Malam itu, pikiran saya sudah sangat penuh. Pekerjaan demi pekerjaan mengalir tanpa henti, dan tubuh saya sudah sangat tidak kuat untuk menahan beban. Kita bercerita lepas seperti biasanya, meskipun pikiran saya sudah berlari ke sana-kemari. Lalu, keesokan harinya ketika bangun tidur dan membuka mata. Pesan yang kau kirimkan meruntuhkan semangat pagi itu. Saya sedih, dan pada saat yang bersamaan saya tidak tahu mengapa saya bersedih. Hari itu adalah tanggal tujuh belas februari.
…
Pertama, saya pernah sangat tergoda untuk berpikir bahwa dirimu adalah milik saya. Sungguh milik saya. Tapi kemudian, saya cepat-cepat merubah pikiran ini. Kau bukan milik saya dan demikian juga sebaliknya.
Meskipun kita menjalin hubungan dengan status saling “memiliki”, tapi saya tidak ingin ada ikatan untuk saling “memiliki” sampai batasan yang tidak kita ketahui. Alasannya sederhana, ketika kita memutuskan untuk tidak saling memiliki, rasa sakit itu akan menyerang seumpama peluru, meluluhlantakkan apapun yang dilewatinya, dan saya adalah orang yang tidak sanggup menyelam untuk merasakan terpuruknya. Kau pun demikian.
Kedua, meksipun sulit untuk mendeskripsikan hubungan kita, tapi saya tahu bahwa kita saling menjaga satu sama lain. Hubungan kita didasarkan oleh rasa nyaman dan komunikasi yang baik. Tapi, satu syarat dari hubungan yang tidak kita miliki, dan itu adalah cinta.
Pada usia kita, cinta nampak tidak begitu penting. Tapi, cinta itu adalah syarat hubungan baik, yang sayangnya kita tolak untuk akui.
Sejak tahu mengenai keadaan ini, saya sudah bisa memprediksi satu dua langkah ke depan. Kita tidak akan bertahan lama dalam ikatan apapun yang akan kita jalani, diluar sebagai sahabat yang hanya mementingkan keinginannya masing-masing. Apapun yang kita jalin saat itu, hanya akan berkembang sampai tahap paling sederhana, persahabatan.
Ketiga, apapun yang terjadi, “pada dasarnya kita adalah teman baik”. Saya tidak tahu, sudah berapa lama kita menjalin hubungan paling dasar ini, menjadi sahabat untuk satu sama lain. Tapi yang pasti, kita saling menjadi sahabat baik untuk masing-masing.
Meskipun demikian, saya tidak pernah bisa menyimpulkan siapa dirimu dan sebaliknya kau pun demikian. Kita masih terus bertumbuh menjadi diri kita sendiri, dan pertumbuhan itu membuat kita tidak pernah bosan untuk bekerja mencapai potensi diri kita masing-masing. Kita sudah berjalan sendiri-sendiri, meskipun saling berbagi temuan-temuan kita seiring berjalannya waktu. Kita adalah sahabat baik, untuk kita.
Lalu, pesan pagi itu datang.
Seumpama bom yang menghancurkan tembok pertahanan tempur sebuah batalion. Begitulah rasanya saat itu.
Masih terasa linglung karena kurang tidur, dan beban berat yang datang karena pekerjaan yang datang silih berganti. Membaca pesanmu pagi itu, membuat saya harus mundur kebelakang sedikit karena tidak sanggup menahan bebannya.
Pagi itu, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Saya bersedih, dan tidak menduga mata saya pun basah karenanya.
“…for the first time in a while, because of you…
I feel miserable! and when i realize it, you just broke my heart into pieces. Absolutely, into pieces”
Air yang mengguyur tubuh saya pagi itu, saya persembahkan untuk mengalirkan rasa sedih yang saya rasakan. Saya bersedih. Tapi, pada saat yang bersamaan, saya pun tidak memiliki jawaban mengapa.
…
Pertama, adalah sebuah kebohongan untuk mengatakan bahwa kita tidak saling memiliki satu sama lain. Semua rasa khawatir itu lahir dari rasa memiliki yang kuat. Rasa cemburu itu pun lahir dan bermuara pada kubangan yang sama, rasa saling memiliki.
Kedua, kita bukannya tidak sadar bahwa kita berada di titik, saling mencintai. Tapi, kita memutuskan untuk menyimpan cinta itu rapat-rapat dan tidak mengungkapkannya dalam kata-kata, suara atau tulisan. Bahasa cinta kita berbeda, dan kita sangat sadar dengan hal itu.
Rasa rindu itu tidak lahir dari perasaan yang sederhana saja. Rasa rindu itu adalah produk dari perasaan yang sangat rumit dan tua, itu adalah cinta.
Kita hanya dua orang dewasa yang memiliki ego yang sangat tinggi. Bahkan cinta pun tidak mampu menundukkan tegaknya rasa angkuh kita.
Ketiga, kita tidak pernah benar-benar menganggap diri kita sebagai sahabat untuk satu sama lain. Sama seperti dirimu, saya memimpikan masa-masa membawa hubungan ini sampai pada titik, persatuan yang sah di mata Tuhan dan hukum. Tapi, kembali lagi, keangkuhan diri berdiri tegak bahkan di atas perintah-perintah Tuhan.
Pada akhirnya, kita hanyalah manusia dengan segala mimpi dan keangkuhannya.
Saya duduk di sini, sembari memeluk diri saya sendiri. Bukan salahmu ketika saya berada di keadaan seperti ini. Saya menganggap apapun yang kita lalui selama ini adalah berharga. Sedalam rasa itu, sedalam itu juga rasa sakitnya.
Jika saya merasakan sedih dan terluka. Terkapar tak berdaya di sudut ruangan ini. Tiada lain dan tiada bukan, artinya rasa egois dan angguh yang saya miliki sudah tiada.
Sekarang hanya tinggal saya.
….
Catatan di balik layar:
Sama seperti tulisan saya yang berjudul “Kedai Kopi dan Pikiran tentang Melepas Pergi”, kali ini saya pun menuliskan sesuatu yang bukan termasuk jenis tulisan yang style-nya saya. Tantangan tentu saja ada, tapi tantangan adalah sesuatu yang sangat menarik perhatian saya akhir-akhir ini. Saya ingin tahu, dan penasaran dengan kemampuan saya untuk menulis hal-hal yang ‘berbeda’ dari biasanya.
Tulisan saya tentang kedai kopi mendapat sambutan yang tidak saya duga. Menarik!
Tulisan kali ini, lahir atas inspirasi dari lagu milik Afgan yang berjudul “Say I am sorry”. Lagu ini nikmat! Saya mendengarkannya lebih dari dua minggu ini tanpa bosan. Lalu, iseng-iseng, saya lalu merubah lirik lagu ini menjadi sebuah tulisan seperti ini. Selain lagu, saya pun terinspirasi dari tulisan yang berjudul, “Trauma does not Exist” dari buku karya Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga, “The Courage to be Disliked”.
Meskipun tema tulisan saya tidak seperti biasanya, tapi gaya menulis saya masih sama. Saya masih kesulitan untuk menuliskan sesuatu yang berada jauh dari diri saya. Saya senang mengumpamakan diri saya sendiri sebagai subjek utama cerita. Ini mungkin adalah kebiasaan. Sebuah kebiasaan yang lahir dari praktik pelayanan keperawatan jiwa yang saya lakukan. Saya masih harus berusaha untuk menciptakan gaya tulisan yang berbeda. Masih harus belajar!
Well, semoga tulisan ini bermanfaat untuk mereka yang membacanya. As always, salam hangat dari saya.
Sincerely, Ayu.
Asyik tulisannya, mbak Maria. Sedikit berbeda bobotnya jika dibandingkan tulisan sebelumnya tentang Kedai Kopi yang lebih ringan.
Dengan penggambaran dan deskripsi poin per poin jelas sekali itu memang gaya penulisan mbak Maria yang sebenarnya. Mungkin karena memang latar belakang penulis yang berkaitan dengan pelayanan keperawatan jiwa. Insight-nya menarik sekali.
Lanjut, mbak 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih…
Aaaa..terharu banget membacanya. Siappp lanjut!!!
SukaSuka
antara memiliki dan tidak memiliki, ada keraguan di sana.
>.<
SukaDisukai oleh 1 orang
Hum…, saya rasa benar. Keraguan adalah salah satu pesan yang ingin disampaikan oleh tulisan ini.
SukaSuka
Ini bagus, saya bisa merasakan betul emosi yang ingin disampaikan dan ternyata punya latar belakang pekerjaan keperawatan jiwa jadi sangat hati-hati dengan detail penggambaran emosinya ya, suka sekali!
SukaDisukai oleh 1 orang
bagaimanakah caranya untuk berkomitmen dengan ‘untuk tidak berkomitmen’?
baper aku bacanya mbak wkwk
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih banyak Kak..
Semoga bisa menikmati tulisan sederhana ini, dan mengambil pelajaran darinya.
SukaSuka
Kesimpulan yang menarik Kak
Haaa…yuhuuu baperrr…
SukaDisukai oleh 1 orang