Rasa bosan dan jenuh itu menghantam pikiran saya sampai berkeping-keping. Saya mengenali perasaan ini, setiap jengkalnya. Saya hidup, dalam, dan bersamanya selama ini. Saya tahu mengapa kali ini ia datang.
Lalu, saya tidak ingin tinggal diam lagi. Saya mengemas barang-barang saya, dan menelepon supir taxi. Pada deringan pertama, saya langsung berkata.
“Paman, saya pesan satu kursi tempat duduk ke kota Palangka Raya. Hari ini.”
Paman supir taxi di seberang sana menjawab dengan penuh semangat. Ia mendapatkan satu orang penumpang, dan itu artinya rejeki untuknya, dan juga adalah rejeki untuk saya. Saya menemukan jalan untuk melarikan diri, kali ini.
Saya melangkahkan kaki penuh antusias untuk pulang.
…
Ide untuk pulang ke rumah, bukanlah tujuan yang ingin saya capai. Saya sebenarnya adalah seorang penikmat perjalanan. Saya menikmati berada dalam mobil, yang membawa saya pada tujuan. Saya senang melihat rumah-rumah yang berjejer di pinggir jalan, atau hanya sekedar pohon-pohon yang berbaris rapi di perjalanan.
Dulu, saya senang melakukan perjalanan malam. Alasannya adalah karena saya ingin tidur dan beristirahat di mobil, dan menolak untuk berbincang-bincang lebih lanjut dengan orang-orang di perjalanan. Tapi, sejak saya bekerja dan terlalu sibuk dengan banyak sekali kegiatan, saya berubah. Saya menikmati moment perjalanan, yang sangatlah nampak seperti buang-buang waktu. Saya menikmati perjalanan di bawah sinar matahari, saya senang merasakan udara menampar halus pipi saya.
Saya senang mengamati, dan saya senang melihat pikiran-pikiran yang lahir dari keadaan tidak melakukan apapun itu. Sesekali, saya mungkin akan meladeni pembicaraan supir, tapi selanjutnya tidak. Saya akan pura-pura tidur dan memejamkan mata, demi untuk dapat menikmati pemandangan di luar sana.
Ketika saya melihat dan memandang ke luar jendela mobil, saya melihat perubahan-perubahan, dan hal-hal baru yang saya lewatkan. Mengisi otak saya dengan hal-hal ringan dan menyenangkan seperti ini, menarik untuk saya. Saya menikmatinya dengan penuh kesadaran.
…
Pagi pada Hari Pertama
Bangun pagi, seperti biasanya saya langsung melihat layar handphone. Jam sudah menunjukkan pukul 8 lewat. Biasanya, melihat jam seperti itu, saya akan menjadi sangat panik. Saya akan langsung bangkit dari tempat tidur, dan siap-siap untuk pergi ke kamar mandi. Tapi pada hari ini, ketika saya bangun pagi dan menyadari saya sedang berada di mana, saya menghembuskan nafas dengan penuh kelegaan. Saya sudah berada di rumah.
Kemarin, ketika saya sudah tiba di rumah. Saya langsung memaksa adik saya untuk pergi berbelanja dan mengisi kulkas. Ketika saya bertanya tentang makanan, adik saya menunjukkan setumpuk mie instan dalam plastik. Reaksi pertama saya adalah, “No!”, dan selanjutnya adalah mengambil tas dan dompet, lalu pergi berbelanja.
Saya senang dengan lingkungan yang ada di Kota Palangka Raya. Udara di sini masih lebih ringan dibandingkan di Kota Banjarmasin. Saya senang dengan rasa “asing” yang muncul dalam hati ketika saya melakukan tawar menawar barang. Saya senang melihat masih banyak tempat-tempat kosong di wilayah ini.
Saya pun menikmati angin semilir yang menyapa kulit saya ketika saya berada di belakang motor. Sekali lagi, saya menikmati pemandangan yang saya lihat sore itu. Tidak terlalu ramai, sederhana dan damai.
Ingatan saya berjalan ke petualangan beberapa hari yang lalu. Saya baru saja berjalan-jalan dengan seorang rekan kerja menyusuri sudut-sudut kota Banjarmasin. Perjalanan itu singkat, tapi perasaan yang sama muncul dalam diri saya. Sederhana, dan entah bagaimana, damai. Perasaan asing, ditambahkan dengan variasi warna-warni yang beraturan memberi saya kenyamanan. Sesuatu yang sangat saya butuhkan. Mungkin.
Perasaan yang sama, adalah apa yang saya rasakan di atas sepeda motor ini. Tidak ada yang mengejar-ngejar saya, dan tidak ada yang melihat apa yang sedang saya kerjakan. Hanya saya saja, orang asing di tanah asing.
Pagi itu, meskipun saya sudah memutuskan untuk beristirahat saja. Saya masih saja membuka notebook, mengonsep pesan, mengirimkannya dan kembali melanjutkan pekerjaan saya. Saya mengerjakannya sambil memasak, sambil menyapu rumah, sambil menghirup udara segar dari belakang rumah.
Saya menyadari hal penting ini,
“Kemana pun saya pergi, saya dan pekerjaan-pekerjaan saya bekerja seperti perangko. Lengket! Pekerjaan-pekerjaan ini tidak akan meninggalkan saya, kalau saya tidak mengerjakannya atau menyelesaikannya. Kemana pun saya pergi, pekerjaan-pekerjaan saya ini bak identitas diri saya”
Memikirkan hal ini, saya merasa sangat sedih. Bagaimana mungkin saya bisa berada dalam posisi ini? Rasa sedih muncul ketika saya memikirkan hal ini, tapi juga rasa lega karena saya bisa menyadari apa yang terjadi. Saya merasa, kalau saya tidak segera menyadari apa yang terjadi, saya mungkin akan sangat terluka dan saya tidak tahu apa yang terjadi.
…
Pernyataan tentang “Menemukan diri sendiri, ketika kehilangan orang lain”
Dalam waktu luang, saya memilikirkan tentang hal ini, tentang kehilangan dan menemukan kembali. Saya baru saja kehilangan seseorang, seorang sahabat yang baik, dan uniknya, saya pun tidak ingin dia kembali. Alasannya mungkin karena ini, saya terluka ketika ia meninggalkan saya, dan saya tidak ingin ia kembali. Saya mungkin tidak bisa memaafkannya atau membiarkannya lepas dari tangan saya begitu saja. Saya terluka, dan saya membiarkan luka itu tidak sembuh.
Berada di kota ini, memberi saya keinginan untuk menghubunginya lagi. Tapi, sampai saat ini, keinginan itu hanya sebatas keinginan dan tidak lebih. Saya lebih memilih membalas pesan-pesan dari tempat kerja, membalas pesan orang lain dan tidak sedetikpun mengintip kotak dialog dengannya.
Saya mengharapkan untuk dapat bertemu dengannya, tapi di sisi yang sama berdiri ego saya yang tegak kuat. Saya pun tidak tahu apa yang harus saya lakukan kalau saya bertemu dengannya atau ketika saya memutuskan untuk membalas pesannya. Dalam hati, saya memberi jawaban seperti ini, sampai Ia membalas pesan terakhir saya waktu itu, saya akan memaafkannya. Melihat kembali bagaimana saya berpikir, membuat saya sangat terkejut. Saya ternyata bisa melakukan hal seperti ini, bahkan memikirkan hal seperti ini. Luar biasa sekali!
Lalu, kembali ke pertanyaan itu lagi. Apakah saya sudah menemukan diri saya sendiri? Ketika saya merasa sangat kehilangan dirinya? Entahlah.
Tanpa dia atau dengannya, saya tetap menemukan diri saya sendiri dan pada saat ini, saya bergerak untuk lebih mengenal diri saya sendiri. Lucu memang.
Saya pun menyadari satu hal penting, saya tidak ingin menghubunginya lagi karena saya tidak ingin menancapkan harapan-harapan yang saya sendiri tidak bisa memenuhinya. Saya biarkan saja itu berlalu, dan saya lepaskan semuanya.
Saya ingin menikmati pelarian saya ini sampai selesai.
…
Hari kedua: Pertemuan
Saya membuat janji bertemu dengan seseorang, dan bersamanya saya menyusuri jalan-jalan kota yang jarang. Berjalan di tempat ini, tiada bedanya dengan jalan-jalan yang saya lalui sebelumnya. Hati saya rasanya kosong dan perasaan yang sama menyambar seperti petir. Rindu.
Pikiran saya melayang menyusuri malam-malam penuh kenangan. Ketika melewati jalan-jalan ini ditemani oleh nyala lampu kota. Ia bercerita tentang harinya, dan saya pun menjadi pendengar yang baik di belakang sepeda motor itu. Saya mengingat aroma tanah yang basah dan segar sehabis hujan, saya pun ingat dengan aroma tubuhnya yang hangat waktu itu. Rasanya, saat itu adalah saat yang damai.
Saya tidak ingat dengan apa yang ia bicarakan waktu itu, tapi apa yang saya ingat adalah ini, bahwa ia sangat bersemangat untuk bercerita dan membagikan hidupnya. Ada rasa nyaman dan kepercayaan diri di sana, ada kehangatan dan keceriaan. Tapi, bayang-bayang ingatan itu pudar dengan sendirinya. Itu sudah berlalu, dan itu mungkin hanya dimiliki oleh ingatan saya saja.
Sahabat saya memanggil nama saya, dan saya mencoba untuk mencocokkan respon akan ceritanya. Ia memang bercerita di depan saya, tapi pikiran saya tidak di sini.
“Apakah kau rindu padanya?” tiba-tiba, pernyataan ini keluar dari mulut sahabat saya.
“Tidak. Untuk apa mengingat orang yang sudah berlalu. Sudah, jangan ditanyakan lagi” jawab saya. Bohong.
Saya sengaja tidak menceritakan apapun padanya, saya sengaja tidak jujur dan tidak ingin memperpanjang masalah.
Kehadiran saya di sini, di tempat ini, tiada lain dan tiada bukan adalah karena ia yang ada jauh dan dalam pikiran saya. Ia, membuat saya bergerak tidak sesuai dengan keinginan saya, dan membuat saya menyadari bahwa ruang kosong di dalam hati ini, semakin gelap dan kerinduan ini semakin sesak.
…
Kelompok Toxic Person
Salah satu alasan mengapa saya memutuskan untuk melarikan diri adalah ini, lingkungan yang rasanya sangat toxic dan penuh dengan aura menghancurkan. Saya merasa sangat tidak nyaman, dan berusaha untuk mempertahankan kenormalan saya dalam menghadapi situasi ini, dan itu sungguh tidak mungkin.
Saya melihat bahwa lingkungan membuat saya berpikir yang tidak-tidak. Penilaian saya menjadi sangat negatif dan saya tidak bisa mengendalikan diri dan mengendalikan apa yang dihasilkan oleh pikiran saya. Sungguh sangat tidak nyaman. Saya menyadari bahwa keadaan ini adalah masalah, dan masalah ini membuat saya harus bergerak untuk menemukan pemecahan masalahnya. Saya memilih untuk kabur atau dalam Bahasa lain, melarikan diri.
Melarikan diri bagi saya, adalah melakukan tindakan atau aktivitas untuk berpindah sementara dari satu tempat ke tempat yang lain. Kota Palangka Raya adalah kota yang saya pilih, bukan karena di kota ini saya memiliki sebuah rumah atau tempat tinggal. Tapi lebih karena saya memiliki halaman belakang rumah yang masih bermodel hutan. Saya ingin melihat pohon-pohon, menginjak tanah secara langsung dan merasakan kenyamanan ketika saya berada jauh dari tempat saya berada saat ini. Saya ingin merasakan perasaan yang berbeda, yang saya rindukan.
…
Hari terakhir: Malam yang telah Usai
Saya memutuskan untuk menghubunginya lagi. Saya menyadari bahwa hal ini penting, karena saya ingin agar diri saya melihat apa yang diharapkan dan diinginkan oleh diri saya sendiri.
Saya marah dan kesal dengan segala hal yang terjadi pada saya selama beberapa waktu yang telah lewat. Tapi, rasa marah dan kesal itu menguap ke udara seketika ketika saya melihatnya. Saat itu saya sadar betul bahwa rasa rindu saya terlalu besar. Rasa rindu itu melampaui rasa marah dan kesal saya terhadapnya.
Saat itu, saya menolak untuk sadar bahwa saya sudah sangat jauh terjatuh. Saya berjalan dengan menantang arus perasaan saya sendiri, dan memaksa untuk melihat kenyataan yang ada di hadapan saya. Hidup saya, bukan hanya untuknya. Ia bukan prioritas saya, dan perasaan apapun yang saya miliki padanya tidaklah penting.
Tapi, saya pun binggung dibuatnya. Saya menginginkan apapun yang ditawarkan oleh petualangan ini, tapi saya pun tidak mengingankannya dalam waktu yang bersamaan.
Hati saya terasa berat, dan binggung.
Ia nampaknya tahu dengan apa yang saya rasakan. Ia lalu membawa pembicaraan kami pada masa-masa yang lalu. Ia mengalihkan pembicaraan. Meskipun saya kesal, dan merasa bahwa Ia sedang mengabaikan masalah di hadapan kami, tapi Ia paham betul bagaimana kalau saya marah dan kesal. Saya tidak banyak protes, dan melanjutkan pembicaraan kami.
Saya harap Ia sadar bahwa ia pun membutuhkan waktu untuk berbicara dengan saya, terkoneksi dengan saya seperti pada saat ini. Saya harap Ia sadar bahwa, Ia membutuhkan saya. Sama seperti saya membutuhkannya.
Tapi ini lagi, untuk apa semua ini, jika pada akhirnya sia-sia.
Kami menghabiskan malam itu dengan bercerita, menumpahkan rasa rindu yang tertahan selama beberapa waktu ini. Saya bahkan menyanyikannya sepenggal bait lagu sebagai penutup malam.
“I’m so blessed my Lord
I can see you
Even when I’m lonely and in pain
I see you in the beauty of the stars at night
I see you in my life
I feel alright
I see you Lord
In sorrow and in happiness
I see you in the glory
Of sweet success
I see you Lord
Every hour, everyday
I can see you Lord
Whenever I pray”
Lagu oleh Aiza Sequerra, dengan judul “I see you Lord”.
Malam pun habis, dan berganti pagi.
Saya harap, hati saya berubah. Tapi, meskipun sampai di penghujung masa seperti itu. Saya masih belum merasa puas, saya belum merasa bahwa Ia adalah orang yang saya cari.
Sampai pada titik ini, saya bahkan tidak tahu, apakah saya mencintainya atau tidak?
…
Menoling Orang lain vs Menolong Diri Sendiri
People pleaser, itu adalah stigma yang disematkan orang lain pada diri saya. Saya terlalu baik, dan selalu mendahulukan kepentingan orang lain, dan sanggup mengorbankan kepentingan diri sendiri. Orang lain memanfaatkan kesempatan ini untuk menguras apapun yang saya miliki.
Saya menyadari hal ini, sungguh.
Tapi, saya adalah orang bodoh yang tidak pernah berhenti untuk menyelamatkan orang lain. Saya merasa, ketika saya menyelamatkan orang lain, saya pun menyelamatkan diri saya sendiri.
Apakah saya mencari pengakuan dari tindakan saya untuk membantu orang lain? Tidak. Saya bahkan merasa ‘tidak membutuhkannya’. Saya tidak memerlukan orang lain untuk mengatakan bahwa saya adalah orang yang mampu, orang yang baik, dan orang yang memiliki kemampuan.
Saya mungkin merasa berutang dengan orang lain, dan juga sekalian menanamkan utang budi pada orang lain. Lalu, terlebih lagi, saya senang dengan konsep “mengumpulkan harta di Surga” melalui perbuatan baik yang dilakukan di dunia. Lagian, apa nikmatnya menjadi manusia, kalau tidak menggunakan kesempatan ini untuk membantu orang lain?
Hal yang menjadi masalah, yang juga adalah hal yang saya keluhkan secara pribadi adalah ini, saya terlalu menikmati keadaan untuk menolong orang lain, tapi tidak bisa menolong diri saya sendiri? Atau abai untuk menolong diri sendiri.
Bagaimana saya dapat menolong orang lain, kalau saya tidak bisa menolong diri saya sendiri? Bukankah ini lucu? Saya seperti individu yang secara terang-terangan ingin membunuh dirinya sendiri.
…
Sampai pada saat ini, saya masih merasa bahwa saya masih dalam mode melarikan diri. Saya tidak pernah bisa berhenti barang sejenak, atau melihat ke belakang, atau setidaknya melihat ke sekitar. Saya terpacu untuk berpindah, untuk pergi dan menghilang.
Lalu, setelah proses melarikan diri yang panjang ini, ke manakah saya? Sudah sampai dimanakah saya?
Saya tetap berada di sini, dalam perjalanan ini, dalam mode “melarikan diri”.
…
Semoga tulisan ini bermanfaat untukmu. As always, salam hangat dari saya.
Catatan di balik layar:
Tulisan ini adalah buah dari perkawinan antara kehidupan nyata dan khayalan. Setelah menulis tulisan ini, dan membacanya kembali, saya akhirnya bisa cukup bisa memahami bagaimana rasanya membuat tulisan terinspirasi dari kehidupan nyata dan menambah bumbu khayalan atau imajinasi di dalamnya. Bagaimana menurutmu?
“Menemukan diri sendiri ketika kehilangan orang lain” hits different for me. Walaupun yang lain juga tidak kalah menyentuh.
SukaDisukai oleh 1 orang
“Lagian, apa nikmatnya menjadi manusia, kalau tidak menggunakan kesempatan ini untuk membantu orang lain?”
Nice word mba
SukaDisukai oleh 1 orang
Biasanya seorang motivator akan mengatakan : “Melarikan diri tidak akan menyelesaikan masalah”.
SukaDisukai oleh 1 orang
Setuju, Mas. Tapi, kadang kita perlu melarikan diri sebentar, untuk bisa sepenuhnya menyadari bahwa “melarikan diri itu sungguh tidak menyelesaikan masalah”.
SukaSuka
Terima kasih, Kak Katanala.
Semoga saya tidak hanya pandai berkata-kata saja, tapi juga pandai untuk mempraktikkan apa yang saya kerjakan.
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih banyak, Mbak Luna.
Rasanya lama sekali tidak menulis hal-hal receh dan sensitif seperti tulisan ini haa
SukaSuka
Maksudnya ambil napas sebentar ya 😉
SukaDisukai oleh 1 orang
Betul, Mas. Itu adalah maksud saya.
SukaSuka
🙂
SukaSuka