Ketika, Kematian: Sebuah Catatan


Hari itu di kota perantauan, selepas saya dan tante membicarakan mengenai kesehatan kakek saya, bayangan akan kepergiannya menyelimuti saya dengan duka dan rasa sakit. Pada saat itu juga saya menangis, dan bergegas memohon pada Tuhan kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama beliau dan merawatnya.

Tuhan, mengabulkan permintaan yang penuh keegoisan itu.

Saya rasa, pengalaman saya dengan gempa bumi dan perjalanan saya yang tidak menentu dengan pesawat terbang, yang membuat saya memutuskan untuk belajar lebih dalam mengenai kematian. Saya mungkin cukup terobsesi dengannya. Saya, seperti manusia yang lainnya, takut untuk mati.

Sejak saat itu, ketika saya memiliki kesempatan, saya akan menyempatkan diri untuk berdoa di kubur orang-orang yang terkasih. Saya menyempatkan diri untuk merenungkan, bagaimana kematian dapat mengubah hidup manusia dan memberinya makna.

“Kematian adalah apa yang memberi makna pada hidup manusia”, itulah kesimpulan yang saya ambil setelah beberapa kali merenungkan tentang kematian. Tanpa kematian, hidup manusia yang sangat singkat ini tidak akan menjadi begitu bermakna dan penuh nilai. Kematian, seberat apapun itu, adalah bagian penting dalam hidup manusia.

Sejak awal masa pandemi, saya sudah tidak bisa menghitung berapa jiwa yang harus saya antar dalam doa agar dapat beistirahat dalam damai. Pandemi, yang juga ditambahkan dengan keadaan terisolasi yang cukup lama, membuat saya semakin peka dengan berita-berita yang menyayat hati, termasuk berita kematian. Saya menghitung dengan seksama, sudah berapa jiwa yang harus pergi, dan menangisinya.

Pada saat itu pula, saya menyadari bahwa saya adalah jiwa dengan segala sensitivitas-nya. Saya sangat rapuh ketika berhadapan dengan peristiwa kematian. Saya terluka dalam, bahkan lebih dalam dari apa yang saya bayangkan. Menuliskan cerita dan apa yang saya pikirkan, adalah upaya saya untuk mengukur seberapa dalam perasaan saya tentang hal ini.

Ketika kakek saya sakit keras, keluarga saya mengupayakan segala sesuatu, yang terbaik yang bisa kami lakukan untuk merawat beliau. Meskipun demikian, kami pun mempersiapkan diri kalau-kalau terjadi sesuatu yang sangat tidak kami harapkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa hati kami pun bercabang dua, pada satu sisi berupaya untuk kesembuhan beliau, dan pada sisi lainnya, pasrah dengan segala kemungkinan terburuk yang akan datang.

Saya tidak tahu ironi seperti apa yang kami alami, terutama saya. Bagi saya, adalah sebuah “kutuk” untuk mengetahui prognosis sebuah penyakit. Saya merasa sangat sombong, dan berlagak seperti mendahului malaikat maut. Sambil merawat kakek saya, saya berusaha menghidupkan harapan dalam diri saya. Beliau pasti bisa selamat dan melewati ini semua.

Melihat, merasakan dan bahkan ikut berbagi rasa sakit yang dialami oleh kakek saya waktu itu, mencabik-cabik hati saya. Hati saya sakit, dan juga tidak berdaya.

Sampai akhirnya Tuhan melepaskan rasa sakitnya, dan beliau pergi dalam pelukan anak-anaknya, orang-orang yang ia kasihi.  

Meskipun saya sudah mempersiapkan diri dengan sangat baik, tapi saya tidak menduga reaksi saya selanjutnya. Saya hancur. Saya melihat kesedihan dan air mata ibu, tante dan om saya. Saya melihat rasa sakit di wajah mereka semua, dan itu semakin menambah dalam apa yang sudah saya rasakan pada saat ini.

Saya menyalahkan diri atas begitu banyak kesempatan yang saya lewatkan, saya menyalahkan diri atas segala langkah yang sudah saya siapkan di kepala, tapi tidak kunjung saya lakukan ketika beliau masih hidup.

Melihat penderitaan yang harus dilewati oleh kakek saya waktu itu, dan saya yang harus bersembunyi pada sikap egois saya. Saya merasa sangat-sangat bersalah, dan tidak berguna.

Saya tidak berdaya, dan tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Bahkan menangis pun tidak akan mampu mengampuni apa yang sudah saya lakukan. Saya bersedih, dan terluka untuk kesekian kalinya dalam tahun ini.

Saya tidak akan lupa, uluran tangannya ketika saya tiba sore itu. Ketidakberdayaan saya, membuat saya berat untuk merelakan kepergiannya.

Dalam upaya untuk menemukan diri saya kembali, menegakkan kepala, dan menghapus air mata saya. Saya menemukan sesuatu, dan belajar darinya. Saya menyadari bahwa keberadaan orang-orang di sekeliling saya adalah kekuatan. Ya, kekuatan saya adalah pada keluarga.

Keluarga kami saling menguatkan, dan saling meneguhkan satu sama lain. Ini mungkin adalah pertama kalinya saya terlibat langsung, dan ikut ambil bagian dalam upaya untuk saling meneguhkan dalam duka dan rasa sakit. Ketidakberdayaan saya, ternyata juga dirasakan oleh mereka semua. Dalam bahasa duka dan rasa sakit yang sama itu, kami saling menguatkan dan menyembuhkan.

Penyesalan, dan rasa bersalah akhirnya lebur menjadi sikap rela dan pasrah, bahkan berbuah harapan yang tidak kami sangka-sangka ada.

Melalui upaya untuk saling meneguhkan itu, kami menemukan bahwa, cinta dan kasih mereka yang sudah tiada tetap mengalir sampai detik ini. Kami tidak sepenuhnya kehilangan, dan tidak sepenuhnya ditinggalkan. Bukti keberadaan mereka, adalah darah yang mengalir dalam pembuluh darah kami. Ikatan darah ini akan mengikat kami dalam ikatan yang satu, dan terus menerus. Kami pun percaya bahwa, di mana pun kami berada, ke mana pun kami pergi, mereka pun hadir dan menjaga kami.

Sekarang, meraka yang secara fisik tidak bersama kami, menjadi sejengkal lebih dekat ada dan hadir. Jarak diantara kami hanya sejauh doa, dan dalam doa kami bisa bersatu bersama lagi. Terlebih lagi, persatuan dalam Ekaristi kudus.

Kini, ketika saya dan keluarga bersatu dalam doa dan Ekaristi, kesatuan itu menjadi nyata dan lebih jelas. Kesatuan itu yang akan menguatkan dalam masa-masa berat ini.

Lalu, bagaimana dengan saya? Apa yang akan saya lakukan ketika waktu “itu” tiba? Apakah saya sudah cukup untuk mempersipkan diri? Apakah saya sudah benar-benar siap ketika waktu “itu tiba”?

Apakah saya bisa menjadi orang yang kuat, tegar dan setia seperti halnya almarhum kakek saya? Apakah saya akan dikelilingi oleh orang-orang yang saya kasihi pada saat waktu itu tiba? Apakah saya bisa tersenyum bahagia dan bangga, ketika kematian menjemput saya? dan apakah saya bisa menyambut uluran tangan maut dengan penuh sukacita dan menanggapnya sebagai teman?

Pertanyaan demi pertanyaan lahir dalam kepala saya. Pertanyaan-pertanyaan itu hadir tanpa disertai dengan jawaban-jawaban yang memuaskan. Saya biarkan saya demikian, sambil mengingat kembali pengalaman saya tahun lalu, yang hampir membuat saya meninggalkan dunia ini in instant! Pada saat itu, tidak ada yang saya pikirkan selain penderitaan orang-orang yang saya kasihi jika saya tiada. Rasa sakit karena memikirkan mereka, lebih menikam saya dibandingkan rasa sakit fisik yang harus saya terima pada saat itu. Membayangkan wajah Ibu saya, mengiris-ngiris sembilu.

Saya, apakah sudah pantas untuk bertatap muka dengan kematian? Ah! Saya masih saja adalah manusia penakut, yang bersembunyi dengan berbagai macam retorika. Saya berharap dan berdoa dalam hati, jika saat itu tiba, biarlah saya menikmati waktu itu setiap detiknya. Sebelumnya, saya ingin menggunakan semua waktu yang dianugerahkan pada saya dengan bijaksana. Semoga Tuhan merestui.

So, Bagaimana denganmu?

Salam hangat dari saya, and as always semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membacanya.

Sincerely, Ayu.

Otomatis meneteskan air mata setiap kali melihat sosok beliau di foto ini. Senyum beliau yang tulus dan ringan di sini, menusuk saya sampai jauh. Kapan lagi saya dapat bertemu dengan senyum se-tulus ini?

PS. Tulisan ini lahir untuk mengenang kakek saya, Ipa Lawa, yang sudah meninggalkan kami semua pada tanggal 5 Mei 2021. Teriring doa semoga beliau beristirahat dalam damai Tuhan.

Iklan

9 pemikiran pada “Ketika, Kematian: Sebuah Catatan

  1. Turut berduka cita atas kematian kakek, Maria.

    Kadang-kadang saya juga berpikir soal kematian. Tapi akhir-akhir ini saya sadar kalau tak baik juga untuk memikirkannya terlalu dalam, sebab akhirnya kita tak bisa ke mana-mana (bahkan mungkin juga akan bikin kita merasa semua ini tak ada gunanya, karena akan hilang begitu saja). Untungnya ingatan manusia tak utuh, tapi serupa fragmen-fragmen yang bikin kita sering lupa. Mungkin ini respons purbawi manusia untuk mengatasi ketakutan terhadap kematian. Ah, entahlah.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Turut berduka cita, Kak Ayu. Semoga kakek tenang di sisi Tuhan dan Kak Ayu serta keluarga diberi kekuatan untuk melewati cobaan ini.

    Kematian adalah nasihat terbaik bagi mereka yang masih bernafas. Pengingat bahwa suatu saat kita akan mengalaminya. Kita hanya menunggu giliran. Tapi yang lebih penting adalah, apa yang kita lakukan sembari menunggu giliran itu tiba? Jika kematian dikatakan sebagai perjalanan pulang, tidak mungkin kan kita melakukan perjalanan tanpa membawa bekal?

    Disukai oleh 1 orang

  3. Hi, Mas.
    Terima kasih banyak atas sharing-nya.

    Saya setuju. Ingatan manusia yang rapuh, adalah nilai positif untuk kita. Kita bisa mengabaikan dan melepaskan duka seiring berjalannya waktu. Menarik, Mas.

    Suka

  4. Hi, Mbak Luna.

    Terima kasih banyak ya. Saya sangat tersentuh dengan nasihat yang ditulis di sini. Saya setuju, kita pun harus kembali ke diri kita sendiri dan bertanya, “Apakah kita sudah mempersiapkan diri dengan layak, sampai waktu itu tiba?”

    Suka

  5. turut berduka cita mba ayu, semoga yang terbaik dilimpahkan kepada kakek disurga.

    Kematian itu menakutkan, namun dengan mengingatnya lah kita bisa lebih mengerti arti kehidupan itu.

    Disukai oleh 1 orang

  6. Terima kasih banyak Kak
    Benar, kematian itu nampak sangat menakutkan, karena tidak ada yang tahu akan seperti apa di sana, dan banyak lagi alasan lainnya. Tapi, tanpa kematian, kehidupan tidak akan menjadi semenarik saat ini. Itu kesimpulan saya saat ini.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s