Seorang Wanita dan Kisah Sejumput Rindu


Memaksakan diri untuk memusatkan perhatiannya pada layar komputer yang ada di hadapannya. Wanita itu gelisah. Sudah tidak terhitung berapa kali ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela kantornya. Tubuhnya di sini, tapi tidak dengan pikirannya. Hanya Ia dan Tuhan saja yang tahu ke mana pikirannya melayang dan berlabuh.

Rindu, kata ini terlalu sering singgah dalam benak wanita berkemeja putih-penyuka sepatu olahraga, yang saat ini sedang duduk di pinggiran meja sambil memegang gelas kopi di tangannya. Itu adalah kopi keduanya hari ini, dan saat ini tidak terhitung lagi sudah berapa kali ia mengalihkan pandangan matanya ke luar jendela. Ekspresinya sulit di baca karena tertutup oleh masker, tapi tidak dengan tatapan matanya. Kacamata beningnya itu tidak dapat menutupi guratan-guratan hasrat yang mengalir bening dari tatapan matanya.

Pernah suatu ketika ada yang bertanya soal kegemarannya menatap ke luar jendela, “Apa yang terjadi di luar sana?”

“Tidak ada” jawabnya singkat.

Ia menjawab dengan jujur, dan memang tidak ada yang terjadi di luar sana. Gemuruh dan perang itu terjadi di dalam sini, di dalam dirinya. Setiap nadi dalam tubuhnya berteriak kencang menyerukan kata yang sama, “rindu”.

Baca juga: Rindu

Perusahaan yang bekerja di bidang komunikasi melayangkan kampanye mereka tentang “menghubungkan yang jauh, dan merangkul semua” secara daring. Tapi, semua yang dikatakan di media itu bohong!. Pertemuan yang dilakukan secara daring itu, memberi efek yang sebaliknya, yaitu mempertajam rasa rindu.

Ia rindu, dan rasanya sudah mencapai titik setengah mati. Itulah alasan mengapa melihat ke luar jendela penjaranya, adalah jawaban atas apa yang Ia rasakan pada saat ini. Lucu sekali rasanya.

Ia menyeruput kembali kopi dari gelasnya. Rasa rindu ini sudah sangat menekannya, rasa kopi yang ada dalam gelasnya sudah tidak lagi sepahit yang biasanya. Ia menyerah kalah pada bagian ini.

Ia menghela nafas dengan berat, masih sambil melihat ke luar. Ia mengutuk, tapi juga bersyukur karena kaca bening yang membatasinya dengan dunia luar. Setidaknya, Ia masih bisa melihat ke luar, dan mereka yang di luar tidak akan tahu apa yang terjadi pada mereka yang di dalam.

Rasa iri menjalar perlahan mulai dari sudut-sudut hatinya. Ia iri pada orang-orang yang lalu lalang di jalan. Ia iri pada hangatnya sinar mentari yang dapat dengan bebas mereka rasakan, dan kehangatan yang tidak ia miliki. Pikirannya melayang pada masa-masa lalu, pada kenangan yang hanya tersisa pada ingatannya saja. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang bisa menebak isi hatinya yang tenang dan sedalam samudera. Pada palung-palungnya Ia menyimpan setiap rahasianya.

Wanita ini memejamkan matanya sejenak, pikirannya melayang pada bayang-bayang ingatan masa lalu yang belum lama berlalu. Percakapan-percakapan panjang pada malam-malam yang singkat. Cuaca yang dingin tapi hati yang hangat. Wanita ini tenggelam pada detik-detik masa lalu, yang padanya Ia menggantungkan harapannya hari ini.

Rasa rindunya semakin dalam, dan tubuhnya terpasung oleh keinginannya untuk bertemu dengan subjek yang ada di dalam pikirannya. Dunia tidak mengijinkan ia bersentuhan dengan subjek yang ada dalam pikirannya. Dadanya sesak.

“Rindu itu berat!” demikian salah satu kutipan terkenal yang berasal dari salah satu novel yang ia sukai. Ia tidak banyak berdebat dengan penulis karena perkataan tersebut. Ia menyadari bahwa apa yang ditulis tersebut lahir dari pengalaman nyata yang tidak dapat ditawar-tawar.

Ia hanya ingin menambahkan, “Rindu itu berat, dan semakin bertambah berat dengan hadirnya ingatan-ingatan yang dalam dan tertancap erat pada setiap hembusan nafas pemiliknya. Persoalan rindu itu, persoalan ingatan!”

Pikiran ini membuatnya ingin menghapus ingatan-ingatan yang ia miliki. Tapi, ia terlanjur tahu kecenderungan otak manusia. Ketika ancaman untuk menghapus apa yang ada di sana datang, maka Ia akan bergegas menyimpannya dan memeluknya erat-erat.

Lalu, pikiran seperti ini muncul lagi,

“Apa jadinya manusia tanpa ingatan-ingatannya? Manusia, bukan manusia tanpa ingatannya”

Ia kembali menghembuskan nafas dengan berat. Pikiran-pikirannya sendiri yang memberatkannya. Helaan nafasnya pun semakin panjang.

Ia lelah.

Rindu itu ternyata tidak hanya berat, tapi juga melelahkan.

Ia lalu berdiri, berjalan sedikit mengitari ruang kerjanya yang kecil. Lalu berhenti meletakkan gelas kopinya di atas meja. Ia kembali pada kenyataan.

Rindu itu, hanya sebatas ini saja. Biarkan Ia mengalir, lepas dan menjauh. Saat ini, kelanjutan hidup ratusan orang diletakkan pada keputusannya untuk melepaskan rindu atau mempertahankannya. Ia memilih yang lainnya.

Ia kembali bekerja.

Catatan di balik Layar:

Saya senang menulis tentang emosi dan melihat bagaimana sejumput emosi dapat mempengaruhi pikiran dan tindakan seseorang. Bagi saya, pengetahuan yang lahir dari pengamatan akan aktivitas emosi seseorang itu, luar biasa!

Tulisan kali ini pun demikian, lahir dan tercipta dari pengamatan saya akan emosi, terutama rasa rindu. Saya penasaran, sedalam apa emosi dapat masuk dan menginspirasi seseorang. Terlebih saya.

Emosi yang kita rasakan itu berharga, dan sungguh sangat bernilai. Saya ingin menghargainya dan memanfaatkannya untuk tujuan yang baik. Saya tidak ingin menganggapnya tidak ada, atau membuangnya ke dalam pikiran bawah sadar saja.

Emosi itu bernilai karena pesan yang dibawanya. Jika itu adalah rindu, maka koneksi adalah jawabannya.

Semoga tulisan ini bermanfaat, and as always salam hangat dari saya.

11 pemikiran pada “Seorang Wanita dan Kisah Sejumput Rindu

  1. Terima kasih, Kak Gerry.

    Ada Kak! Rindu itu obatnya adalah koneksi atau terhubung dengan subjek yang kita rindukan. Entah melalui doa, atau melalui kontak langsung heee

    Banyak orang bilang seperti ini pada saya, dan benar adanya. Saya sudah beberapa kali membuktikannya.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar