Sahabat saya yang bernama “Sunyi”


Pada masa-masa #workfromhome saat ini, dan dibarengi dengan sangat terbatasnya aktivitas di luar rumah membuat penyakit kesepian semakin menjadi-jadi. Tidak menjadi masalah besar memang untuk mereka yang jiwanya adalah jiwa anak rumahan (bahkan bisa dikatakan anak kamaran, karena terlalu banyak menghabiskan waktu di kamar tidur saja), tapi akan sangat berbeda dengan mereka yang gatal kalau tidak menginjakkan kakinya di luar rumah. Mereka yang hampir tidak bisa ‘hidup’ kalau tidak pergi ke luar, bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang.

Sunyi (solitude) dan kesepian (loneliness) adalah dua hal yang sangat berbeda. Sunyi merujuk pada keadaan tanpa suara, hening dan seringkali diasosiasikan dengan keadaan yang damai dan tenang. Sedangkan kesepian adalah keadaan atau pengalaman yang dirasakan oleh seseorang/individu. Kesepian bisa terjadi karena lamanya bergumul dalam kesunyian, tapi bisa juga tidak, karena sangat tergantung pada hasil pergumulan individu masing-masing. Banyak sekali faktor-faktor yang bisa menyebabkan seseorang menjadi kesepian, tidak mesti karena keadaan sekelilingnya yang sunyi. Tapi kembali, keadaan sunyi yang cukup lama bisa saja menjadi salah satu faktor penyebab kesepian. Rumit? Tidak juga.

Sunyi itu bukanlah hal yang sama sekali tidak boleh terjadi dalam hidup kita. Kita membutuhkan kesunyian dan juga kesendirian, tapi dengan porsi yang cukup, tidak lebih dan tidak kurang. Porsi ini pun berbeda-beda antara orang satu dan orang yang lain.

Berbeda dengan sunyi dan kesunyian, kesepian bisa datang kapan saja, tidak ada yang dapat menduganya. Tapi kadang, sebelum Ia benar-benar datang, Ia memberi peringatan-peringatan kecil yang sangat mudah kita deteksi kalau kita benar-benar mengenalnya. Ketika Ia benar-benar datang, Ia datang seperti pencuri, menyelinap dari tempat yang tidak terduga, masuk dan mengobrak-abrik perasaan yang awalnya sudah tertata dengan baik. Kalau Ia betah, Ia akan tinggal lama, dan sejak saat ia memutuskan untuk tinggal, hidup menjadi sangat berbeda.

Tapi, kesepian sangat berbeda dengan sunyi atau keadaan sunyi.

Sunyi itu sepi, tapi bisa saja menjadi ramai. Ketika keadaan di lingkungan tiba-tiba menjadi sunyi, mulut yang terpaksa harus terkatup rapat memungkinkan pintu pikiran terbuka lebar. Diskusi-diskusi terbuka terjadi dengan nyata di alam pikiran. Inilah yang dimaksud dengan kesunyian yang ramai.

Sunyi adalah pilihan. Kita bisa memilih untuk berada dalam keadaan sunyi tanpa menjadi kesepian karenanya. Sunyi bisa jadi memberi makna dan menentramkan kalbu. Tidak semerta-merta hanya karena Pathological social withdrawal (PSW) yang banyak kali dibicarakan orang-orang ketika seseorang tiba-tiba saja menghilang dalam kesunyian.

Kesunyian bisa jadi adalah berkat ketika kita memutuskan untuk belajar darinya. Kesunyian sangat erat dengan kehadiran Tuhan. “Tuhan ada dalam kesunyian”, “Temukan Tuhan dalam indahnya kesunyian” dan masih banyak lagi asosiasi tentang kesunyian.

Sunyi bisa jadi adalah harapan, karena pada saat itu, “Tuhan sedang bekerja” dan membantu kita untuk menemukan solusi masalah yang sedang kita hadapi. Sunyi tidak selalu berarti sesuatu yang buruk.

