Tenaga Kesehatan, Pandemi dan Bonus Demografi


Ketika wabah covid-19 melanda dunia, profesi kesehatan otomatis mendapatkan panggung yang semarak dari media dan masyarakat. Profesi kesehatan didaulat langsung menjadi front liner untuk menghadapi badai makhluk hidup tak kasat mata yang bisa membunuh tanpa ampun dan tanpa kompromi. 

Bekerja dan bergerak sebagai front liner itu tidak mudah. Menjadi front liner itu sama artinya berhadapan secara “langsung” dengan makluk tidak kasat mata yang bernama virus. Tanpa perlindungan yang cukup, dan strategi yang mapan dan disiplin, nyawa taruhannya. Sampai Mei 2020, Gugus tugas penanganan Covid-19 melaporkan setidaknya ada 38 orang dokter dan 15 orang perawat yang gugur dalam tugas untuk menangani pasien dengan Covid-19 (Taher, 2020). Jumlah ini dikhawatirkan terus bertambah setiap harinya jika masyarakat tidak disiplin dalam mengikuti aturan menjaga kebersihan-kesehatan dan melakukan physical distancing seperti yang dianjurkan oleh pemerintah. Jumlah ini memang tidak seberapa dengan perbandingan jumlah penduduk di Indonesia, tapi jika dihitung dari jumlah tahun-tahun pendidikan yang hilang serta sumbangan tenaga/pelayanan yang bisa dilakukan oleh para tenaga kesehatan ini, kerugian besar adalah apa yang bisa dituai dari kejadian ini.

Profesi kesehatan memiliki variasinya sendiri, ada dokter, perawat, bidan, apoteker dan masih banyak lagi. Dokter pun bervariasi jenisnya. Kejadian pandemik ini membuka mata publik bahwa dokter pun ada berbagai macam, ada dokter spesialis paru, dokter spesialis jiwa dan masih banyak lagi. Tidak hanya dokter, profesi keperawatan lain seperti perawat saat ini pun ternyata juga memiliki spesialisasinya sendiri hampir sama seperti dokter. Meskipun profesi kesehatan nampak bervariasi, tapi tetap saja variasi ini belum mampu menyeimbangkan kebutuhan perawatan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Indonesia.  

Data menunjukkan bahwa ada ketimpangan yang sangat jauh antara jumlah petugas kesehatan dan masyarakat yang dirawatnya (Statistik, 2020).  Sebagai contoh adalah rasio jumlah dokter terhadap 10.000 penduduk pada tahun 2018 yan hanya menunjukkan nilai 1.13: 10.000. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sepuluh ribu penduduk, hanya terdapat satu orang dokter saja, padahal normalnya satu orang dokter setidaknya merawat 5000 penduduk saja.

Sekarang pertanyaannya adalah, dalam keadaan normal tanpa pandemik saja, jumlah tenaga kesehatan sudah sangat tidak seimbang. Bagaimana dengan keadaan selama masa pandemik saat ini? Belum lagi semakin ke sini, laporan tentang petugas kesehatan yang gugur akibat bertugas semakin sering terdengar. Miris!

Profesi kesehatan memang secara otomatis menjadi salah satu profesi yang mengalami pukulan yang luar biasa karena pandemik ini. Keadaan ini pun semakin mengancam pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Jika keadaan seperti ini terus terjadi, akan lebih banyak korban yang berjatuhan dan akan semakin banyak kerugian yang dituai. Akan lebih banyak warga masyarakat yang harus berhadapan dengan pembiaran karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan yang diperlukan dengan alasan tidak ada atau tidak tersedianya petugas kesehatan untuk membantu mereka.

Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk setidaknya mencegah hal ini terjadi? Penambahan jumlah tenaga kesehatan dalam waktu yang cepat bukanlah hal yang dianjurkan. Dalam bukunya yang berjudul “The Great Influenza”, John M. Barry menuliskan bahwa ketika perang melawan pandemic virus terjadi 100 tahun lalu, untuk mengisi segera posisi tenaga kesehatan seperti dokter, sekolah-sekolah kesehatan mengambil langkah ekstrem untuk menggelar program karbitan untuk mencetak dokter-dokter atau petugas kesehatan yang sekira siap untuk mengisi posisi sebagai front-liners. Tapi, bukannya pelayanan yang baik yg diperoleh, tapi malah korban yang berjatuhan lagi dalam jumlah yang sama banyaknya. Sia-sia. Kesimpulannya, program pendidikan tenaga kesehatan yang karbitan tidak bisa dan tidak mampu mengisi posisi “kualitas” pelayanan kesehatan untuk masyarakat seperti yang diharapkan.

Kalau sudah begini lalu bagaimana? Membantu tenaga kesehatan untuk tetap memilih, melanjutkan misinya sebagai petugas kesehatan adalah sebuah keharusan. Selain itu, kita sekalian bersama masyarakat pun harus bersikap tidak egois, menjaga agar para petugas kesehatan yang ada saat ini dapat bekerja dengan baik dan maksimal. Tidak egois saat ini adalah dengan disiplin selalu melakukan physical distancing ketika berjalan di kerumunan, dan menjaga kesehatan diri secara mandiri. Tidak egois juga berarti tetap sabar untuk sebisa mungkin bekerja dan beraktivitas di rumah saja. Tidak egois itu juga berarti tidak menyebarkan berita hoax yang menyesatkan orang banyak dan meraup keuntungan pribadi secara tidak adil.  Tidak egois itu pun adalah sikap untuk terus menerus memperkaya diri dengan pengetahuan tentang pencegahan penularan dan giat meningkatkan kesehatan tubuh sendiri dan keluarga.

Selanjutnya, masyarakat dapat mengajak dan juga mendukung sebanyak mungkin mereka yang berniat untuk membaktikan dirinya sebagai petugas kesehatan. Semoga dengan segala cara dan upaya ini, masyarakat di negara kita dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang maksimal dan merata, dan semakin seimbanglah rasio antara jumlah petugas kesehatan dan masyarakat yang dirawatnya. Harapannya dengan semakin seimbangnya rasio ini, pelayanan kesehatan kepada masyarakat Indonesia dapat diberikan secara merata dan berkualitas.

Daftar Sumber:

Statistik, B. P. (2020, Juni 25). Rasio Tenaga Kesehatan dan Failitas Kesehatan terhadap 10.000 Penduduk Tahun 2016-2018. Retrieved from Badan Pusat Statistik: https://okukab.bps.go.id/dynamictable/2020/01/10/351/rasio-tenaga-kesehatan-dan-fasilitas-kesehatan-terhadap-10-000-penduduk-tahun-2016-2018.html

Taher, A. P. (2020, Mei 6). Gugus Tugas Covid-19: 55 Tenaga Media meninggal saat pandemi corona . Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/gugus-tugas-covid-19-55-tenaga-medis-meninggal-saat-pandemi-corona-flvF

Catatan: Tulisan ini sengaja dipersiapkan untuk diterbitkan beberapa bulan yang lalu, tapi entah mengapa kelupaan.

9 pemikiran pada “Tenaga Kesehatan, Pandemi dan Bonus Demografi

  1. ibu saya seorang perawat mbak, Jadi saya menyaksikan secara langsung perjuangan para medis digaris depan
    semoga allah membalas jasa2 kalian mbak
    dan semoga pemerintah juga dapat lebih bijaksana dalam memberikan tunjangan dan upah yang sepadan

    Disukai oleh 1 orang

  2. Dan mirisnya banyak masyarakat yang bandel, menganggap wabah ini hanya mitos. Bikin nyesek para tenaga medis 🙂 berjuang tapi masyarakat tidak semuanya menghargai

    Disukai oleh 1 orang

  3. Kadang, kenyataan bisa seperti itu Mbak. Tapi , tidak apa-apa. Manusia itu tidak akan serius menanggapi sesuatu kalau belum merasakan sendiri susahnya.

    Suka

  4. saya masih suka heran dengan kenyataan bahwa yang meremehkan wabah ini termasuk mereka yang “makan sekolahan” 😦 sebentar lagi yang akan ramai pro-kontra adl vaksin. semoga tenaga medis selalu diberi kekuatan dan kesabaran, aamiin

    Disukai oleh 1 orang

  5. Saya respek sekali dengan para petugas medis yang berjaga di garda terdepan yang membaktikan diri pada kesehatan masyarakat. Risiko yang mesti mereka tanggung sungguh tak sebanding dengan apa yang mereka terima, sebesar apa pun itu.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar