Waktu itu, saya duduk di bangku sekolah menengah atas. Pada suatu sore, dihari libur, saya membaca sebuah artikel dari surat kabar yang kalau tidak salah berjudul “Bagaimana perempuan dapat berkompetisi dengan Laki-laki”. Pada saat itu, saya menyadari bahwa ada perbedaan significant antara laki-laki dan perempuan, dan perbedaan itu adalah sesuatu yang tidak sederhana.
Beberapa tahun kemudian, ketika saya sudah bekerja, saya mendapatkan evaluasi karyawan, dan salah satu evaluasi yang tercatat di sana adalah mengomentari gaya dan kepribadian saya yang terkesan “tomboy” dan tidak anggun. Komentar ini random, tapi membekas dalam ingatan saya sampai saat ini. Komentar seperti ini bahkan menyisakan saya pertanyaan, “Jika saya tidak anggun, apakah saya bukan seorang perempuan?”.
Pada tulisan kali ini, saya ingin merenungkan dan mengupas sedikit mengenai Feminitas, berdasarkan buku yang sangat menarik karya Ester Lianawati, yang berjudul “Ada Seriga Betina dalam Diri Setiap Perempuan: Psikologi Feminis untuk Meretas Patriarki”. Untuk memudahkan menyusun tulisan ini, saya menggunakan pertanyaan panduan yang akan memudahkan saya untuk mengupas isi buku. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah 1) Apa pengalaman masa lalu saya yang berhubungan dengan isu feminitas?, 2) Apa pelajaran yang diberikan oleh buku ini?, 3) What’s next?
Mohon diperhatikan bahwa tulisan ini bersifat subjektif, artinya tulisan ini dikerjakan hanya berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan perspektif saya seorang.
…
Saya mungkin adalah satu dari sekian banyak perempuan yang tumbuh di lingkungan sosial dan budaya yang berimbang energi maskulinitas pria dan wanitanya. Saya dibesarkan dilingkungan Suku Dayak Ma’anyan yang terkenal dengan keperkasaan kaum wanitanya, dan saya pun bekerja serta berkarya di lingkungan yang memiliki ciri/karakteristik demografi, mayoritas perempuan. Saya tidak mempersoalkan tentang feminitas atau maskulinitas. Saya hidup dengan nyaman dalam lingkungan seperti ini. Tapi, sejak beberapa waktu yang lalu, saya mulai melihat batasan-batasan imajiner yang dibuat oleh masyarakat kita, terutama tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Buku karya Mbak Ester ini, memberi saya gambaran tentang ketidakadilan yang harus dirasakan oleh banyak perempuan di luar sana yang entahlah! Mereka yang sadar bahwa hak mereka sebagai wanita tidak dihargai, atau mereka yang bahkan tidak sadar dengan ketidakadilan yang mereka alami; mereka yang menganggap biasa, perlakukan yang mereka dapatkan dari masyarakat.
…
Anna Bey, seorang influencer, content creator dan teacher, adalah seseorang yang dengan giat meng-kampanyekan tentang “feminitas” di setiap sosial medianya. Ia pernah mengatakan bahwa pada masyarakat saat ini feminitas dan maskulinitas sudah semakin kabur. Sulit untuk menemukan seseorang yang benar-benar feminis atau benar-benar maskulin.
Menanggapi apa yang disampaikan oleh Anna Bey, saya rasa persoalan tentang identitas feminis atau maskulin itu seumpama kepribadian introvert atau ekstrovert. Cukup sulit untuk menemukan orang yang benar-benar introvert atau benar-benar ekstrovert. Kebanyakan dari kita, dan individu yang kita temukan sehari-hari adalah mereka yang berada di area abu-abu, ambivert. Saya rasa, demikian juga dengan sifat feminis dan maskulin. Kabur.
Buku ini, tidak menitikberatkan perbedaan yang significant antara laki-laki dan perempuan. Tapi lebih pada mengenal lebih dalam, memberikan penuh pada apapun yang kita miliki, lalu menghargainya dan menggunakan itu untuk melakukan usaha yang baik kedepannya. Tidak perlu memperdebatkan tentang apakah saya cukup perempuan atau cukup laki-laki. Tidak perlu juga mempertanyakan apakah saya sejatinya seorang perempuan atau laki-laki.
Buku ini membuat saya bersyukur akan apa dan siapa saya, apa adanya. Saya bersyukur karena saya lahir sebagai seorang wanita, dan hidup di lingkungan masyarakat yang membentuk saya sampai menjadi seperti ini. Dinamika masyarakat yang tidak selamanya mulus dan baik, berkontribusi besar terhadap siapa saya pada saat ini.
…
Setelah membaca buku ini, saya menyadari banyak sekali hal-hal yang “keliru” dari apapun yang saya pahami dan percayai selama ini. Buku ini mampu memberi saya koreksi yang diperlukan, dan memberikan saya pemahaman baru yang mencerahkan. Beberapa poin penting yang saya catat dari buku ini adalah sebagai berikut:
Cara pandang yang baru tentang teori Freud, Erikson dan Theorist pengembang konsep psikologi selama ini
Dalam salah satu percakapan di Blog-nya penulis, bagian pertama dari buku ini adalah bagian yang dinilai “berat” oleh kebanyakan pembaca. Ya, bagian pertama dari buku ini membicarakan tentang, yang jika boleh saya kutip adalah tentang “Psikologi Feminis: Apa dan Bagaimana”. Saya rasa, saya cukup paham mengapa banyak pembaca tidak terlalu kerasan membaca bagian pertama dari buku ini. Alasannya adalah bobot tulisan yang sangat apik, dan kental bau akademis-nya. Bagi yang tidak pernah belajar tentang teori-teori Sigmund Freud, Eric Erickson, akan mengalami kesulitan memahami bab pertama dalam buku ini.
Bab pertama dalam buku ini, membuka mata saya untuk melihat kemungkinan lain dari teori-teori terkenal yang sudah disusun dan dipelajari selama ini. Kemungkinan ini bahkan “tidak terpikirkan”, dan untuk alasan ini, saya sungguh kagum dan hormat dengan penulis.
Buku ini menunjukkan penyimpangan teori yang dipaparkan oleh Sigmund Freud, terutama tentang “penis envy” pada tahapan tumbuh kembang manusia. Sejak dulu, saya merasa aneh dengan pemahaman tentang penis envy, tapi karena keterbatasan pengetahuan saya, saya menganggap keanehen itu biasa saja, berlalu begitu saja. Ternyata konsep penis envy ini menjadi perdebatan banyak ahli feminis, banyak yang tidak setuju dengan konsep ini.
Buku ini juga membuka mata saya akan terapi psikoanalisis yang digunakan oleh Sigmund Freud. Dalam sejarahnya, Freud pernah (dan bahkan banyak) gagal dalam merawat pasiennya yang berjenis kelamin perempuan, karena alasan ini, Ia memberi implementasi intervensi yang keliru. Hal ini menunjukkan bahwa, implementasi teori para psikolog atau psikiatrist ini, seharusnya juga disesuaikan dengan gender. Jangan menganggap remeh faktor gender.
Hal menarik yang juga saya temukan dalam buku ini adalah mengenai konsep “empati” yang ternyata digali dan dikembangkan oleh Psikolog Feminis pertama, Sabina Spielrein. Empati disebutkan sebagai kekuatan atau ciri dari jiwa feminis seorang perempuan.
“Mengenal diri sendiri” adalah jawaban dan juga proses sepanjang hidup
Buku ini menyiratkan pesan yang sangat jelas, yaitu “mari mengenal diri sendiri dengan lebih dalam dan lengkap”. Saya pikir, jika kita dapat mengenal diri kita sendiri dengan lebih dalam dan lebih menyeluruh, kita akan terhindar dari sikap membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain, dan juga sikap iri dengan pencapaian orang lain.
Kita memiliki kisah sendiri, kita memiliki keberuntungan dan kebuntungan sendiri. Semua itu dipengaruhi oleh banyak variable dalam diri kita. Banyak!
Ukuran yang dipakai untuk mengukur keberhasilan si A, tidak dapat dipakai untuk mengukur si B. Beda. Sekali lagi, hal ini terjadi karena si A dan si B, berbeda. So, dengan alasan inilah mengapa dalam asuhan keperawatan yang saya dan teman-teman perawat lain lakukan, kami selalu menekankan pentingnya unsur individualitas atau personal dalam diri pasien.
Upaya untuk mengenal diri sendiri itu adalah usaha dan kerja keras seumur hidup. Diri kita sendiri, memiliki reaksi terhadap masalah-masalah yang kita alami dengan cara yang berbeda-beda dan unik. Memahami bagaimana diri kita bereaksi terhadap aksi apapun yang terjadi selama ini, adalah menyenangkan. Coba saja!
Mulai dari diri sendiri, sekarang dan saat ini.
Saya ingat, pagi itu saya baru memulai kerja dan saya harus membuka hari dengan memaki dan memarahi orang lain. Alasan kemarahan saya adalah rekan kerja saya, yang juga adalah seorang perempuan. Saya marah karena saya menaruh harapan padanya, tapi ia bahkan tidak mencapai standar yang saya harapkan. Saya marah padanya, tapi saya pun marah pada diri saya sendiri. Saya marah karena saya bisa berpikir untuk menaruh harapan terhadapnya.
Menjalani pagi hari dengan kemarahan adalah hal yang sangat saya hindari. Masalahnya adalah, selama sisa hari, saya akan menghabiskannya dengan tindakan refleksi diri. Mencari alasan, “Mengapa saya marah”, “Apa alasannya”, jika masalah yang sama terjadi dikemudian hari, apakah saya akan memilih untuk menjadi marah dengan pola yang sama?, bagaimana saya dapat memaafkan diri saya, dan memaaafkan orang lain yang merupakan sumber munculnya rasa marah dalam diri saya.
Kejadian pagi itu, mengingatkan saya pada satu pesan penting dalam buku ini. Pesan tersebut adalah tentang mendukung sesama perempuan untuk dapat berkembang semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dirinya. Kata kuncinya adalah “mendukung”, tapi sebelum mendukung, langkah pertama yang harus diambil adalah memahami.
Saya memiliki banyak pendapat tentang rasa marah. Rasa marah menjadikan saya belajar banyak hal, terutama karena rasa marah membuat saya melakukan hal-hal yang tidak saya sadari. Marah membuat saya kabur dan menutupi logika berpikir jernih. Lepas dari rasa marah, dan ketika saya kembali pada keadaan sadarnya saya, saya akan melihat segala sesuatu dengan lebih lembut, anggun dan jernih. Saya kemudian bisa melihat di mana letak salah saya, menyesalinya dan mulai memperbaiki diri.
Hal baik yang dapat saya ambil dari rasa marah ini adalah, bahwa jika saya bisa melewati dan melampaui rasa marah yang saya rasakan, saya akan mendapatkan pelajaran hidup yang akan membuat saya menghargai kesempatan saya untuk belajar dalam hidup ini.
Rasa marah itu merusak dan menyakiti. Merusak dan menyakiti jika rasa marah itu langsung dilampiaskan pada subjek yang kita anggap “penyebab” dari kemunculan rasa marah. Untuk alasan ini, seseorang yang sudah selesai marah, harus meminta maaf dan dengan niat yang baik, memperbaiki sesuatu yang sudah dirusak dan disakiti. Proses memperbaiki ini panjang, dan kadang melelahkan. Beberapa orang memilih untuk tidak merusak dan menyakiti orang lain, karena alasan tidak ingin lebih tersiksa dengan kegiatan memperbaiki sesuatu yang sudah rusak ini. Tapi, “universe waste nothing”, dan tidak ada yang sia-sia dari aksi apapun yang kita lakukan di dunia ini. Apapun itu, selalu ada pelajaran yang dititipkan pada kita.
…
Saya adalah seorang perawat, dan bagaimana buku ini membantu pekerjaan dan karya saya sehari-hari ?
Buku ini membantu saya untuk melihat kembali aplikasi teori Freud dan Erikson yang sering saya gunakan dalam praktik keperawatan saya setiap hari. Buku ini juga membuat saya semakin peka dengan energi feminis dan maskulin yang mengelilingi saya, dan terlebih lagi adalah menggunakan energi ini untuk hal yang baik, untuk merawat pasien-pasien saya.
…
Catatan Penting:
Bagi teman-teman yang ingin menikmati buku ini secara langsung, silakan memesan melalui toko buku atau reseller buku yang resmi. Saya sendiri langsung memesan dari Toko Buku Mojok (Ig: @bukumojok) dengan harga yang bersahabat. Selamat memesan dan selamat membaca.
Wanita hebat adalah wanita yang mampu memancarkan energi maskulin untuk berjuang dalam hidup. Pria hebat adalah pria yang mampu memancarkan energi feminim untuk mengasihi orang lain.
SukaDisukai oleh 2 orang
Maksud judulnya “Serigala” kan mbak Frani? Ada sedikit typo tampaknya…
Pembahasan yang menarik. Sudah agak paham kalau pandangan Freud ya ehm…gitu deh. Dikit-dikit ke arah kebutuhan yang “itu” wk. Erickson memang lebih cenderung netral (menurut saya, lho). Kalau mau melihat sudut pandang pendekatan perempuan dalam psikoterapi saya baru melihat ke Virginia Satir.
Merunut kepada banyak hal, sebetulnya semua manusia memiliki sisi maskulin dan feminin. Karena kondisi bisa saja seorang wanita lebih mengembangkan sisi maskulinnya yang dipadukan dengan feminitas atau kata Sandra Bern disebut androgini. Maskulin itu seperti ketegasan, agresif, kompetitif, logis. Namun ada lingkungan dan budaya yang sisi feminin lebih berkembang seperti patuh, menerima, seimbang, responsif, dsb. Yang bagus adalah menyeimbangkan keduanya, karena ini bukan masalah jadi laki-laki atau perempuan. Lebih ke arah aliran energi yang digunakan dan dikelola, ya…
SukaDisukai oleh 2 orang
Ia, Mbak. Serigala, haaa..
Terima kasih atas koreksinya ya.
Humm…Virginia Satir ya, saya harus coba membaca catatannya kalau begitu. Ini baru pertama kalinya saya mendengar nama ini.
Setuju sekali denagn pendapat ini, “mengelola aliran energi” yang kita miliki, dan menyeimbangkannya.
SukaSuka
Seimbang, ia kan Mas?
SukaSuka
Dik Ayu 🥰, terima kasih banyak untuk ulasan ini 🙏 Aku suka banget kalimatmu ini : Pesan tersebut adalah tentang mendukung sesama perempuan untuk dapat berkembang semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dirinya. Kata kuncinya adalah “mendukung”, tapi sebelum mendukung, langkah pertama yang harus diambil adalah memahami 💜💜💜 Akan menjadi pengingat untuk si penulis bukunya 😊. Terima kasih sekali lagi ya. Pelukkk dari jauh 🤗🤗🤗
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih banyak Mbak Ester. Aaaa..senang banget bisa membaca buku ini, dan merenungkannya dalam hidup sehari-hari.
Mbak pasti sering mendengar kalimat ini, tapi serius, “Terima kasih karena sudah menulis buku yang sangat menginspirasi ini”. Buku benar-benar memiliki kekuatan untuk mengubah pembacanya untuk menjadi lebih baik, dan saya pun demikian setelah membaca buku ini. Kebijaksanaan dan kelembutan, hadir dalam buku ini.
Semangat menulis buku selanjutnya ya, Mbak. Saya akan sabar menunggu.
SukaSuka
Pantes om freud tidak pernah nyantol di otakku
SukaDisukai oleh 1 orang
Ternyata…eee…ternyata yaaa…
Ada alasan dibalik semua aksi dan tindakan, dan hal ini pun termasuk tulisan dan paham Freud.
Menarik sekali membaca buku ini, Kak. Ada pengalaman menarik yang bisa dirasakan di sana.
SukaSuka
Kapan kapan mungkin mau baca hihihi
SukaDisukai oleh 1 orang
Sippp!
SukaSuka