Sunyi, harga dan nilainya terletak ditangan mereka yang menerima dan mengakuinya. Sunyi bisa saja menjadi berkat, tapi juga bisa menjadi kutuk ketika si pemilik sunyi tidak dapat menghargai nilainya.

Sunyi atau kesunyian, siapa lagi yang berteman akrab dengannya selama masa-masa sulit ini ?

Catatan di balik layar:

Tulisan ini tercipta sebagai respon atas permintaan Kak Fahmi untuk membuat tulisan yang pendek tapi tetap padat dan berisi. Seriously, sangat tidak mudah. But I tried my best.

Tulisan ini terinspirasi dari buku karya Thich Nhat Hanh yang berjudul “Silence”. Buku ini sempat menemani saya dalam beberapa hari dan benar-benar membuat saya melihat keadaan ‘sunyi’ sebagai sesuatu yang berbeda. Sedikit ringkasan mengenai buku ini bisa dilihat pada salah satu terbitan di intagram saya. Buku ini sederhana, tapi mengandung pesan yang sangat powerful dan pengalaman membaca yang menyenangkan. Gelombang otak saya menjadi lebih tenang setelah selesai membaca buku ini. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca kala masa senggang. Sederhana dan tidak rumit.

Selain buku, saya pun terinspirasi dari tulisannya Pak Sunarno yang berjudul “Simo yang Sunyi”. Karya tulisan yang baru saja diterbitkan pada April 22. 2020 ini menggambarkan tentang keadaan mendadak sunyi yang meliputi sebuah kota atau tempat. Besar kemungkinan karena kebijakan mengenai PSBB yang banyak dilakukan di berbagai kota di Indonesia. Membaca satu demi satu kata dari tulisan Pak Sunarno membuat saya semakin menyadari bahwa keadaan mendadak sunyi ini tidak hanya terjadi di tempat saya tinggal saat ini. Kita semua seakan terdorong oleh rasa takut (yang terbalut oleh rasa untuk melindungi), bertindak untuk mengosongkan jalan-jalan. Jangan lupa berkunjung ke Blog Pak Sunarno, banyak sekali tulisan-tulisan indah yang sederhana dan sangat mendalam untuk direnungkan di sana. Jangan lupa juga untuk meninggalkan komentar dengan sopan dan hangat.

Selain sumber bacaaan di atas, berikut adalah beberapa sumber bacaan yang bisa dikunjungi oleh teman-teman sekalian untuk melengkapi referensi mengenai topik, kesepian (loneliness) yang dibahas hanya sekelumit saja di sini:

  1. COVID-19 Related Loneliness and Psychiatric Symptoms among Older Adults: The Buffering Role of Subjective Age. Artikel ilmiah ini menyajikan informasi mengenai salah satu faktor yang dapat memperburuk keadaan kesepian yang sudah semakin mengkhawatirkan selama masa pandemik ini. Artikel ini bersifat open access, jadi bisa dibaca dengan bebas tanpa perlu log in macam-macam. Kesepian kadang dihubungkan dengan hubungan sosial dengan orang lain. Ada anggapan bahwa mereka yang mengalami kesulitan untuk bersosialisasi dengan orang lain, adalah orang yang sangat rentan dengan keadaan kesepian. Anggapan ini bisa benar, dan bisa juga tidak. Jawabannya ‘tergantung’ pada masing-masing orang tentunya. Tapi, dalam penelitian ini menggarisbawahi hal yang sangat krusial, yaitu usia. Ternyata dalam masa pandemi saat ini, mereka yang menganggap bahwa ‘Ia lebih tua usianya dari usia sebenarnya’ memiliki kecenderungan untuk mengalami kesepian lebih besar dibandingkan dengan yang tidak. Dalam arti yang sederhana, berpikir dan bersemangat/berjiwa muda akan sangat membantu seseorang untuk terhindar dari masalah kesepian, terutama pada masa-masa pandemik saat ini. Menarik!
  2. The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence. Artikel ini menyajikan infomasi mengenai masalah-masalah psikologis yang timbul akibat dari masa-masa karantina (atau PSBB) seperti yang kita alami pada saat ini. Ketika membaca artikel ini, saya dengan sangat mudah relate dengan hasil penelitian ini. Saya bahkan sudah cukup banyak menulis mengenai dampak psikologis yang saya rasakan karena pandemik ini. Artikel ini menunjukkan bahwa memahami situasi yang terjadi pada saat ini adalah sangat penting untuk dapat melawan segala masalah-masalah psikologis yang timbul akibat PSBB. Memahami apa yang terjadi pada saat ini dapat dilakukan dengan mendapatkan informasi yang akurat dan terpercaya dari sumber yang terpercaya juga. Selain itu juga mendapatkan instruksi yang jelas mengenai apa yang harus dilakukan. Selain dari hasil yang dipaparkan, saya sendiri mengambil kesimpulan bahwa untuk menghadapi masa-masa saat ini, saya harus berusaha sekuat tenaga untuk menguatkan system dan daya resiliensi yang saya miliki dan tidak menganggap PSBB ini sebagai suatu keterpaksaan. Bagaimana dengan teman-teman?
  3. Buku fiksi yang berjudul “The perfect world of Miwako Sumida” yang ditulis oleh Clarissa Goenawan, adalah salah satu buku yang membuat saya berpikir tentang kesunyian dan juga kesepian dalam satu waktu. Buku ini menyita perhatian saya, dan membuat saya sangat bersyukur menginvestasikan waktu untuk membacanya. Tokoh Miwako Sumida membuat saya melihat kesunyian dari sisi yang berbeda. Buku ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca di waktu-waktu senggang selepas bekerja seharian. Seperti saya, kamu tidak akan berhenti membaca buku ini sampai lembaran terakhirnya.

Semoga tulisan ini bermanfaat, dan tidak lupa, salam hangat dari saya.

33 pemikiran pada “Sahabat saya yang bernama “Sunyi”

  1. Ia, Kak. Kita tidak bisa lari dari namanya ‘bosan’. Mau bersembunyi di kamar, atau berlari di luar rumah pun, si ‘bosan’, ngekor mulu hahahaha

    Suka

  2. Salam hangat juga. Turut ikut keramaian disini karena lagi bosan-bosannya mengisolasi diri. Follow back… hehehehe

    Disukai oleh 1 orang

  3. Terimakasih dengan Simo yang Sunyi, itu kota kecil tempat di mana banyak aktivitas masa kecil dan remajaku, meskipun secara administratif saya bukan orang Simo, mungkin banyak dialami oleh orang orang daerah perbatasan, lebih ke tempat yg justru secara administratif di luar dirinya, tapi letak geografis nya memang lebih dekat

    Disukai oleh 1 orang

  4. Itulah dia, Kak. Kita mungkin terpenjara oleh rasa ‘takut’ sakit atau mati karena virus ini, tapi inilah yang mungkin bisa kita lakukan (tidak kemana-mana) untuk melindungi orang-orang yang kita sayangi dan pastinya tidak berdaya.

    Saya belajar untuk menerima, Kak. Menerima untuk mengisolasikan diri dan menjauh dari orang-orang yang terkasih dulu saat ini.

    Disukai oleh 1 orang

  5. Hi, Kak Afridani. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan komentar.

    Salam dari sini juga, mari menciptakan keramaian di tengah kegiatan ramai isolasi diri.

    Ia, kak. Sudah saya followed.

    Disukai oleh 1 orang

  6. Ia, Pak.
    Saya terkesan dengan tulisan Bapak soal “Simo” yang ternyata adalah kota kecil yang juga harus ikut menderita karena pandemi ini.
    Melihat dari bagaimana Bapak menulis tentang kota ini, saya bisa paham tentang arti kota ini untuk Bapak. Pasti berkesan.

    Suka

  7. Wow… You’re so kind. Thank you for that. Ini hari ke sekian saya setelah membuat blog. Dan baru nyoba-nyoba gunain fiturnya sana-sini… Eh tahu-tahu semacam ada fitur sosial medianya gitulah… Dan sekonyong-konyong saya nyuruh orang-orang untuk follow. Hahaha… Makasih kak…. Salam TEEEEEEERRRRRRHANGAT 1000x.

    Disukai oleh 1 orang

  8. Ide puisi ini spontan, ponakan posting foto itu di group wa perantau, ditambah obrolan teman teman di group alumni, sudah tergambar tidak akan bisa mudik lebaran sebelum pemerintah mengumumkan keputusannya, maka spontan puisi itu lahir

    Disukai oleh 1 orang

  9. Hi, Kak.
    Semangat untuk terbitan-terbitan di blog-nya ya. Semoga semakin banyak orang yang terbantu dengan tulisan baik yang diterbitkan di sana.

    Salam hangat juga untuk kakak.

    Disukai oleh 1 orang

  10. Sunyi dan kesepian. Dlm keadaan sunyi bs saja terasa ramai. Sdgkn dlm keadaan ramai bs saja merasa kesepian. Dan saya sering mengalami keduanya. Menarik sekali artikelnya 👍

    Disukai oleh 1 orang

  11. Saya suka menikmati kesunyian pun suka masuk dan menikmati keramaian 😀 Bunglon yak! Saya akan “menuju” kesunyian jika memang sudah sangat sumpek dengan keramaian… Menikmatinya dan menemukan dunia saya sendiri sebelum kembali masuk ke dalam keramaian. Ribet yak? 😀 😀

    Disukai oleh 1 orang

  12. Hi, Mbak Luna. Itu yang sering dan bahkan terlalu sering saya rasakan. Semakin parah sejak masa-masa pandemik ini terjadi hahahaha

    Terima kasih sudah berkunjung dan meninggalkan pesan, Mbak.

    Suka

  13. Buat saya, kesunyian memberi kesempatan untuk melihat ke dalam diri. Mungkin nggak berlebihan juga kalau disebut sebagai sebuah kemewahan. Atau kesempatan untuk mengecas ulang baterai yang dayanya sudah hampir habis karena dikuras untuk menyelesaikan hal-hal praktikal.

    Tapi, sunyi mungkin nggak selalu mesti sepi. Kadang saya bisa mengisolasi diri dalam keramaian. Fokus pada satu hal, kebisingan lingkungan sekitar perlahan-lahan jadi tak terdengar.

    Nice post, Maria! Bikin merenung. 🙂

    Suka

  14. Hi, Kak. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan komentar.

    Aaa…Kakak ternyata adalah seorang introvert! tosss dulu.
    Saya pun demikian, saya menimba kekuatan dari kesunyian, dan waktu sendiri adalah juga sebuah kemewahan (kemewahan karena sekarang jarang banget dapat waktu sunyi hahaha).

    Semoga tulisan ini bermanfaat, Kak. Semoga pula hasil dari merenung itu membawa energi yang baik. Salam dari saya, Kak.

    Disukai oleh 1 orang

  15. Semoga kita selalu berada dalam keadaan itu, “Baik-baik saja”, dan semoga itu adalah kata-kata yang jujur keluar dari dalam relung hati terdalam kita.

    Terima kasih sudah mampir, Mbak. Salam dari saya.

    Suka

  16. Selalu menyenangkan baca postinganmu soal dunia kesehatan, Maria. 😀

    Entahlah. Mungkin begitu. Tapi saya juga sama sekali nggak ada masalah dengan keramaian, malah cenderung dominan waktu ngobrol. 😀 Cuma, ya, kadang perlu banget untuk sendiri.

    Stay safe di sana, Maria. 🙂

    Disukai oleh 1 orang

  17. Merasa sepi: segala hal di luar diri menjadi hilang dan yang tersisa hanyalah kita. Efek: kegelisahan. Sifat: selfishness.

    Merasa sunyi: kitalah yang hilang dan yang tersisa adalah kehadiran segala hal di luar diri. Efek: penghayatan. Sifat: selflessness.

    Disukai oleh 1 orang

  18. saya suka sunyi waktu tidur. kalau nggak sunyi nggak bisa tidur. sunyi dibutuhkan biar pikiran bisa tenang, rilex dan pergi ke alam mimpi dengan damai. 🙂

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar