Pertemuan Daring dengan Para Pembaca #Agnosthesia


Hari itu, Jumat 12 Maret 2021. Saya dan Mbak Yori atau Diana Mayorita, penulis buku Toxic Relationsh*t bertemu secara daring melalui zoom, untuk melakukan kegiatan “Meet the Authors” sebagai bagian dari perayaan ulang tahun Buku Mojok Group. Catatan ini adalah sedikit cerita yang mengingatkan saya betapa luar biasanya kolaborasi dan sharing ilmu, terutama hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan mental.

Beberapa Jam Sebelum Pertemuan Daring

Saya masih belum memahami sepenuhnya mengapa saya begitu sangat “cemas” dan tidak tenang, ketika saya diminta berbicara di depan orang lain. Saya senang bertemu dan bercakap-cakap dengan orang lain, tapi jangan direncanakan dalam waktu yang “terlalu lama”. Rasanya bagaimana begitu. Saya masih belum terbiasa.

Saya senang melakukan percakapan dengan hanya satu orang saja, atau orang-orang dalam jumlah yang terbatas. Tapi, entah kenapa dan mengapa, saya masih belum terbiasa untuk berbicara dengan orang banyak, terutama dengan mereka yang saya tidak atau belum saya kenal.

Mungkin, masalahnya adalah ini. Pertama, pembicaraan di lingkungan yang lebih luas itu membuat saya sangat excited! dan saya sebenarnya sangat menunggu kesempatan seperti ini muncul atau tiba. Kedua, saya tidak suka berhadapan dengan situasi yang tidak bisa saya kendalikan. Ini adalah bagian dari rentetan masalah-masalah kecemasan yang saya hadapi. Saya menyadari bahwa saya masih sangat lekat memegang posisi “kenyamanan” dalam diri saya. Kenyamanan adalah sesuatu yang sangat saya hargai, yang sangat saya lindungi.

Tapi, meskipun dua hal tersebut berkonflik di dalam diri saya, ada satu hal yang menjadi pegangan saya, yang membuat saya begitu tenang dan menikmati prosesnya. Saya sangat senang dan sangat menikmati diskusi-diskusi yang terjadi antara satu orang dan orang yang lain. Apalagi itu adalah soal nilai-nilai hidup dan pengalaman. Saya senang menjadi pendengar dan sangat senang melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh orang-orang yang bersemangat untuk berbicara atau mendiskusikan tentang apa yang mereka pahami.

Sebelum kegiatan pertemuan daring ini diselenggarakan, saya sudah menyiapkan sedikit presentasi yang bisa digunakan sebagai bahan diskusi. Saya menyiapkan bahan diskusi ini dengan penuh kegembiraan, terutama karena saya bisa belajar hal baru lagi.

Bagi yang ingin mengunduh secara gratis bahan diskusi tersebut, silakan untuk berkunjung ke akun Zenodo saya, dan mengunduh file yang berjudul “Mengenal Emosi dan Menghargai Diri Sendiri”.

Pertemuan Daring

Pertemuan Daring bersama Pembaca #Agnosthesia

Satu hal yang sangat saya syukuri dari pertemuan daring dengan para pembaca #Agnosthesia adalah, kesempatan untuk bisa mendengarkan, dan juga berdiskusi. Saya sangat menyukuri kerjasama yang dilakukan oleh saya dan Mbak Yori. Kami baru pertama kali bertemu, dan pada saat yang sama bisa bekerja sama untuk saling melengkapi jawaban masing-masing. Ini adalah sesuatu yang sangat saya nikmati dalam diskusi tersebut.

Pertanyaan demi pertanyaan datang dari pihak pendengar. Banyak diantaranya yang berbicara tentang emosi dan juga tentang menyelami diri sendiri. Saya senang mendengar cerita orang lain, dan pada sesi tanya jawab, pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan membawa saya pada satu hal penting, yaitu pengalaman manusia yang luar biasa unik, tapi juga dirasakan oleh mayoritas orang.

Beberapa poin penting yang ditanyakan oleh peserta, yang bagi saya adalah penting dibagikan di sini, saya catat dalam poin-poin berikut:

Menemukan ketenangan dalam hiruk pikuknya dunia

Keterampilan utama untuk berhadapan dengan masa-masa pada saat ini adalah, keterampilan untuk menemukan ketenangan dalam hiruk pikuknya dunia. Pernyataan ini lahir dari pernyataan Yuvah Noah Harari tentang pikiran yang damai dan tenang sebagai senjata utama untuk berhadapan dengan perkembangan dunia pada saat ini. Saya sangat menyetujui pernyataan ini, dan dengan rajin mempraktikkan hal penting ini.

Saya adalah seorang perawat, dan saya bekerja dan berhadapan dengan orang-orang yang luar biasa setiap waktu. Keadaan ini, kadang membuat keadaan emosional saya berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Untuk alasan ini, saya selalu memastikan setiap harinya, saya memiliki waktu untuk diri saya sendiri. Waktu untuk tenang dan kembali berdamai dengan diri saya sendiri. Ini bukan merupakan waktu untuk tidur.

Saya belajar dari pengalaman, bahwa menyediakan waktu setidaknya 15 menit untuk diri sendiri, untuk merefleksikan apa yang terjadi, adalah hal yang penting dan sangat menyelamatkan. Cara untuk berhadapan dengan hiruk pikuk dunia yang tidak bis akita kendalikan ini adalah dengan menyodorkan ketenangan tepat di hadapannya.

Masalah insecurity

Perawat mengenal diagnose keperawatan terkait dengan masalah insecurity. Salah satunya adalah diagnosa dan asuhan keperawatan mengenai Harga Diri Rendah (HDR) situational.

Masalah mengenai harga diri yang rendah ini, cukup pelik untuk dibahas dan diselami. Tidak semudah berbicara. Kontak yang intens dan cukup akan membantu, tapi keputusan untuk tetap berada dalam keadaan rendah diri atau tidak adalah berada di tangan si pasien/klien.

Saya memiliki sahabat dekat, yang sampai saat ini masih bermasalah dengan harga dirinya. Ia begitu mempermasalahkan keadaan harga dirinya yang menurutnya rendah dan tidak seperti orang lain. Lebih parahnya, ia membuat alasan mengenai harga dirinya untuk menyakiti orang lain juga. Saya sudah beberapa kali membicarakan mengenai hal ini dengannya, dan tetap saja, tidak ada perkembangan yang cukup. Saya menyadari bahwa keinginannya untuk keluar dari sesuatu yang ia sebut masalah, juga menimbulkan masalah sendiri. Saya merasa bahwa ia malah menjadikan masalah insecurity-nya sebagai sarana untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Ini merupakan hal yang tidak begitu baik, sungguh.

Pengalaman berhadapan masalah dengannya membuat saya menyadari bahwa memang keputusan itu terletak dan hanya diletakkan pada tangan si pribadi. Jika ingin berubah, maka hanya pribadi itulah yang harus memagang kendali sepenuhnya.

Reward pada diri sendiri yang masih ber-batasan sehat

Pertanyaan menarik datang dari salah satu peserta. Pertanyaan yang diberikan adalah mengenai memberi reward pada diri sendiri, tapi terkesan menjadi konsumtif. Saya banyak menemukan kasus-kasus seperti ini, dan saya sendiri pun kadang juga melakukan hal yang terkesan sangat membuang-buang uang untuk memberi penghargaan dan ucapan terima kasih pada diri saya sendiri. Tidak salah memang ketika kita ingin memberi penghargaan pada diri sendiri dengan membelikan sesuatu yang “mahal” atau mengeluarkan rupiah untuk membeli sesuatu. Tapi pertanyaan, kalau hal seperti terlalu menjadi kebiasaan, perilaku yang konsumtif dan terkesan menghambur-hamburkan uang menjadi masalah selanjutnya.

So, apa yang harus kita lakukan?

Bersama Mbak Yori, kami pun menyarankan untuk me-redefinisi kembali arti “reward” bagi diri sendiri. Dalam membuat reward, perlu bagi masing-masing orang untuk mendefinisikan dengan baik, dan sesuai dengan kebutuhan serta manfaatnya. Setiap orang tentu saja berbeda-beda hasilnya. Tidak masalah kalau berbeda-beda.

Me-redefined kembali arti dari reward untuk masing-masing pribadi ini pun menuntut refleksi, pergerakan ke dalam atau ke arah dalam untuk menggali apa yang menjadi hal penting dan berarti untuk diri sendiri. Proses perjalanan ini, output-nya adalah ini, definisi baru dari reward untuk diri sendiri yang tentu saja tidak melahirkan masalah baru. Mungkin saja, penghargaan bagi diri sendiri itu berupa jalan-jalan di taman, bertemu dengan kekasih hati, atau hanya sekedar nongkrong di kafe bersama sahabat. Who knows!

