(Review Buku): “Childfree and Happy”, karya Victoria Tunggono


“Kebanyakan orang bilang hidup belum sempurna kalau belum punya anak; perempuan belum sempurna kalau belum melahirkan. Tapi saya tahu, hidup saya sudah sempurna tanpa harus ada tambahan suami ataupun anak”

Victoria Tunggono dalam “Childrfee and Happy”, pada halaman pengantarnya.

Pilihan hidup untuk tidak menikah, sudah banyak saya temui dalam hidup sehari-hari. Tapi, saya tidak pernah memikirkan bahwa pilihan hidup untuk tidak memiliki anak atau childfree ternyata ada dan bahkan memiliki komunitas-komunitas sendiri di Indonesia.

Saya hidup dan tinggal di lingkungan yang kebanyakan anggota komunitasnya adalah orang-orang yang memilih untuk tidak menikah (hidup selibat). Bukan hanya karena orang-orang ini memutuskan untuk menjadi Biarawan atau Biarawati, tapi juga memang karena orang-orang ini memilih untuk tidak menikah dengan alasan-alasan personalnya. Kalau pun harus dipaksakan untuk menyematkan status menikah, mereka adalah orang-orang yang menikah dengan pekerjaannya atau hal lain selain menjadi suami atau istri orang.

Memilih untuk tidak menikah pada lingkungan sosial seperti di Indonesia adalah keputusan yang luar biasa. Demikian juga dengan memilih untuk tidak menikah (childfee). Untuk alasan ini, saya sangat kagum dengan Kak Victoria Tunggono dan pilihan hidupnya. Keputusan ini bukan keputusan biasa dan mudah. Ini merupakan keputusan yang sulit, berat dan tentu saja dilandasi oleh berbagai pertimbangan dan pengalaman.

Melalui buku Kak Victoria Tunggono ini, saya dapat memetik pelajaran penting yang akan saya bagikan dalam tulisan ini.

Hidup adalah pilihan, dan adalah kumpulan dari pilihan-pilihan

Hidup adalah kumpulan dari pilihan-pilihan yang secara sadar (atau tidak) diciptakan oleh orang yang bersangkutan. Hidup adalah pilihan. Seorang manusia, memutuskan untuk menjadi a,  b atau c, itu semua adalah pilihannya, keputusannya.

Jalan hidup seseorang pada saat ini, adalah jalan untuk mempertanggungjawabkan keputusan-keputusan tersebut. Apapun yang terjadi pada saat ini, adalah harga yang harus dibayar atas keputusan-keputusan yang sudah dibuat pada masa-masa lalu atau masa-masa sebelumnya.

Dalam buku ini, saya sering menemukan kata-kata seperti, “Saya memilih….”, “Saya memutuskan…”. Kata-kata ini menunjukkan bahwa memang buku ini ditulis dengan dan memang berdasarkan oleh pengalaman pribadi penulis.

Saya menghargainya.  

Apa yang kamu inginkan?

Soal menikah atau tidak menikah, punya anak atau tidak punya anak, tidak kalah pentingnya dengan pertanyaan-pertanyaan ini,

“Apa yang sebenarnya kamu inginkan?”

“Apa yang kamu inginkan dengan hidupmu?”

“Bagaimana kamu ingin menjalaninya?”

Penulis menunjukkan kepada saya, kepada pembaca, bahwa ia sudah benar-benar tahu dan paham dengan pilihan hidupnya. Ia tahu dan sangat mengerti dengan apa yang benar-benar ia inginkan dengan hidupnya, dan bagi saya, inilah yang terpenting dan harus menjadi perhatian bagi kita semua.

Berkaca dengan pengalaman yang dialami penulis, saya pun kemudian melihat ke dalam diri. Saya mempertanyakan apapun yang menjadi pilihan saya. Saya merenungkan betul-betul apa yang saya inginkan dalam hidup. Meskipun belum sepenuhnya bisa saya temukan, tidak apa-apa. Saya masih sabar dengan prosesnya.

Bagaimana denganmu?

Please, be gentle to people

Be gentle to people. Siapapun dia dan apapun pilihannya. Be gentle! Masing-masing orang memiliki ceritanya sendiri, alasannya sendiri atau kisahnya sendiri. Untuk alasan ini, cobalah untuk belajar memahami dan kemudian mengerti.

Tidak perlu “iri” atau cemburu dengan pencapaian orang lain dalam hidup. Masing-masing orang memiliki jalannya sendiri. Ini semua adalah akibat dari keputusan apapun yang mereka buat dalam hidup, termasuk keputusan untuk menjadi childfree.

Buku ini memuat banyak sekali keluhan-keluhan yang dilontarkan oleh masyarakat tentang pilihan hidup childfree. Penulis dengan lugas, tegas dan sangat sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan ini satu demi satu. Saya terkesan. Gaya bahasa yang dipilih sangat sopan, dan mudah dipahami. Pembaca tidak akan mudah sakit hati karena jawaban-jawaban yang sudah diformulasikan dengan sangat cantik ini.

Cara penulis menjawab pertanyaan-pertanyaan ini pun membuat saya memahami bahwa beliau memang sudah melalui banyak hal. Sudah banyak jawaban-jawaban yang beliau lontarkan untuk mereka yang penasaran dengan pilihan hidupnya. Menarik.

Afterall,..

Buku ini, adalah buku yang sangat “berani”. Saya yakin banyak diskusi-diskusi akan lahir berkat buku ini. Tapi, sebelum itu terjadi, saya rasa bahwa buku ini memiliki tujuan untuk membuat mereka yang membacanya mengerti bahwa ada harga yang harus dibayar atas keputusan bebas yang diambil. Terlebih, setiap keputusan itu lahir atas banyak pertimbangan dan dipengaruhi oleh banyak faktor.

Selamat membaca, teman-teman. Good luck!

Sincerely, Ayu.

Buku ini diterbitkan oleh EABooks, dan lebih pentingnya, buku ini bisa dibeli atau diperoleh langsung dari penerbit @bukumojok.

Sedikit catatan di balik layar :

Kamu bisa menikmati tulisan singkat mengenai buku ini di Instagram saya, @mariafraniayu.

Saya menulis tulisan ini sambil mendengarkan lagu dari DPR IAN yang berjudul “Nerves”. Sejak pertama kali mendengarkan lagu ini, saya langsung jatuh cinta, dan seperti biasanya, saya akan memutar secara berulang-ulang sampai titik bosan. Love it! Go check it out!

Kamu juga bisa membaca tulisan saya di Blog Ikatan Kata, dengan judul “Saya Tidak Ingin Menikah”.

24 pemikiran pada “(Review Buku): “Childfree and Happy”, karya Victoria Tunggono

  1. Tulisan ini mengingatkanku, bahwa dulu aku juga pernah memutuskan hal itu. Karena menurutku, aku bukan orang yg dekat ( suka) dengan anak kecil.
    Tapi, Seperti komentku tentang tidak ingin menikah, hal ini pun berubah. Dan ketika aku diberi 4 anak, aku sempat tidak percaya dan menganggap Tuhan bercanda denganku karena mengingat bagaimana aku dulu😀

    Disukai oleh 1 orang

  2. Hidup manusia itu penuh dengan misteri ya, Mom. Tidak ada yang tahu beberapa tahun ke depan itu seperti apa, dan bahkan sedetik kemudian.

    Lalu, jika melihat pengalaman Mom. Ayu bisa berkata bahwa, jalani dan nikmati saja hidup ini dengan sebaik mungkin. Biar hidup memberikan kejutan-kejutannya sendiri.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Saya pribadi justru takut membaca buku-buku sejenis ini setelah punya anak. Takut merasa menyesal dengan keputusan yang diambil saat ini. Karena hidup melajang pasti menjanjikan banyak hal menarik untuk perempuan milenial, ketimbang menikah. Mungkin beberapa tahun lagi, ketika urusan anak sudah tidak dominan, barulah saya berani coba jajal. Thanks for review, btw 😀

    Disukai oleh 1 orang

  4. Terima kasih sudah mampir, Kak Prahmahita.
    Benar, baiknya jangan membaca buku ini pada saat sekarang untuk kakak haaa. Ini buku jelas akan membuat orang-orang yang sudah menikah dan punya anak, iri!
    Tapi, seperti yang ditulis dalam buku ini. Setiap pilihan, selalu ada harga yang harus dibayarkan. Memilih hidup tidak memiliki anak itu, memiliki sisi negatifnya juga.

    Saya menyarankan untuk mengambil sikap syukur atas apa yang kita pilih dalam hidup, Kak. Apapun itu, kita harus bersyukur. Tidak mudah membuat keputusan, dan lebih tidak mudah lagi menjalaninya hee

    Disukai oleh 1 orang

  5. Saya sendiri childfree, dan memang dari dulu tidak suka anak kecil. Sampai sekarang di usia 43, tidak pernah menyesali keputusan tersebut, bahkan kalau liat anak kecil menangis jejeritan di kereta atau di tempat umum selalu bersyukur dengan keputusan saya tersebut.

    Saranmu bagus. Respect other people choices, it’s not your life to live.

    Disukai oleh 1 orang

  6. Terima kasih sudah ikut berbagi, Kak.

    Sampai saat ini, saya masih tetap pada pendapat saya, Kak. Memberikan kebebasan bagi individu untuk menentukan pilihannya. Semoga dengan hal ini, dunia bisa menjadi lebih baik.

    Suka

  7. Dua adik saya ketika saya tanya, jawabnya hampir sama lebih enak tidak punya anak. Merawat, membesarkan, menyekolahkan, mencarikan pekerjaan dan belum yang lainnya membikin stres.

    Suka

  8. Saya rasa, kita sungguh perlu menerapkan sikap bersyukur dan bangga atas pilihan apapun yang sudah kita buat dalam hidup. Menikah atau tidak menikah, punya anak atau tidak punya anak. Setiap keputusan melahirkan tanggung jawab, dan tanggung jawab ini harus diselesaikan sampai akhir. Sampai habis.

    Hemat saya demikian, Pak.

    Beberapa teman juga menyerukan hal yang serupa. Semakin tahun, tantangan untuk mengasuh dan membesarkan anak semakin besar. Ini alasan yang membuat banyak orang memilih untuk tidak memiliki anak. Tidak ada yang salah untuk pilihan ini, dan tentu saja masing-masing pribadi yang memutuskan, yang akan bertanggung jawab atas keputusan yang mereka buat.

    Suka

  9. Jangan begitulah. Anak pun adalah anugerah. Harta dan kebanggaan. Mereka ada karena cinta kedua orang tuanya; komitmen yang terjalin diantara keduanya. Hemat saya demikian hee

    Suka

  10. Tahun 1976 lagunya rhoma 135 juta penduduk Indonesia, tahun 2022 sudah 270 juta. Laju Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali telah menghancurkan ekosistem bumi …

    Disukai oleh 1 orang

  11. Tidak bisa dipungkiri bahwa pertambahan jumlah penduduk memang menghancurkan ekosistem di planet ini. Selama ini, pengendalian penduduk (dengan menggunakan KB) memang adalah upaya yang bisa kita lakukan. Childfree mungkin adalah salah satu jalan juga dalam hal ini.

    Suka

  12. Suatu saat, saya pasti membeli buku Victoria Tunggono. Saya juga pro childfree karena berbagai macam alasan, termasuk kesehatan fisik dan mental. Selain itu, meskipun saya seorang guru, sejak dahulu saya merasa tidak akan mampu membesarkan apalagi mendidik seorang anak. Ini terdengar konyol, saya tahu, tapi saya bersyukur saat saya divonis mempunyai mioma uteri dan harus menjalani histerektomi. Justru setelah histerektomi, saya merasa semakin mantap dengan semua pilihan dan keputusan saya. Dan, saya setuju saat ada yang bilang, menjadi berbeda akan membuat kita dibenci. Saya melihat saat kakak dan kakak ipar saya memutuskan untuk childfree, ada yg pro dan kontra. As usual, yg kontra kerap bertanya lha, apa tujuan menikah kalau nggak mau punya anak, siapa yang merawat kalau tua nanti. Sebagai note, saja, saat ini kakak dan kakak ipar saya sudah hampir 20 tahun lebih di Amerika. Anehnya dulu kakak kerap bilang yg tidak mau punya anak itu egois ke saya. But, finally, dia sendiri juga pro childfree. Di Indonesia, memang masih sulit untuk berbuat “menyimpang” dari standar. Yang paling menyebalkan kalau segalanya dikaitkan dengan agama. Saya 43 tahun dan masih enjoy being single. Dan, saya mulai cuek jika ada yg judge tidak bakal menikah atau sudah terlambat. Setelah histerektomi, saya makin enjoy. Dan, saya juga masih ingin berkarier. Itupun saya masih gagal. Mama saya, sudah siap saat tahu kita berdua tidak mungkin meneruskan nama keluarga. Dan, well, mama jujur bilang lebih memilih hang out bersama teman-temannya daripada mengurus cucu-cucu. Maaf, bicara saya panjang. Saya bahagia bisa menemukan rubrik ini dan membaca testimony kalian. Salam dari Kediri.

    Disukai oleh 1 orang

  13. Hi, Kak Athena Liem.
    Terima kasih karena sudah mampir dan ikut meninggalkan jejak. Pendapat dan alasan masing-masing orang terkait childfree ini macam-macam. Yeap, pro dan kontra, datang tidak hanya dari kalangan kerabat, tapi bahkan sampai agama lo!
    Perdebatannya sungguh menarik untuk diikuti, termasuk reaksi-reaksi penuh drama yang merupakan bumbu-bumbu-nya.

    Afterall, saya merasa bahwa childfree atau tidak adalah sebuah pilihan, dan setiap pilihan pastilah dibarengi dengan tanggung jawab. So, choose wisely.

    Salam juga dari Banjarmasin, Kak. Semoga kakak selalu sehat selalu dan terus bersemangat untuk menyebar kebaikan.

    Suka

  14. Mungkin Victoria Tunggono bisa memberikan konsep hidup childfree secara menyeluruh setelah kita tua apakah harus masuk panti wredha, harta yang kita punya mau diapakan apakah perlu di lakukan pengurusan lewat pengacara dsb…

    Disukai oleh 1 orang

  15. Hi, Kak Endro.

    Untuk bagian ini, Penulis buku ini memang ada menyinggung sedikit mengenai rencana masa depan ketika mereka yang memilih childfree mencapai masa tua dan tidak berdaya lagi. Ya, mengenai masuk pandi werdha adalah salah satunya. Mungkin bisa membaca lengkap buku ini, Kak. Menarik sih!

    Suka

Tinggalkan komentar