Sang Guru dan Sebuah Nasihat


Seorang guru tahu dengan pasti bahwa, ketika ia memutuskan untuk memasuki sebuah kota, maka ia akan ditangkap, disiksa, bahkan dibunuh. Kota itu berada tepat di depannya. Tepat di tujuan akhir perjalanannya saat itu.

Ia sadar bahwa nyawanya sedang sangat terancam pada saat ini. Tapi, bukannya mengubah perjalanan atau memulai perjalanan lain, ia malah memutuskan untuk tetap berjalan ke kota tersebut. Ia memilih untuk memfokuskan dirinya, pikirannya, pada saat sekarang, pada masa saat ini.

Ia memandang sekelilingnya. Ia memusatkan pikirannya pada bebatuan dan debu-debu di kakinya. Pada orang-orang yang pergi bersamanya, dan mereka yang memandang padanya penuh harap. Pada mereka yang melihat wajahnya dengan sinis, pada wajah-wajah yang mungkin akan melemparkan batu padanya. Ia memandang semua itu dengan penuh kesadaran, dengan penuh kepedulian, dan dengan penuh kasih.

Dalam perjalanan, ia bertemu dengan orang-orang yang berpesta. Mereka yang sedang bersuka ria, dan melihat masa sekarang sebagai sesuatu yang harus dijalani dengan penuh kebahagiaan. Sang guru pun ikut berbahagia bersama kumpulan mereka.

Ia menempatkan pikiran-pikiran akan masa depan pada tempatnya, dan lebih memilih untuk memfokuskan diri pada saat ini.

Ia tidak menaruh peduli dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Ia memikirkannya, ya. Tapi, ia tidak ingin pemikiran-pemikiran itu menghentikan waktunya untuk menikmati masa saat ini. Apa yang akan terjadi kemudian, akan dihadapinya kemudian. Saat ini, ia menghadapi apa yang terjadi di depan matanya.  

Ia pun melangkah tanpa keraguan, masuk ke kota yang mungkin akan membinasakan tubuhnya dan pikiran-pikirannya.

Sang guru mengajarkan saya satu hal penting,

“Hiduplah dengan penuh pada saat ini, pada masa ini. Apa yang akan terjadi nanti, biarkan menjadi nanti”

Masa depan adalah masa yang tidak pasti, tidak tentu dan sangat bisa berubah.

Hal-hal yang tidak pasti ini mengganggu untuk orang-orang yang bersifat “control freak” seperti saya. Tapi, pikiran seperti ini lahir dari rasa “tidak aman”, yang juga sangat kabur dalam diri saya. Mendalaminya membuat saya kebingungan dan semakin sakit kepala.

Akan lebih mudah jika berpikir untuk saat ini saja, waktu ini saja.

Saya pun melihat sekeliling saya. Melihat orang-orang yang hadir, menyadari apa yang terjadi pada saat ini. Lalu menikmatinya.

Kekhawatiran saya akan masa yang akan datang, atau penyesalan saya pada masa yang lampau adalah bagian dari saya. Saya mendengarkan, saya memahaminya. Lalu, saya menempatkannya sesuai pada tempatnya. Masa lalu, pada masa lalu, dan masa depan pada masa yang akan datang. Sesederhana itu.

Lalu, rasa syukur pun lahir dengan sendirinya.

Sang guru, menunjukkan saya pelajaran berharga ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat, dan as always salam hangat dari saya.

9 pemikiran pada “Sang Guru dan Sebuah Nasihat

  1. “Yesterday is a history. Today is a gift. Tomorrow is an uncertainty.”

    Itu yang saya coba jalankan. Seperti yang Mbak Ayu bilang, menempatkan sesuatu pada tempatnya. Masa lalu di masa lalu, sekarang di masa sekarang dan masa depan di masa depan.
    Warm greeting from Jogja.

    Disukai oleh 2 orang

  2. Semoga kita bisa selalu fokus dan hadir pada saat ini (the present), dan merelakan apa yang sudah lalu atau tidak terlalu khawatir akan masa depan. Salam hangat juga dari Banjarmasin, Mbak.

    Suka

Tinggalkan komentar