Memaksakan diri untuk berpikir dan bersikap positif itu, SUSAH!


Salah satu nasihat yang kerap digunakan oleh perawat untuk menenangkan pasiennya yang dilanda kecemasan, stress atau ketidakpastian akan keadaan akibat masalah pandemik ini adalah “berpikir positif”, beberapa nasihat kira-kira akan berbunyi demikian,

“Jangan terlalu dipikirkan, Bu. Berpikirkan positif!”

“Berpikir positif, Pak. Saat ini memang berat, tapi nanti akan berlalu juga”

“Pikirkan hal-hal yang baik dan membuat bahagia pada saat ini, pikirkan hal-hal positif. Semuanya akan baik-baik saja”

Saya pun adalah satu dari sekian banyak perawat yang memberikan saran demikian kepada pasien, sampai akhirnya saya berada pada titik mempertanyakan aksi yang saya lakukan,

“Apakah benar dengan berpikir positif, kita dapat membantu mereka yang sedang dalam keadaan kalut seperti saat ini?”.

Saya bahkan pernah berpikir, kalau saya berada di sisi pasien, saya pun akan menjadi marah dengan saran perawat yang seolah-olah memaksa untuk berpikir positif.

Tidak semudah itu, Ferguso!

Tulisan ini, saya dedikasikan untuk menjawab kekalutan pikiran saya sendiri, dan melihat kembali intervensi untuk berpikir positif seperti yang kebanyakan disarankan oleh teman-teman perawat dalam upaya untuk menghadapi secara mental dan emosional keadaan pandemic pada saat ini.

Berpikir positif itu…                                                                                          

Ada banyak sekali definisi dari berpikir positif, sebuah situs yang bernama Diction.id bahkan menyajikan banyak definisi tentang berpikir positif di sini. Silakan cek satu persatu.

Saya sendiri mendefinisikan berpikir positif sebagai aktivitas berpikir yang selalu melihat kebaikan, hal-hal baik dari setiap masalah yang muncul dan masalah yang dihadapi/dialami. Sebagai contoh, ketika wabah covid-19 terjadi (masalah), saya belajar untuk tetap menjalankan aktivitas saya seperti biasanya dengan sedikit penyesuaikan dan percaya bahwa wabah ini akan berlalu (bersikap dan berpikir positif).

Baca juga: Bagaimana saya harus bersikap tenang dalam menghadapi wabah Covid-19?

Berpikir positif adalah hal baik yang diharapkan terjadi ketika lingkungan, dan keadaan sekitar menunjukkan banyak tanda dan gejala negative yang menyesakkan pikiran dan menambah beban. Tapi, berpikir positif terus menerus, dan mengabaikan emosi yang timbul sebagai respon dari masalah yang terjadi akan membawa pikiran pada keadaan yang ‘tidak nyaman’, ‘tidak tepat’ dan lebih parah lagi, tidak realistis. Setidaknya demikian yang banyak dikeluhkan oleh orang-orang yang tidak bisa berhadapan dengan orang-orang yang terlalu berpikir positif dalam keadaan yang serba negatif.

Baca juga: Mengalahkan Rasa Bosan selama Masa Karantina

Ketika positif menjadi toxic

Menjadi positif itu baik, tapi menjadi terlalu positif itu bukanlah sesuatu yang baik. Seperti yang banyak dikatakan, “Sedang-sedang saja” itu lebih baik, tidak lebih dan tidak kurang juga. Nah, ketika individu berubah menjadi terlalu positif, sampai mengabaikan hal-hal negative lainnya, ini bisa masuk ke dalam istilah “masalah”. Keadaan seperti ini biasanya dikenal dengan sebutan toxic positivity.

David Robson, seorang wartawan BBC menuliskan gambaran tentang berpikir positif yang terlewat batas dalam tulisannya sebagai berikut:

Bayangkan diri Anda berdiri di tepi sungai, dan Anda ingin mencapai sebuah desa di seberang.

Ada sekelompok pemandu sorak di belakang Anda, menyemangati Anda. Jadi Anda menyeberang, dengan sepenuh tekad. Tapi Anda lupa mempertimbangkan aliran sungainya—dan sekeras apapun Anda berusaha, Anda tidak bisa melawannya. Ketika Anda sampai ke tepi seberang, Anda telah terbawa jauh dari tujuan Anda sebenarnya.

Berpikir positif dalam ilustrasi adalah pikiran yang timbul tanpa melihat kenyataan atau realitas yang ada. Realitas yang ada di sini adalah, sebuah sungai dengan aliran yang deras, serta kemampuan yang kita miliki. Berpikir terlalu positif dengan mengabaikan realitas yang ada menyebabkan keadaan, ‘terbawa jauh dari tujuan’ yang sebenarnya. Kita larut dalam keadaan yang kita anggap ‘enteng’ dan biasa-biasa saja.

Inilah bahaya dari berpikir terlalu positif. Jika disingkat, bahaya yang dimaksud tersebut adalah tertutupnya pintu pikiran kita terhadap realitas yang ada di sekeliling kita. Berpikir terlalu positif itu seperti isolator yang mengisolasi kita dari keadaan tidak peka terhadap keadaan dan situasi yang benar-benar terjadi. Membuat kita hidup dalam bayangan/ilusi yang tidak pasti. Apa yang indah dari kehidupan seperti ini?

Selain pendapat di atas, ada juga pendapat lain mengenai dampak positif thinking yang berlebihan. Dampak tersebut adalah pemikiran kita sendiri yang hanya terdiri atas dua hal, hitam-putih, bad-good. Itu saja. Pemikiran seperti ini bukannya salah, sah-sah saja jika memang ingin berpikir demikian, tapi kadang kita pun harus mempertimbangkan hidup diantara hitam-putih, bad-good tersebut. Antara hitam dan putih, ada warna pelangi yang indah dan menarik. Hidup ini, tidak sekedar hitam dan putih saja.

Nah, pemikiran yang kelewat positif, membuat kita menilai bahwa ada kemungkinan lain yang harus dihindari, yaitu pemikiran yang negative. Pemikiran negative ini adalah ‘pemikiran; dan bahkan keadaan yang berusaha keras kita hindari, kita jauhi dan kalau bisa di-block dari pikiran kita sendiri.

Tapi, hidup ini tidak berjalan seperti yang kita inginkan (kebanyakan demikian). Kita pun entah kapan, akan berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan, kita pun akan diliputi oleh pemikiran negatif sebagai pengaruh dari lingkungan dan kehidupan sosial dimana kita hidup dan berinteraksi. Mereka yang berpikir kelewat positif akan secara tidak sengaja ‘menghukum’ diri mereka sendiri ketika jatuh pada pemikiran negatif atau jurang keadaan negatif yang diciptakan oleh pemikiran mereka sendiri. Ini buruknya!

Saya harap, sampai di sini, teman-teman masih bisa mengikuti arah tulisan saya, dan melihat ke mana tulisan ini akan berakhir.

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Membiarkan saja. Tidak. Saya bukan orang yang senang dan puas dengan aksi ‘membiarkan saja’ atau ‘tidak melakukan apa-apa’. Jika tidak dalam bentuk aksi tangan (perbuatan), setidaknya saya harus mengobrak-abrik permasalahan ini dalam pikiran saya.

Banyak sumber yang saya temukan merujuk pada sekelompok cara untuk menghadapi masalah berpikir kelewat positif ini. Cara ini pun adalah cara yang bekerja cukup efektif bagi saya sendiri. Mungkin tidak pada beberapa orang, tapi yeap, bagi saya ini cukup berhasil menstabilkan kembali meteran berpikir positif yang ada dalam pikiran saya.

Cara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Menyadari pemikiran yang muncul

Berikan waktu pada diri sendiri untuk melihat apa yang terjadi dalam pikiran, termasuk badai dan perang pendapat di dalamnya. Lal, ikuti aturan ini, ‘jangan menilai sepihak’ atau kalau bisa, jangan memberikan penilaian apapun terhadap pemikiran yang muncul. Biarkan saja pemikiran itu mengalir seperti air yang keluar dan mengalir dari keran air. Tugas kita hanya mengamati, menjadi pengamat. Entah nanti air ini akan mengalir dengan lancar atau tidak, bergelombang atau tidak, tumpah ke dalam bak atau tidak, biarkan saja. Sekali lagi, tugas kita adalah mengamati tanpa mengharapkan apapun.

Ilustrasinya mungkin seperti ini:

Saat ini, saya mengalami pemikiran yang penat dan berkecamuk. Saya tidak tahu apa yang saya lakukan. Saya mendengar mereka meminta saya untuk berpikir positif terus menerus, percaya bahwa saya dapat menghadapi tekanan ini. Saya hanya perlu percaya.

Tapi, semakin saya memaksakan pikiran ini, saya menjadi sangat lemah dan tidak berdaya. Saya pun merasa ‘tidak pas’, ‘tidak tepat’ dan kegelisahan saya semakin meningkat. Saya merasa bahwa berpikir positif saat ini tidak dapat membantu saya sama sekali.

Saya mengambil istirahat sejenak, mengambil nafas dan membiarkan pikiran-pikiran saya berlalu lalang di dalam sana. Saya merasakan perasaan takut, cemas silih berganti. Okay, tidak masalah. Saya tidak akan lari dari emosi-emosi ini, saya hanya duduk di sini, dan saya ingin merasakan semuanya.

Cari sumbernya

Mengamati saja, tidak akan benar-benar membantu. Mengamati berarti diam, diam dan memperhatikan. Nah, setelah diam, langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah melakukan sesuatu. Inilah saatnya untuk mencari sumber dari masalah yang berkecamuk. Mencari jawaban, mengapa.

Ilustrasi:

Saya rasa, sumber dari keraguan yang menggelitik ini adalah pendapat mereka. Mereka yang meminta saya untuk tetap berpegang pada pemikiran yang positif dan mengabaikan segala hal negatif diluar pemikiran positif tadi. Saya bahkan tidak dianjurkan untuk melihat berita yang muncul di televisi!

Saya rasa mereka salah. Berpikir positif yang dipaksakan hanya membuat saya ingin berpikir negatif sekali-kali. Saya bahkan ingin melawan mereka dan membuktikan bahwa saya bisa tetap bertahan dengan sesekali berpikir negatif. Oh tidak, saya ingin menunjukkan bahwa di atas berpikir positif atau negatif, ada yang Namanya berpikir realistis.

Lihat kenyataannya!

Laporan harian yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah angka mereka yang di-test positif akibat virus ini terus meningkat setiap harinya. Ini bisa berarti bahwa upaya untuk melakukan test, terus dilakukan secara masif. Test yang terus dilakukan, dan jumlah mereka yang positif semakin meningkat, berarti bahwa kesempatan untuk melakukan perawatan segera juga meningkat. Fakta ini pun memberi kesempatan untuk mengikuti saran pemerintah untuk tetap berada di rumah, membatasi kontak dengan orang lain dan tetap menjaga kesehatan.

Apakah ini berarti bahwa keadaan akan menjadi lebih baik? Akan ada harapan?

Entahlah. Harapan masa depan itu dibangun dari hari ini. Kesempatan kala ini, detik ini. Apa yang saya lakukan hari ini akan menentukan keadaan pada masa yang akan datang. Jika saya tetap bertahan dengan membatasi aktivitas di luar ruangan, tetap diam di rumah, maka angka penularan akan dapat ditekan. Ini juga adalah jaminan bahwa kesempatan untuk mendapatkan perawatan akibat sakit juga berkurang. Saya pun dapat mengurangi beban para tenaga kesehatan yang akan merawat saya kelak.

Terima apa yang terjadi dan move on!

Setelah berkececamuk dengan pikiran sendiri, mencari sumber masalah apa dan mengapa. Lalu bersiap untuk melakukan eksekusi. Terima apa yang terjadi, move on!

Ada sebuah doa indah yang pernah diucapkan, dituliskan oleh seseorang seperti ini:

God, Grant me the serenity to accept the things I cannot change.

The courage to change the things I can, and the wisdom to know the difference (Unknown).

Doa sederhana ini secara otomatis menjadi doa favorit yang saya lantuntan berulang kali kepada Yang Maha Kuasa.

Saya menerima keadaan apapun yang terjadi, dan saya pun tidak akan menyerah begitu saja. Saya memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi Hak-Nya dan saya pun mendapatkan apa yang menjadi kewajiban saya. Sampai di sini, sudah cukup.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Berpikir kelewat positif ini memberikan efek terbentuknya harapan palsu yang jauh dari keadaan yang sesungguhnya. Ini berat sekali, dan keadaan ini bisa saja adalah masalah yang baru. Keadaan ini pun harus dihindari terjadi. Seberapa beratnya kenyataan, jangan tutupi itu. Memang berat, memang susah, tapi itulah kenyataannya. Kenyataan memang pahit, tapi akan lebih pahit kenyataan yang ditutupi dengan harapan palsu.

Jika berpikir kelewat positif itu membawa sampai pada titik ‘ini’. Segera sadari, dan kembali. Tarik kembali pikiran tersebut dan bawa kembali pada tempatnya. Berikan obat penawarnya, yaitu kenyataan dan beranikan diri untuk menghadapinya. Mereka yang jago memberi dorongan untuk berpikir positif pada saat ini pun harus segera sadar dan memperbaiki bagaimana memberikan saran dalam keadaan seperti ini. Jangan sampai menambah luka lagi bagi mereka yang memang sudah terluka.

Selanjutnya, siap untuk melanjutkan hidup!

Move on!

Jangan berhenti di sini saja. Move on dan lanjutkan hidup!

Ini lebih baik dilakukan dibandingkan berdiam diri saja dan tidak melakukan apapun untuk menciptakan perubahan keadaan.

So, demikian teman-teman sekalian. Berpikir positif itu adalah ‘sesuatu’, dan sesuatu ini kadarnya harus pas. Harus sedang-sedang saja dan tidak boleh berlebihan. Kita secara otomatis tahu, jika memang ada yang salah dan dosis berpikir positif ini terlalu berlebihan dalam pikiran kita. Seperti memang sudah ada alat ukurnya dalam diri kita masing-masing. Ketika kadar berpikir positif ini menjadi tidak normal lagi, saya harap teman-teman tahu apa yang harus dilakukan.

Saya menunggu respon teman-teman sekalian mengenai tulisan ini. Mungkin ada yang merasa bahwa tulisan ini tidak tepat atau tidak sesuai jalannya. Give your opinion on the comment section below. Yuk saling memahami.

As always, Salam dari saya.

….

Sumber Bacaan yang mendukung:

Tidak banyak yang bisa tulis di sini. Saya mendorong teman-teman untuk berpetualang dan menemukan sendiri jawaban dari unfinish bussiness yang saya tinggalkan. Bagi sahabat yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai ‘bahaya’ yang kadang tidak disadari karena tindakan ‘berpikir positif’ yang berlebihan, saya menyarankan untuk mengunjungi link-link tulisan dan buku-buku rekomendasi sebagai berikut:

  1. Mengapa selalu berpikir positif bisa membuat kita tidak Bahagia, oleh David Robson. Tulisan yang saya temukan di BBC Indonesia ini memang sudah diterbitkan sejak 10 Juni 2019 lalu, tapi rasanya sangat relevan dengan keadaan yang saya hadapi saat ini. Ide yang dipaparkan oleh tulisan ini ingin mengajak kita melihat bahaya berpikir positif, yaitu berpikir dan bersikap tidak rasional dan berpegangan pada kecenderungan ‘harapan palsu’. Tulisan ini pun menyinggung kaun Stoik, para filsuf Yunani Kuno yang juga dibicarakan dalam buku Oliver Burkeman.
  2. Why Positive Thinking Is Bad For You, oleh Srikumar Rao. Artikel yang ditulis dalam blog Psychology Today ini tidak panjang, tapi memberikan cukup informasi mengenal alasan mengapa terus menerus atau memaksa untuk berpikir positif itu bisa saja membahayakan seseorang.
  3. How Positive Thinking Creates More Problems Than It Solves, oleh Jan Bruce. Tulisan yang saya temukan di link website Forbes ini memang secara langsung diperuntukkan bagi para pengusaha atau mereka yang bekerja di kantoran. Saya banyak menemukan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan berpikir positif pada kasus-kasus pegawai kantoran atau mereka yang menjalani bisnis. Sepertinya kasus-kasus seperti ini nampak banyak sekali di tengah lingkungan perkantoran dan bisnis.
  4. The Resilience Advantage: Master Change, Thrive Under Pressure, and Bounce Back from Setbacks, karya Al Siebert, PhD. Buku ini menjadi buku yang paling sering saya lahap sejak tahun 2019 yang lalu. Isi buku ini memang sengaja menjadi bahan untuk telaah pribadi. Saya suka konsep dan juga pembahasan yang dilakukan oleh penulis, meskipun konsep resilience dalam buku ini sangat bersifat ‘personal’ (masuk ke dalam diri), dan sangat sedikit menyinggung soal resilience dengan bantuan lingkungan (atau dari luar diri). Buku ini menjadi salah satu suplemen yang mampu menguatkan tubuh dan pikiran untuk menghadapi rintangan seperti masalah yang berat dan efek dari masalah yang berat (seperti pikiran yang negative dan kacau). “Kita memang harus menderita, sehingga dari penderitaan itu kita dapat melahirkan kelegaan dan kebahagiaan serta kehidupan yang baru”, setidaknya demikian pesan singkat yang dapat saya petik dari buku ini, yang juga ada kaitannya dengan berpikir positif dengan kadar yang cukup, tanpa mengabaikan atau menghilangkan emosi negatif.
  5. The Antidote: Happiness for people who can’t stand positive thinking, oleh Oliver Burkeman. Buku ini berisi alasan-alasan dan juga penjelasan mengenai mengapa ‘positive thinking’ tidak benar-benar baik. Saya sendiri perlu waktu yang cukup untuk memahami isi buku ini. Cukup rumit bagi saya pribadi.
  6. Man’s Search for meaning, oleh Victor E. Frankl. Sahabat dapat melihat cuplikan isi buku ini pada website brainpickings, melalui tulisan Maria Popova, “Victor Frankl on the human Search for Meaning”. Sahabat juga bisa memesan buku ini dalam edisi Bahasa Indonesia melalui took buku seperti, Mizanstore dan Nourabooks dengan harga buku yang lumayan lebih murah dibandingkan dengan harga satu botol maskara dari Maybelline. Buku ini sangat saya rekomendasikan ada pada di tangan Perawat, terutama Perawat Kesehatan jiwa yang bekerja dan berkarya di lingkungan Kesehatan dan keperawatan jiwa. Buku ini merupakan fondasi untuk intervensi logotherapy yang menjadi salah satu intevensi yang bisa diberikan kepada pasien oleh perawat yang sudah terlatih.

19 pemikiran pada “Memaksakan diri untuk berpikir dan bersikap positif itu, SUSAH!

  1. Aku sependapat dengan Ka Ayu. Menurutku, berpikir positif yang kelewat batas dapat menciptakan harapan dan ekspektasi palsu, serta berujung pada sikap abai, menyepelekan dan ketidakpekaan akan keadaan yang sebenarnya.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Terima kasih, Kak Maria, untuk tulisan yang berharga ini. Saya sepakat, toxic positivity ini memang menjadi masalah dan menunjukkan bahwa tidak semua orang bisa melakukan kebaikan di tempat yang baik dengan cara yang baik 🙂

    Di luar konteks kesehatan mental, saya sering menemukan orang yang mengatasnamakan positive vibes untuk menghindari pemikiran kritis. Misalnya, untuk menghindari kajian-kajian berat tentang gender, sosial, politik, ekonomi. Mereka pikir, positive vibes hanya tentang bersenang-senang. Aku kurang sepakat dengan corak yang ini 🙂

    Disukai oleh 2 orang

  3. Terima kasih sudah berkunjung dan memberikan komentar, Bang Ical.

    Wah, saya setuju sekali ini. Bermodal positives vibes mengindari pemikiran kritis dan realistis untuk topik-topik seperti yang disebutkan. Kita terlalu menikmati kenyamanan, sampai lupa rasanya mendulang kenikmatan dari sengsaranya kenyataan.

    Disukai oleh 1 orang

  4. Tulisan Mbak Ayu selalu serius dan panjang, bukan seperti penulisan blog. Nyaris seperti jurnal ilmiah. Aku penasaran bagaimana Mbak Ayu mengumpulkan tulisan-tulisan ini, seberapa lama menuliskannya, meracik hingga sedemikian rupa dalam dan penuh pemikiran. Kata orang tulisan ini masuk dalam kategori bacaan berat. Bahasanya pun serupa bahasa buku, dan memang akan lebih enak jika dibaca dari media kertas.

    Aku kira Mbak Ayu selalu suka mendewakan berpikir positif, sebab Mbak ayu hampir selalu menyebarkan tulisan-tulisan dengan nada positif, sangat bertolak belakang dengan saya yang hampir selalu destruktif dan sinis, macam orang yang putus asa.

    a very good article, Mbak Ayu. Jempol buat kamu.

    Disukai oleh 1 orang

  5. Hi, Mas Andi. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan komenter.

    Saya menyadari hal yang sama akhir-akhir ini, gaya tulisan yang saya terbitkan di blog seperti yang Mas Andi sebutkan. Saya semakin yakin karena Mas Andi secara langsung menyebutkannya demikian.

    Saya rasa, gaya tulisan ini terbentuk karena kebiasaan. Saya senang membaca tulisan-tulisan yang bersifat ‘ilmiah’ dan jujur saja, adalah kebiasaan saya setiap hari untuk membaca artikel-artikel ilmiah. Hal ini terjadi karena pekerjaan yang saya lakukan. Maklum, segala sesuatu yang logic dan ilmiah adalah hal-hal yang menjadi dasar dalam pekerjaan saya, dan juga yang diharapkan oleh banyak pasien yang saya rawat. Secara alami, dan mungkin tanpa banyak saya sadari, tulisan yang saya terbitkan di blog juga mendapat pengaruh ini. Semoga ini bukan pertanda yang buruk, ya hahaha.
    Perlu waktu setidaknya tiga hari atau lebih untuk membentuk suatu tulisan yang saya anggap ‘layak’ untuk diterbitkan. Saya benar-benar menekankan pada sumber informasi yang benar dan bisa dipercaya, selain tentu saja pendapat saya pribadi yang hanya kebanyakan berdasarkan pengalaman. Saya sadar betul bahwa informasi yang saya bagikan di sini akan menjadi konsumsi publik, dan saya bertanggung jawab atas apapun yang saya bagikan. Begitu, Mas Andi.

    Mas Andi yang baik, saya rasa kita memiliki gaya menulis dan menyampaikan informasi yang unik masing-masing. Pembaca kita-lah yang akan memberikan penilaian dan mempersepsikan secara bebas apa yang kita tulis di media blog ini. Saya tidak menangkap kesan destruktif dalam tulisan Mas Andi, hanya kejujuran dan apa adanya yang saya rasakan. Sinis itu relatif, dan itu wajar terjadi dalam tulisan. Dalam tulisan yang saya bagikan kali ini pun, saya merasakan perasaan ‘sinis’ dan ketidaksetujuan di sana-sini. Tapi, whatever lah! wkwkwkwk.
    Saya harap, apapun yang terjadi, menulislah terus, Mas Andi. Entah itu ketika putus asa, bersedih, terluka atau berbahagia. Sebagai manusia, kita adalah makhluk yang penuh dengan emosi, dan itu yang membuat kita nampak indah.

    Semangat!! Terima kasih jempol-nya, Mas Andi.

    Disukai oleh 1 orang

  6. Menarik sekali ulasannya, Maria.

    Berat sekali memang untuk berpikir positif sekarang ini. Apalagi kalau kita terus mencari informasi dari berbagai sumber, yang semuanya bikin kita memandang masa depan secara pesimis. Makanya saya justru salut dengan orang-orang yang masih mampu menyarankan orang lain untuk berpikir positif. Setidaknya itu menunjukkan kalau mereka berempati. Meskipun hidup mereka juga berat, mereka masih bisa mengajak orang lain untuk berpikir positif.

    Saya belum benar-benar bisa memahami berpikir positif yang toxic ini, soal konteksnya, sudut pandangnya; apakah ini soal mereka yang mengajak berpikir positif atau soal penerimaan orang-orang yang diajak berpikir positif. Mungkin nanti saya bakal mengklik referensi-referensi yang disertakan dalam tulisan.

    Disukai oleh 1 orang

  7. Tiga hari. Sangat serius. Well… Alasan yang sangat menarik, jadi blog ini memang tidak hanya sekadar tulisan, tetapi blog pro yang siap mempertanggungjawabkan dalm studi keilmiahan. Top deh

    Benar, Mbak Ayu telah memiliki sedikit gambaran yang benar dengan cara menulisku; jujur.

    Ya. Menulis adalah obat terbaik di tengah kelana kembara yang tak jelas juntrungnya.

    Okesip.

    Disukai oleh 1 orang

  8. Wow… ini memang bacaan berat, tapi mengasyikkan mbak.

    Saya sengaja mengubah pola membaca tulisan ini, membaca dari bawah kesimpulannya dulu – baru kemudian mengulangnya dari atas. Nggak biasanya sih begini, tapi ternyata mengasyikkan 🙂

    Mencerahkan, mbak.

    Disukai oleh 1 orang

  9. Terima kasih banyak, Mas.
    Saya sebenarnya cukup ragu untuk meng-klik publish untuk tulisan ini. Dari saya pribadi, topik tulisan ini cukup rumit untuk dipahami, dan saya punya sedikit kekhawatiran kalau ketika saya membagikan pemikiran dan pemahaman saya dalam bentuk tulisan dan menyebarkannya di blog ini, malah pada binggung hahahaha

    Tapi, syukurlah kalau bacaan ini mencerahkan. Semoga bermanfaat juga.

    Ia, ternyata saya tidak sendiri ketika mempraktikkan kegiatan membaca dari bagian kesimpulan dulu atau bagian akhir tulisan. Rasa penasaran biasanya jadi alasan utama mengapa melakukan tindakan ini heee

    Suka

  10. Hi, Mbak. Terima kasih karena sudah mampir dan meninggalkan komentar.

    Ia, ada banyak rekomendasi buku dan link tulisan juga. Wah, saya menemukan blogger yang suka berburu buku-buku bacaan juga nih.

    Salam dari saya, Mbak.

    Suka

  11. Tulisan mbak Ayu ini memang perlu waktu untuk mencerna-nya; ibaratnya makanan seperti sop iga, tidak bisa sekelebat – tetapi perlu dikunyah hingga halus dan kemudian ditelan 😀 😀

    Hahaha… kenapa jadi ngomongin makanan ya

    Disukai oleh 1 orang

  12. Wah, terima banyak Mas. Sop Iga itu mahal harganya wkwkwkwk.
    Saya akan berusaha menyederhanakan tulisan saya, Mas. Saya menyadari kadang, saya pun dibuat binggung dengan tulisan saya sendiri wkwkwk.

    Ia, tidak apa-apa, Mas. Pasti karena kemarin adalah hari raya. Jadi, makanan adalah salah satu hal yang menarik untuk dibicarakan.

    Suka

Tinggalkan komentar