Penutup

Hari ketika pelatihan ini dilakukan, saya sangat sibuk dengan banyak sekali pekerjaan dan tentu saja masalah-masalah yang menuntut untuk diselesaikan segera. Tapi, saya menyadari satu hal penting ini, saya tidak bisa menghindari masalah apapun di depan mata saya. Saya harus menghadapinya, cepat atau lambat. Saat ini, saya sedang menyelesaikan tumpukan-tumpukan utang yang harus dan segera saya lunasi. Untungnya, saya tidak mengerjakannya seorang diri. Ringan, itu kesan saya setelah selesai melaksanakan pertemuan daring ini.

Saya sangat berterima kasih terhadap pihak penyelenggara yaitu, Buku Mojok Group dan EAbooks. Saya bisa merasakan pengalaman berbagi dan memperkaya dengan sangat luar biasa. Ini adalah pengalaman yang sungguh memperkaya saya sebagai pribadi.

Semoga tulisan ini bermanfaat, dan as always, salam hangat dari saya.

Iklan

7 pemikiran pada “Pertemuan Daring dengan Para Pembaca #Agnosthesia

  1. sepertinya, kita dilanda perasaan yang sama setiap kali hendak berbicara di muka publik. perasaan antusias sekaligus cemas. saya, kak, kerap membayangkan audiens saya orang-orang yang sangat pandai. saya betul-betul down membayangkan itu. ternyata diskusi berjalan lancar 🙂

    Disukai oleh 1 orang

  2. Poin2 yang diuraikan dalam artikel ini cukup sering saya alami. Rasa nyaman dan privasi adalah dua hal yang sangat saya jaga. Makanya bener, saya juga merasa lebih nyaman berbicara dengan satu dua orang atau dalam kelompok kecil. Tapi masalahnya kadang mau nggak mau, suka nggak suka, kita “terpaksa” harus melakukan hal yang membuat kita kurang nyaman, seperti berbicara di depan forum yang lebih besar. Contohnya aja dulu waktu kuliah kalau dapat tugas presentasi. Mau nggak mau kan kita harus melakukan di depan teman2 dan dosen. Kalau nggak gitu ntar kita nggak dapat nilai dong hehe 😁

    Disukai oleh 1 orang

  3. Hi, Bang Ical.

    Nampaknya, itu semua terjadi karena kita mengharapkan atau memasang standar bahwa diskusi harus berjalan dengan lancar, dan sesuai kendali kita. Ini tipikal orang-orang yang perfectionist haaa.

    Menyadari keadaan ini, saya biasanya akan mengalihkan pada pikiran untuk “menikmati diskusi dan belajar dari diskusi yang berlangsung”. Saya juga belajar untuk kembali percaya pada diri saya sendiri, bahwa dalam keadaan darurat dan diluar kendali, saya masih bisa mengendalikan situasi dan membuat diskusi berjalan lancar.

    Kita juga mungkin, “takut” kalau kita tidak bisa menikmati diskusi yang berlangsung. Tapi, tak apalah. Kecemasan sebelum acara berlangsung memberi kita kesempatan untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik, dan mengupayakan agar tujuan diskusi dapat tercapai. Semoga.

    Suka

  4. haaa, bener banget Mbak Luna. Saya rasa, kita adalah orang yang “terpaksa” untuk berbicara di depan umum. Paksaannya harus, karena kalau ngak, ngak akan dapat nilai.

    Saya dulu juga berpikir, kenapa berbicara di depan umum itu bukan hal natural untuk saya. Saya membandingkan dengan orang lain, dengan teman-teman yang lain, dan binggung juga. Saya pelit kata kalau berbicara di depan umum, tapi terlalu boros kalau menulis haaa.

    Tapi, saya menyadari satu hal penting di sini. Orang-orang seperti kita akan mengeluarkan kata-kata di depan umum dengan penuh kesadaran dan makna. Mungkin karena kita mengguras otak benar-benar untuk mencari kata atau kalimat yang paling tepat, sekalian takut untuk mengulang lagi kata/kalimat yang kita rasa tidak perlu. Ini hal yang menurut saya, keren! haaa

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s