa konsistensi terasa sangat menyenangkan akhir-akhir ini. Saya ingin tetap konsisten dengan alasan untuk menjaga semangat dan motivasi awal saya dalam memulai seri menulis ini. Untuk tulisan bagian ke-IV ini, saya akan menuliskan poin-poin akhir yang dipaparkan oleh Harari sebelum ia menutup buku pertamanya yang berjudul, Sapiens.

Baca juga bagian pertama, kedua dan ketiga dari seri tulisan ini.

Perkembangan (teknologi dan komunikasi) yang terjadi pada manusia membuatnya harus membayar harga mahal untuk biaya privasinya. Sadar atau tidak, ini adalah kenyataan. Ingat apa yang terjadi pada Facebook belum lama ini? ya, perusahaan dengan misi untuk menghubungkan masing-masing individu ini dituntut menginjak privasi konsumernya secara tidak adil. Tidak hanya perusahaan sekelas Facebook, tapi beberapa perusahaan lain dengan jualan ‘sosial media’, sungguh sudah menelanjangi penggunanya secara tidak adil.

Meninjau kasus ini, saya hanya ingin mengatakan ‘berhati-hati’ lah dan kritislah terhadap tawaran apapun yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan dengan label sosial media. Baca baik-baik term of service dari layanan yang diberikan, dan jangan terburu-buru meng-klik “I am agree”.

Kekuatan dari “Tidak tahu”. Harari memberikan cukup banyak bagian khusus dalam bukunya yang membicarakan tentang ‘tidak tahu’-nya manusia dan usahanya untuk menjadi ‘tahu’, keluar dari lingkaran ketidaktahuan. Pengetahuan adalah kekuatan, tapi juga adalah kelemahan dalam waktu yang bersamaan.

Dalam bukunya, Harari menekankan tiga pokok penting yang mengerakkan manusia untuk terus mencari tahu. Pertama adalah kegiatan untuk mencari pengetahuan itu sendiri (research), kedua adalah mendapatkan apa yang berharga (resources) dan yang terakhri adalah kekuatan dan kekuasaan (power).

Secara personal, saya tidak pernah begitu sangat tertarik dengan topik mengenai kekuatan atau kekuasaan. Dua hal ini adalah dua hal yang selalu saya abaikan untuk didalami. Saya bahkan sangat tidak tertarik pada dua hal ini. Bagi saya, kekuatan dan kekuasaan bukan merupakan keinginan yang ingin saya capai. Saya tidak menyukai moment ketika saya harus berbicara tentang kekuasaan. Berbeda dengan banyak orang yang memang mengejar dan berusaha dengan sungguh untuk menemukan kekuatan dan kekuasaan.

Baru pada akhir-akhir ini saya melihat kenyataan bahwa ‘kekuatan dan kekuasaan’ itu adalah sangat penting. Terutama untuk mewujudkan apa yang kita inginkan di komunitas. Ya, kekuatan dan kekuasaan ini ditujukan untuk menguasai orang lain, menguasai komunitas dan orang banyak, dengan alasan ini kekuatan dan kekuasaan begitu sangat menggiurkan.

Lanjut. Pada zaman dahulu (dan bahkan sampai saat ini, terus berlanjut demikian) kekuatan dan kekuasaan ini didapatkan melalui jalan perang. Korban berjatuhan dan ini sungguh sangat merugikan. Selain perang, terdapat hal lain yang dapat dilakukan untuk mendapatkan kekuatan dan kekuasaan sekaligus. Hal yang dimaksud ini adalah kegiatan riset. Ya, saya tidak salah menuliskannya, riset adalah kunci yang sangat penting untuk dapat mendapatkan kekuatan, kekuasaan dan kesuksesan dalam suatu waktu.

Dalam konteks kenegaraan, saya rasa banyak yang familiar dengan istilah “Negara yang kuat dengan riset dan pengembangannya” adalah negara yang kuat. Contoh negara yang dapat dikatakan kuat karena riset adalah Singapura, Jepang, Jerman, Amerika Serikat dan masih banyak lagi. Negara-negara dengan kegiatan penelitian yang luar biasa adalah negara yang memiliki peran yang sangat penting (kekuatan), memiliki kuasa dan secara langsung memiliki tiket menjadi negara yang maju dan makmur.

Riset. Kegiatan ini bukan hanya milik para akademisi, dan pengertiannya sama sekali tidak dibatasi hanya untuk golongan atau kelompok akademisi. Semua orang, setiap individu, memiliki potensi untuk dapat melakukan kegiatan ini. Tulisan-tulisan Harari juga sudah banyak membicarakan bahwa secara natural, nenek moyang kita terdahulu sudah mempraktikkan dan menurunkan kemampuan riset ini kepada anak-cucunya dan sampai sekarang. Praktik riset ini bisa dikatakan sudah tercetak dalam diri kita (dalam DNA kita). Sebagai bukti adalah adanya rasa ingin tahu dalam diri kita. Rasa ingin tahu ini bahkan menjadi ciri khas kita sebagai manusia, keturunan Homo Sapiens. Ya, seperti yang kita tahu juga bahwa kegiatan riset itu didasarkan dari rasa ingin tahu. So, rasa ingin tahu-riset adalah satu paket komplit yang membuat masing-masing individu memiliki kemampuan untuk berkuasa atau makhluk hidup lainnya di dunia. Am I right? not sure about this tho.

Pendidikan dan kegiatan riset. Dua hal yang menjadi perhatian saya dalam lembar-lembar terakhir buku Sapiens adalah topik mengenai pendidikan dan riset. Harari menekankan soal melatih pikiran, meragukan fakta apapun yang diberikan oleh dunia dan menantang setiap argument yang diberikan oleh dunia dengan berpegang pada rasa ingin tahu dan kemampuan untuk berpikir kritis. Keinginan Harari ini, jika diterjemahkan adalah bagian penting dari kegiatan belajar (mendidik) dan riset. Dua hal ini adalah kekuatan.

Riset, dikatakan sebagai kekuatan bahkan adalah kekuatan untuk menguasai karena kemampuannya untuk melakukan prediksi. Kata ‘prediksi’ ini dapat kita artikan juga sebagai kekuatan untuk melakukan ramalan, melihat masa depan sebelum masa depan tersebut terjadi. Tentu saja, prediksi yang dimaksud bukanlah prediksi yang biasa dilakukan oleh para cenayang. Riset memampukan manusia untuk melakukan prediksi akan masa depan dengan mamanfaatkan data/pelajaran/pola sebelumnya. Prediksi ini pun dilakukan sebagai bagian untuk ‘berjaga-jaga’ untuk menyelamatkan diri (Saya sudah pernah membicarakan soal prediksi ini dalam tulisan saya sebelumnya).

Riset yang dilakukan sejak masa-masa lalu tidak hanya membawa kemajuan, perkembangan dan kekuasaan. Tapi membawa manusia pada kenyataan yang cukup menyakitkan, dampak buruk/sisi gelap dari kegiatan riset yang masif. Salah satu dampak yang dibicarakan oleh Harari adalah menitikberatkan pada ‘eksploitasi’ besar-besaran yang dilakukan untuk manusia. Ya, saya rasa, saya pun setuju dengan Harari soal faktor manusia sebagai faktor utama perusakan alam dan segala macam ciptaannya.

(Nah, sekarang tahu kan, mengapa dalam kegiatan riset itu, penting sekali menekankan aspek kebermanfaatan. Riset itu harus memiliki banyak manfaat bagi masyarakat/orang banyak/partisipan, dan mengurangi jumlah kerugian yang dapat ditimbulkan kepada masyarakat).

Melawan malaikat maut. Buku yang ditulis Harari ini, jika dapat ditulis dengan judul berbeda, maka judul yang paling tepat dalam benak saya adalah ‘Daftar Kesombongan/keangkuhan manusia’. Buku ini banyak memaparkan tentang manusia dan keinginannya untuk melepaskan kemanusiaannya dan menjadi makhluk yang berbeda.

(Buku yang dikeluarkan Harari selanjutnya adalah buku dengan judul Homo Deus (Manusia yang menjadi Tuhan) dan buku selanjutnya menjelaskan dengan sangat keangkuhan manusia (disertai dengan bukti-bukti pencapaiannya) yang berusaha untuk menjadi Tuhan atas alam semesta ini).

Bukti kongkret pernyataan ini adalah kemampuan untuk melawan kematian. Medis dan paramedis, termasuk saya, sejak hari pertama masuk sekolah pendidikan kesehatan, digembleng untuk ‘melawan kematian’. Itu adalah tugas utama dan pertama. Bahkan, dalam sebuah unit tempat saya praktik sebelumnya, ada sebuah semboyan seperti ini, “tidak boleh ada yang mati hari ini”. Kematian adalah musuh dan kematian harus dilawan, dan memang dengan bantuan obat-obatan dan peralatan-peralatan medis, kematian bisa ditunda, dan kematian dapat dilawan sampai pada waktu tertentu. Ya, meskipun pada akhirnya, dan pada kenyataannya, tidak ada yang dapat menunda kematian yang datang tepat pada waktunya. Kematian akan datang se-natural mungkin, sama seperti kelahiran.

Manusia adalah stressor bagi dirinya sendiri. Sambil membaca tulisan Harari, saya begitu sangat tergoda dengan ide mengenai ‘manusia adalah stressor’ untuk dirinya sendiri. Keberadaannya sendiri adalah sumber dari segala masalah, stress, dan sakit kepala yang dirasakan oleh manusia. Tentu saja, pemikiran ini adalah pemikiran yang perlu dilihat kembali. Tapi, ketika sambil membaca tulisan Harari, inilah yang dapat saya pikirkan.

Kemajuan yang ditimbulkan oleh manusia membuatnya mengalami stress. Segala sesuatu yang terjadi pada dirinya, dan tidak dapat dikontrol oleh dirinya sendiri adalah sumber stress juga. Apapun yang dilakukan, dirasakan dan dialami oleh manusia adalah sumber stress.

Tapi, saya pun memiliki pemikiran yang berbeda, manusia akan tetap merasakan bahwa stress itu ada dan memberikan dampak pada dirinya ketika Ia menyatakan bahwa stress dan masalah itu memang ada dalam dirinya. Itu saja. Masalah itu ada ketika kita menganggap bahwa masalah itu memang ada di sana. Masalah ada karena kita memikirkan bahwa masalah ada. Does it make sense?.

Harga yang harus dibayar oleh kemajuan manusia adalah kerusakan alam. Kemajuan zaman pada saat ini sama sekali tidak disertai dengan kemajuan untuk menjaga kelestarian alam. Alam (Makhluk hidup, tumbuhan, dan tempat tinggal manusia) menjadi korban dari kemajuan yang dilakukan oleh manusia.

Harari menuliskan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk merusak lalu membangun kembali hal baru dari apa yang sudah Ia rusak. Merusak yang dimaksud di sini, juga termasuk merusak keseimbangan. Manusia dipandang sebagai individu yang tidak melihat keadaan alami sebagai suatu hal yang baik, manusia memiliki kecenderungan untuk mengubah apa yang sudah ada dengan menambahkan beberapa unsur ‘magic’ yang lahir dari dalam pikirannya. Mari lihat ilustrasi di bawah ini,

Seorang manusia menemukan sebuah tumbuhan baru (berbentuk buah buah) ketika ia sedang berjalan-jalan di hutan. Ia melakukan observasi, dan selanjutnya memutuskan untuk memetik buah tersebut dan membawanya pulang ke rumah. Dalam perjalanan ke rumah, ia mencoba untuk menggigit kulit buah, tapi mendapati dirinya ingin mencoba hal lain terhadap buah yang baru saja dipetiknya. Sesampainya di rumah, Ia mengolah buah yang baru saja di bawanya pulang. Ia mengambil beberapa tumbuhan, lalu dengan bantuan panas memasak makanan tersebut.

Ilustrasi yang tertera di atas menunjukkan setidaknya dua tindakan penting yang dilakukan oleh manusia ini, yang menunjukkan perilaku ‘merubah’ dan (sorry to say) merusak. Tindakan pertama adalah ketika ia memutuskan untuk memetik buah ini, selanjutnya tindakan kedua adalah ketika Ia memutuskan untuk mengolah buah tersebut menjadi sesuatu yang baru. Nampak jelas bahwa manusia yang dicontohkan dalam tulisan ini, dengan didorong oleh rasa ingin tahunya mendorong terjadinya ketidakseimbangan pada lingkungan di sekitarnya (dalam hal ini adalah hutan) dan melahirkan sesuatu yang baru, yang tepat dan pas untuknya. Manusia memang bisa se-egois itu.

Tapi kita dapat memandang ilustrasi ini dari sudut yang berbeda pula. Dalam ilustrasi ini, manusia menunjukkan secara natural bagaimana sebagai salah satu bagian dari ekosistem besar makhluk hidup, ia menunjukkan bagaimana ia harus hidup dan bertahan atas hidup yang diberikan padanya. Semuanya memang se-natural itu.

Sifat serakah manusia: consumerism. Sejarah menunjukkan bahwa manusia membentuk sifat untuk menjelajah dunia, menetap dan selanjutnya menguasai sesuatu karena ‘keadaan’ yang ada disekitarnya. Sifat untuk bertahan hidup (lebih karena keinginan kuat untuk mempertahankan hidup) membuat manusia pada akhirnya membentuk sifat ‘konsumtif’ yang selanjutnya membuat ia terlihat sebagai makhluk yang serakah dan egois.

Ya, Harari dalam bukunya menulis banyak tentang sifat konsumtif yang lambat laun tapi pasti mengancam kelangsungan hidup ini. Sifat konsumtif yang selanjutnya identik dengan sifat serakah tidak dapat dipungkiri memberikan baik keuntungan dan kerugian bagi kehidupan makhluk di planet ini.

Paham Individualism semakin menjadi-jadi, dan kecenderungan angka masyarakat yang menunjukkan masalah mental-emosional semakin meningkat di dunia. Hal menarik yang sangat saya sukai dari seorang Harari adalah bagaimana ia tidak melupakan konsep mental-emosional ketika ia berbicara tentang manusia.

Harari menunjukkan bahwa semakin berkembang, semakin maju dan semakin ke sini, manusia semakin membentuk perilaku individualism yang sangat kuat. Sikap ini ditunjukkan dengan kecenderungan manusia untuk menjauh dari komunitas dan meminimalkan keikutsertaannya dalam kegiatan-kegiatan komunitas. Manusia cenderung hidup hanya untuk dirinya sendiri, dan keadaan ini dipandang sebagai masalah.

Sikap individualism yang terlalu berlebihan mengarah pada masalah mental-emosional, dan hal ini akan mengarah pada kepunahan manusia itu sendiri. Sejarah menunjukkan bahwa manusia tidak bisa dan tidak dapat hidup seorang diri saja, ia membutuhkan komunitas dan orang-orang yang akan membantunya bertahan hidup di lingkungan yang sangat tidak bersahabat. Keadaan ini tidak berubah hingga sekarang. Seorang manusia membutuhkan banyak manusia lagi untuk menyukseskan hidupnya di dunia. Harari bahkan pernah berkata bahwa

‘untuk membentuk seorang manusia, dibutuhkan partisipasi satu desa/komunitas (lebih dari satu orang manusia)’_Yuval Noah Harari

Rasa bahagia adalah hanya sebatas reaksi kimia dalam otak. Yeap, saya baru saja menuliskan sebuah kalimat yang terdengar cukup pesimis, but sadly true. Rasa bahagia yang dirasakan dan ditunjukkan oleh seorang manusia adalah hasil dari reaksi kimia rumit yang terjadi dalam otaknya. Lebih tragis lagi, rasa bahagia ini dapat diciptakan dengan instans oleh manusia itu sendiri dengan bantuan obat-obatan. Sekali lagi, riset dan perkembangan yang dikerjakan oleh manusia menghasilkan sesuatu yang membuatnya mampu melakukan sesuatu terhadap masalah yang Ia hadapi.

Fakta mengenai reaksi kimia ini ingin menunjukkan kepada kita bahwa tidak bijak untuk menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan dari sebuah perjalanan. Sebagai contoh adalah menjadikan alasan ‘bahagia’ sebagai alasan kuat di balik keputusan untuk menikah dengan seseorang. Oh no! ini bukan sebuah keputusan yang baik tentu saja. Rasa bahagia saat ini, akan berubah. Yeap, seperti halnya perasaan-perasaan yang lain (sedih, duka), perasaan bahagia ibarat awan di langit biru, mudah berubah bentuk dan tidak pernah menetap di satu tempat.

Harari (dan saya sangat setuju dengan pendapat ini) mendorong pembacanya untuk melihat ke dalam. Ia mengajak pembacanya untuk mencari dan menemukan kebahagiaan dari dalam dirinya sendiri. Kebahagiaan yang dihasilkan atau yang memang bersumber dari dalam diri adalah suatu kebahagiaan yang akan bertahan lama dan akan masuk ke dalam golongan kebahagiaan yang sejati.

Yeap, saya akhirnya sampai pada penghujung seri ke-empat dari tulisan ini. Sudah banyak rasanya bekal yang saya miliki, tapi juga sejalan dengan semakin banyaknya beban pertanyaan yang ada di dalam pikrian saya. Sebagai seorang manusia, saya tidak bisa melangkahi takdir saya untuk ‘mencari tahu’ apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran saya sendiri. Saya adalah manusia.

Pada akhirnya, saya menyimpulkan bahwa sebagai seorang manusia, adalah tugas saya untuk menjalani anugerah kehidupan ini dengan lebih antusias dan lebih maksimal lagi. Semua waktu yang diberikan kepada saya adalah kesempatan; kesempatan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam kepala saya, kesempatan untuk berkontribusi terhadap perkembangan dunia ini dan segala isinya, kesempatan untuk mengenal diri saya sendiri lebih jauh dan lebih dalam lagi.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua.

Salam tulus dari saya.

Pisttssss…jangan lupa untuk memberikan komentarmu tentang tulisan ini.

Iklan

11 pemikiran pada ““Dari Mana Manusia Berasal?” (Bagian IV)

  1. Waaa seru banget nyimak ulasanya Mbak Ayu ini. Nanti2 giliran yang Homo Deus ya Mbak hihi 😁😁

    Saya suka pemikiran soal bahagia yang cuma sekadar reaksi kimia sehingga kurang bijak dijadikan tujuan. Tapi di sisi lain bahagia memang jadi tujuan kebanyakan manusia dan bagi saya itu fine aja asal kebahagiaan itu jenis yang hakiki. Salah satu cara melihat mana yang hakiki seperti yang diuraikan tadi : melihat ke diri sendiri. Kebahagiaan hakiki pasti tujuanya hakiki juga. Dan nikah adalah salah satu cara menuju hakiki itu. 😛😛😛

    Disukai oleh 2 orang

  2. Terima kasih banyak ya Mbak Mulya. Ia, Homo Deus sudah masuk ke dalam list baca saya sejak setahun yang lalu. Sudah pernah baca sampai habis, tapi hanya baca sekedar lewat saja hahaha.

    Welehhh, ujung-ujungnya nikah yaa hahaha. Ia, saya setuju dengan konsep tentang kebahagiaan yang hakiki, yang bersumber dari dalam diri. Menemukan kebahagiaan jenis ini memang perlu waktu, perjuangan dan kesabaran hahaha. Saya harap masing-masing kita sudah menemukan kebahagiaan hakiki kita masing-masing ya. Aaamin.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Haha soalnya contohnya nikah, kadi ke sama deh 😜😜

    Amin amin. Berproses ke arah yang baik selalu ya Mbak. Sabar senantiasa juga tahan banting. 💪💪

    Disukai oleh 1 orang

  4. hehehe, tidak apa lah. Namanya juga contoh, bisa apa saja yang penting ada hubungannya wkwkwk.

    Setuju sekali, Mbak. Mengutip apa yang ditulis oleh Mbak, ‘Berproses ke arah yang baik selalu..’. dan ‘ tahan banting’. Ehm..sepertinya saya harus menyelipkan frase tahan banting pada nama tengah saya hahahaah

    Disukai oleh 1 orang

  5. Haha tahan banting dan pemberani ya Mbak. Biasanya kita sering galau gara2 kurang kuat menghadapi kesulitan (sambat terus) atau takut/ ragu2 untuk memulai sesuatu… 😗😗

    Disukai oleh 1 orang

  6. Hahaha, terdengar seperti seseorang yang overthinking nih. Keberanian itu berada di seberang pikiran tentang ‘takut’ dan perasaan ‘cemas’ yang terlalu berlebihan hahaha

    Disukai oleh 1 orang

  7. Aduh ketahuan deh kalo overthinking 😛😛😛 Tapi memang kalau sudah punya tujuan tuh suka kegambar rintangan yang bakal dihadapi itu apa aja, jadi ada sedikit cemas gitu 😁

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s