Mencintai Orang yang Sulit, Mungkinkah?


Hari itu, ketika saya sedang beristirahat dan menenangkan diri setelah beberapa waktu lembur bekerja, pikiran saya berkelana dan singgah di satu titik. Saya memikirkan tentang apa yang sudah saya kerjakan, dan apa yang sedang saya kerjakan saat ini. Salah satu hal yang menjadi perhatian saya adalah ini, secara konsisten hampir setiap waktu, saya bekerja untuk mencintai pekerjaan dan juga orang-orang yang SULIT.

Entah disadari atau tidak, setiap hari bahkan hampir setiap waktu, kita akan berinteraksi dengan orang-orang yang sulit. Maklum, setiap orang memiliki prinsip dan opininya masing-masing. Prinsip dan opini ini terbentuk dari banyak faktor dan dipengaruhi oleh banyak variable, salah satunya adalah pengalaman masa lalu.

Orang-orang ini merujuk pada berbagai macam varian orang-orang. Bisa jadi adalah bos atau karyawan di tempat kita bekerja, anggota keluarga kita sendiri, teman atau bahkan orang yang kita kasihi.

Memutuskan untuk mentoleransi apa yang dilakukan oleh orang-orang yang ‘sulit’ ini membutuhkan banyak energi, dan juga kemampuan yang luar biasa. Mencapai level ‘memahami’ saja tidak cukup, kadang kita pun harus mengambil langkah ekstrem, yaitu ‘mengasihi’ atau ‘mencintai’.

Banyak yang berpendapat seperti ini,

“Kalau sulit, ya jangan dilanjutkan! Tinggalkan dan jangan membuang-buang waktu dan energi untuk berjuang untuk orang-orang sulit ini!”

“Buang-buang waktu saja!”

But, pada satu titik, kita tidak dapat mengelak untuk tidak peduli, dan dengan niat yang baik lahir keinginan untuk “merubah” orang yang ada di hadapan kita ini. Orang yang sulit ini.

Jika memang niat kita tulus, segala jenis respon negatif untuk berhadapan dengan orang-orang ini, tidak akan menjadi soal. Jika kita merasa bahwa investasi yang kita berikan akan kembali dengan baik, maka lanjutkan saja.

Sadari betul-betul apa yang kamu inginkan dan apa yang menjadi batasanmu

Bagi saya, berhadapan dengan orang-orang yang tergolong sulit adalah sebuah tantangan dan juga kewajiban. Saya menempuh pendidikan keperawatan dan dipersiapkan secara sistematis untuk dapat berhadapan dengan orang-orang sulit. Setelah lulus pun, saya bekerja dan terus belajar untuk dapat berhadapan dengan orang-orang yang sulit.

Apa yang saya pelajari dari semua proses ini?

Menyiapkan diri dengan baik. Ya, ini adalah langkah pertama yang sangat vital untuk dapat berhadapan dengan orang yang sulit. Siapkan diri.

Dalam ilmu praktik komunikasi terapeutik, ada yang namanya tahap preinteraksi. Tahap ini dilakukan untuk mempersiapkan diri perawat atau therapist sebelum memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Pada tahap ini, perawat biasanya mengambil waktu sebentar untuk menyelidiki perasaan yang muncul, harapan dan berbagai macam hal yang kemungkinan dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pasien. So, tahap persiapan ini sangat-sangatlah penting.

Ketika berhadapan dengan orang yang sulit, tahap persiapan ini pun sangat penting untuk dilakukan. Kita perlu menyadari betul-betul mengapa kita harus berhadapan dengan orang yang sulit ini. Mengapa ? dan apa untungnya?.

Tidak hanya itu saja, kita pun harus menyadari perbedaan yang kita miliki jika dibandingkan orang yang ‘sulit” ini. Sebagai contoh, kita adalah orang sangat menghargai komunikasi, dan kita berharap untuk dapat mencoba untuk berkomunikasi terlebih dahulu dengan orang yang ada di hadapan kita saat ini. Sedangkan orang yang sulit, yang menjadi subjek pemikiran kita ini sama sekali tidak menghargai komunikasi. Bagaimana kita dapat berhadapan dengan orang seperti ini? Seberapa jauh kita akan mentoleransi apa yang dilakukan oleh orang ini?

Mencoba, itu adalah langkah yang ingin kita lakukan.

Jika kita sudah mencoba, dan mencoba. Tapi, tidak ada hasil sama sekali, maka ini adalah saatnya untuk “melihat kembali” alasan di balik upaya kita untuk bertahan saat ini. Mengapa?

Jika setelah semua alasan, dan pembelaan, kita masih terus bertahan untuk berhadapan dengan orang yang sulit ini, maka biarkan. Kita mungkin sedang ditutupi oleh keinginan kuat untuk merubah orang yang ada di hadapan kita saat ini. Harapan untuk merubah orang yang ada di hadapan kita ini, mungkin adalah harapan yang semu atau palsu, tapi tidak ada yang salah dengan harapan seperti ini. Semoga rasa sakit menyadarkan kita tepat pada waktunya.

Tokoh fiktif dalam kisah “Fifthly Shades of Grey”, Anastasia Steel, atau After dari “After Series’, Tessa Young memiliki kesamaan ini, keduanya mencintai orang yang sulit. Mereka memutuskan untuk tinggal dan tetap hidup dengan orang yang sulit dan pada waktu yang bersamaan sulit untuk dirubah. Awalnya, mereka pun memiliki harapan ini, harapan untuk merubah orang yang mereka cintai. Tapi, semakin ke sini, cerita menunjukkan bahwa merubah orang lain itu adalah usaha yang mustahil. Hanya orang yang bersangkutan yang dapat merubah dirinya sendiri, dan itu memerlukan waktu yang “lama”.

Keduanya, baik Anastasia atau Tessa sama-sama pernah merasa sakit dan kecewa dengan keputusan mereka. Mereka bahkan pernah begitu terluka dan gagal, tapi jalan yang sama tetap mereka pilih, dan setiap jalan selalu diiringi dengan tanggung jawab untuk menyelesaikan semua keputusan yang diambil sampai tuntas. Kisah-kisah dari kedua jenis novel fiktif yang berbeda ini menunjukkan bahwa orang yang memutuskan untuk mencintai dan bertahan dengan orang yang sulit memiliki kesamaan ini, mereka sadar dengan apa yang mereka lakukan. Mereka bahkan menguji kesadaran dan keinginan mereka ini sepanjang cerita.

Yeap, mereka memutuskan apa yang mereka inginkan. Mereka memutuskan untuk lanjut dan berjuang dengan orang yang sulit ini.

Baca juga: AFTER Series karya Anna Todd: Toxic Relationship yang Berujung pada Pemulihan dan Penemuan Diri Sendiri

Manfaatkan rasa ingin tahu untuk mencari jawaban “Mengapa”

Salah satu hal yang membuat manusia hidup dan bertahan adalah kemampuannya untuk belajar. Belajar dari pengalaman, dari lingkungan tempatnya berada, dan dari orang lain.

Saya rasa, ini juga adalah salah satu alasan mengapa banyak orang bertahan dengan orang yang sulit, selain karena ‘suatu keuntungan’ yang mereka dapatkan, adalah ini, rasa penasaran. Rasa penasaran atau keingintahuan. Rasa penasaran ini membuat seseorang dengan sangat bersemangat mencari alasan dan jawaban dibalik berbagai macam dan jenis pertanyaan yang muncul sebagai reaksi dari keputusan untuk mau menerima orang yang sulit. Saya menemukan pola yang sama dalam kisah Anastasia Steel. Ia berusaha untuk mencari alasan mengapa Mr. Grey dapat melakukan tindakan-tindakan brutal dan abnormal yang dilakukannya selama ini. Meskipun jalan untuk menemukan jawaban itu sangatlah sulit, tapi ia tetap ingin mencobanya dan, bertahan. Aksi mencoba-nya ini lahir dari keinginan yang kuat dan sangat clear, rasa penasaran.

