Lelah itu sudah menjadi makanan sehari-hari untuk menutup hari. Bukan hanya lelah fisik, tapi juga emosional bahkan spiritual. Sulit sekali untuk tidak mengeluh dan manjadi marah pada saat-saat seperti ini.
“Saya menyerah!”, saya berteriak pada dunia dan mengumumkan,
“Saya lelah!.”
“Saya lelah!”
Kelelahan ini terjadi paling banyak karena ketidakpedulian (atau mungkin terlalu peduli) dan keegoisan diri yang tingginya lebih dari tinggi badan saya.
Rasa lelah ini bertransformasi menjadi rasa marah, mudah sakit hati, dan “senggol bacok” dengan orang lain. Sekali lagi, orang lain.
Memangnya manusia mana yang mau dan rela mengalahkan egonya untuk menyalahkan atau melukai dirinya sendiri ? Ada memang, beberapa. Tapi, bukan saya.
Kata orang,
“Kemarahanmu pada orang lain adalah cerminan dari dirimu sendiri yang kacau tidak terkendali”
“Rasa marah lahir dari keinginan pribadi yang tidak tercapai, yang kau lemparkan pada orang lain ..”
“Kemarahan itu tidak ada, yang ada adalah nilai tinggi yang kau letakkan pada objek penyebab rasa marahmu”, dan masih banyak lagi.
Yeap! That’s me! (dan, omong kosong!)
Ketika isi kepala ini hanya berkisar antara “dikejar-kejar” waktu, “fokus pada target, tidak peduli prosesnya”, “harus ada, harus ada!”, “Segera-segera!”, “Kerjakan, harus ada hasilnya!”, memangnya pertahanan diri mana yang tidak runtuh dan hancur.
Pada saat ini, saya biarkan diri primitif saya yang mengambil alih. Perkataan demi perkataan saya lontarkan tanpa filter, saya biarkan ekspresi rasa marah membuncah keluar dalam bentuk kata, suara bahkan laku.
Hasilnya?
Tidak ada! Yeap, tidak ada.
Tidak ada hasil yang berarti dari melemparkan rasa marah pada orang lain atau pada lingkungan. Malah seperti bumerang, energi menyengat itu kembali dan menghantam saya. Hukum bahwa “masing-masing jiwa itu terkoneksi satu dengan lainnya” membuktikan dirinya lagi.
“Saya lelah!”, seruan itu lama-lama menjadi suara yang sayup-sayup tidak berarti, hilang dan tenggelam.
Apa yang tersisa ?
Hanya saya dan setumpuk masalah yang menuntut untuk diselesaikan. Pada akhirnya, kemarahan itu sia-sia belaka, dan tumpukan beban itu akan tetap berada di sana menunggu untuk dipindahkan, diurus dan dikerjakan.
….
Setelah membaca tulisan sederhana ini, apa yang kamu pikirkan?
…
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat dan memberi sedikit pelajaran.
Sincerely, Ayu.
Saya jadi berpikir, tidak apa-apa menjadi lelah, tapi jangan lelah mu kemudian menyakiti orang lain,
ahh istilah senggol bacok memang cocok untuk suasana Hari ini, tetap kuat Frani, besok masih panjang
SukaDisukai oleh 1 orang
Kayaknya ngak ada lelah yang ngak menyakiti atau merepotkan orang lain, Lan haaa
Ketika kita kerja team, jika ada yang istirahat karena kelelahan, maka dia relay pada kerja team-nya yang lain untuk melanjutkan dan mencapai tujuan.
Istilah “merepotkan orang lain” itu pasti dan mau ngak mau harus kita terima sebagai bagian dari masa-masa yang harus kita jalani.
Haaaa
SukaSuka
Jadi ingat analogi Hapsari ya 😅
SukaDisukai oleh 1 orang
Cara terbaik menikmati lelah adalah dengan menerimanya lapang dada. Bukankah lumrah bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas. Tak apa lelah, wajar.
Mungkin lelah adalah cara tubuh secara alami yang ingin menyampaikan pesan kepada kita bahwa kita ‘perlu mengambil jeda’.
SukaDisukai oleh 1 orang
Haaaa 🤣
SukaSuka
Cakeeppp…
Ambil jeda. Itu dia kuncinya 👍
SukaDisukai oleh 1 orang
embrace it … then let it go 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Sure, Mbak.
That is what I have been learning for the past days 😂
SukaSuka
Aku akhir-akhir ini merasa lelah, pada diri sendiri wkwkwk
SukaDisukai oleh 1 orang
Saya pun demikian, Mas.
“Ambil jeda”, seperti saran dari mas Ainin itu sangat membantu.
Istirahatkan badan, pergi jalan seorang diri entah ke mana. Biarkan diri mengambara sendiri, dan istirahat.
SukaSuka
Sangat wajar kak, kalau kita lelah. Kalau sudah lelah ingin rasanya meluapkannya. Namun, menurut saya kak, jangan meluapkannya ke orang lain.
Sekedar sharing kak, saya sekarang “lelah” karena kehilangan orang yg saya sayang. Saya meluapkannya dengan berdiam diri di kamar dan mencari tempat yg bagus. Namun, itu saja tidak cukup. Saya mulai mendapatkan semangat melalui teman-teman yang selalu menghibur saya.
Salam Kak 😊
SukaDisukai oleh 1 orang
ah bagus sekali diksi tentang lelah nya. Setuju dengan kalimat ini, “Kemarahanmu pada orang lain adalah cerminan dari dirimu sendiri yang kacau tidak terkendali”. Terkadang kita seenaknya berteriak tanpa sadar sebabnya adalah diri sendiri yang sedang bermasalah ya? Lantas bagaimana jika lelah? saya memilih mengubah prespektif dan bersyukur saja. Saya masih diberi waktu untuk merasa lelah dan marah, artinya tubuh sehat ini masih bisa protes bahwa dirinya butuh healing.
SukaDisukai oleh 1 orang
Hi, Kak Enno Rani. Benar, lelah dan selanjutnya marah, lalu meluapkan ke orang lain itu adalah tindakan yang sangat tidak tepat. Memangnya orang salah apa? Itu lagi kan?
Semoga kita bisa lebih mengendalikan diri kita, dan bersikap bijaksana dengan emosi apapun yang kita rasakan.
Saya ikut merasakan sedih atas kehilangan orang yang Kakak sayang. Perasaan yang timbul karena kehilangan ini, saya rasa adalah yang paling membuat luka dan lama penyembuhannya. Saya senang, Kakak akhirnya menemukan kelegaan dari dukungan dan semangat dari teman-teman. Terima kasih sudah berbagi, Kak.
SukaSuka
Hi, Mbak Prahmahita. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan pesan. Terima kasih juga sudah sharing pengalamannya ketika lelah melanda. Sangat setuju dengan ini, “diberi waktu untuk merasa lelah dan marah, artinya tubuh sehat ini masih bisa protes bahwa dirinya butuh healing”. Memberi waktu, dan membiarkan tubuh beristirahat, itu kuncinya.
SukaDisukai oleh 1 orang