So, pesan moralnya adalah, jika memang mencintai orang yang sulit itu adalah pilihan, maka gunakan saja rasa penasaran dan keingintahuan ini sebagai senjata untuk mencari jawaban dan bertahan dengan pilihan ini.

Saya ulangi sekali lagi, tidak mudah. Ini sungguh jalan yang tidak mudah. Tapi, kalau memang ini adalah pilihan, maka setiap pilihan selalu membawa kita pada dua hal, kelegaan dan tantangan.

Temukan “the soft spot” of him

Setiap kali wawancara atau konseling dengan pasien, secara terus menerus, saya akan mengingatkan diri sendiri untuk melakukan ini, mencari “the soft spot of my patient”. Nama lainnya adalah “peluang” untuk masuk dan memahami. Banyak orang berpikir bahwa dengan menemukan peluang ini, kita dapat masuk, menguasai dan menggerakkan orang yang ada dihadapan kita dengan mudah. Benar, tapi juga tidak demikian. The Soft Spot ini digunakan untuk memahami, untuk mengerti dan selanjutnya membantu pasien untuk memahami dan untuk mengerti apa yang terjadi pada dirinya sendiri (pasien). Masuk terlalu jauh dan mengacaukan the soft spot ini tidak diperbolehkan secara etik.

Lanjut, the soft spot ini memang sangat perlu dicari dan ditemukan segera. Segera karena hal ini berhubungan dengan lamanya penderitaan dan rasa sakit yang akan dirasakan ketika berhadapan atau bergumul dengan orang yang sulit ini.

The soft spot masing-masing orang itu berbeda-beda, sebagai contoh adalah kisah yang terjalin antara Anastasia Steel dan Christian Grey atau Tessa Young dan Hardin Scott. The soft spot tokoh laki-laki dalam dua kisah ini sama, wanitanya. Baik Ana dan Tessa adalah orang-orang yang harus berhadapan dengan pasangan yang sulit, tapi keduanya juga adalah obat dan the soft spot untuk laki-lakinya. The twist ini sangatlah menarik, dan ini menjaid daya Tarik tersendiri dari novel fiksi yang mengandung kisah tentang keduanya. Sebagai pembaca, saya menjadi sangat bersemangat untuk membaca cerita ini sampai habis karena twist ini.

So, pada akhirnya…

Berhadapan dengan orang yang sulit dan bahkan mencapai titik mencintai bukanlah hal yang mudah tapi bukan berarti tidak mungkin. Upaya untuk menerima dan bahkan mencintai orang yang sulit ini harus benar-benar lahir dan muncul dari dalam diri orang yang memang berniat untuk berhadapan dengan subjek (orang yang sulit dan susah). Ketulusan adalah syarat utama juga. Jika tidak lahir dengan niat yang tulus, tidak akan banyak orang bertahan dengan prosesnya. Setelah keinginan tulus ini lahir, disertai dengan kesadaran yang utuh, maka selanjutnya adalah tentang trial and error dan berjuang menemukan cara yang tepat.

Sekali lagi, apa yang saya tuliskan di sini tidak semudah praktiknya, but trust me, I have tried it so many times dan banyak yang berhasil.

And now, your turn.

Catatan di balik layar:

Saya menulis tulisan ini sambil mendengarkan lagu dari EPIC HIGH yang berjudul End of the World (Feat. GSoul). Saya termasuk penggemar penyanyi dari Korea Selatan ini. Selain karena sosok salah satu anggotanya, Tablo, yang saya anggap cerdas dan rendah hati, saya sangat menikmati karya-karya mereka yang secara konsisten menyentuh isu-isu tentang kesehatan mental, dan fenomena-fenomena sosial di masyarakat. So, tidak melulu soal cinta-cintaan saja. Go! check their new released album!

Saya juga adalah penggemar suara emas, GSoul. Beberapa lagu yang dibawakannya sungguh sangat menyentuh, contoh lagunya berjudul “YOU”.  Ia memiliki keunikan vocal yang membuat pendengarnya langsung click dengan lagu yang ia bawakan, meskipun kadang lagu yang ia bawakan memiliki Bahasa yang sungguh tidak dapat saya pahami.

Tulisan ini juga terbit berkat buku-buku yang selesai saya baca dalam beberapa waktu ini. Buku pertama adalah buku yang berjudul “How to Hug a Porcupine: 101 Ways to Love the Most Difficult People in Your Life”. Buku yang kedua adalah novel yang berjudul “Fifthly Shades of Grey” karya E.L James. Buku kedua adalah buku yang sangat kontroversial, dan memang adalah buku yang hanya boleh dibaca oleh mereka yang berusia setidaknya 18 tahun ke atas. Tapi, saya melihat buku ini dari kacamata yang berbeda. Saya menemukan permata dalam cerita cinta fiktif yang terjalin antara Anastasia Steel dan Christian Grey. Salah satunya adalah tentang pelajaran untuk berhadapan dengan orang yang sulit. Kedua buku ini berhasil membuat saya sangat ingin menulis dan menerbitkan tulisan ini.

Terakhir, setelah tulisan ini selesai, saya memerlukan waktu yang lama untuk menerbitkannya. Ada banyak pertimbangan dan juga alasan untuk tidak menerbitkan tulisan ini. But, akhirnya saya memutuskan untuk menerbitkannya, dengan alasan yang sangat sederhana “bodo amat!”.

So, Bagaimana pendapatmu tentang tulisan ini, dan isinya?   Semoga bermanfaat, dan as always salam hangat dari saya.

10 pemikiran pada “Mencintai Orang yang Sulit, Mungkinkah?

  1. Berkali-kali seolah saya menghadapi orang-orang sulit ini, tentu penilaiannya akan sangat subyektif, dan mungkin bagi orang lain mungkin bukan orang sulit, tergantung keakuan, nah pada suatu waktu, orang orang sulit ini saya pikir bisa menjelma diri kita sendiri. Saya baca tulisan kak Ayu, ikut melihat kelain sisi untuk menghadapi orang-orang sulit (versi saya) yang ketika dijalani, sepakat sekali ” menimbulkan kelegaan dan memunculkan tantangan”.

    Disukai oleh 2 orang

  2. “Kalau sulit, ya jangan dilanjutkan! Tinggalkan dan jangan membuang-buang waktu dan energi untuk berjuang untuk orang-orang sulit ini!”

    “Buang-buang waktu saja!”

    Saya termasuk orang dalam kategori statement di atas; mungkin karena saya termasuk easy going person ya, jadi maunya tak banyak buang-buang waktu. Dan itupun saya sampaikan ke orang lain, jika mungkin orang lain merasa tak nyaman dan menganggap saya orang yang sulit ya sudah, tinggalkan saya 😀

    Perlu ketulusan untuk mencintai orang yang sulit. Perlu ketulusan juga untuk tidak perlu mencintai orang yang sulit.

    Life goes on and moving fast 🙂

    Terima kasih untuk sharingnya, mbak Maria.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Setuju bangat Kak Maria, mencintai org yg sulit itu adalah tantangan dan ada rasa lega saat mendekati apa yg kita harapakan terjadi yaitu perubahan org yg kita cintai.. sukses terus kakak

    Disukai oleh 1 orang

  4. Hi, Kakak Lesta
    Apa kabar ?

    Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan pesan. Benar, perubahan menuju yang terbaik. Sukses untuk kita semua.

    Suka

  5. Saya suka ini, “Perlu ketulusan untuk mencintai orang yang sulit. Perlu ketulusan juga untuk tidak perlu mencintai orang yang sulit”.

    Semuanya tergantung pada pilihan, dan pertanggung jawaban kita.

    Terima kasih karena selalu setia mampir dan meninggalkan komentar, Pak. Saya sangat tersanjung.

    Suka

  6. Tergantung. Itu jawaban yang bisa saya berikan. Pendapat seseorang tentang sesuatu, sangat “tergantung” dari mana yang Ia anggap penting, mana yang Ia anggap berarti dan mana yang Ia anggap bernilai.

    Hemat saya demikian, Kak.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar