Saya berkenalan pertama kali dengan konsep zen, dari catatan yang ditulis oleh seorang peneliti, penulis dan praktiksi zen, Reza A.A. Wattimena. Sejak saat itu, saya menjadi sangat bersemangat dengan hal-hal yang berhubungan dengan zen, dan tidak lupa, tentang mindfulness juga.
Belajar tentang konsep zen adalah sebuah perjalanan. Perjalanan itu menarik, dan mengajarkan saya banyak hal penting.
Perlu di catat bahwa, tulisan ini bersifat sangat personal atau subjektif. Apa yang tertulis di sini adalah berdasarkan perspektif dan pandangan saya pribadi. Pembaca bisa saja merasa sangat tidak setuju dengan apapun yang ditulis di sini, dan itu sangat wajar. So, read wisely.
Silakan berkunjung dan membaca beberapa tulisan saya terkait dengan topik ini:
Belajar mengenai zen, menuntun saya untuk lebih banyak mensyukuri kehidupan dan menikmatinya. Jalan hidup ini naik-turun, berliku-liku dan penuh dengan kerikil, tapi justru karena warna-warni ini maka hidup ini menjadi sangat menarik untuk dijalani.
Membaca buku dari Ezra Badya, membawa saya pada permenungan tersendiri menganai kehidupan. Saya mengumpamakan diri seperti sedang menempuh perjalanan melewati berbagai macam landscape di muka bumi ini. Saya bisa melewati padang rumput, taman bunga, atau bukti berbatu-batu. Semuanya adalah perjalanan, dan kata kunci yang sering muncul dalam perjalanan ini adalah “menikmati”. Ya, belajar tentang zen adalah belajar untuk menikmati hidup.
Sembari membaca buku ini, saya menyadari bahwa semakin ke sini, saya semakin sulit untuk menikmati hidup apa adanya. Tuntutan demi tuntutan yang datang dari lingkungan social, dan bahkan dari diri saya sendiri membuat saya semakin jauh dari kata menikmati hidup. Hidup bukan lagi sebagai perjalanan yang menyenangkan, tapi malah seperti perlombaan dan usaha untuk menyelesaikan tantangan-tantangan setiap harinya. Tidak salah, tapi hanya kurang pas.
Belajar mengenai zen juga membuat saya menyadari bahwa, menjadi manusia atau pribadi zen adalah menjadi bukan manusia, karena zen nampaknya mengajarkan untuk menjadi lebih dari manusia. Saya kadang mengibaratkannya sebagai, “Menjadi Pribadi yang sama seperti Tuhan”. Berlebihan memang, tapi demikian kenyataannya. Zen berarti melepaskan kelekatan-kelekatan manusiawi, dan lalu membiarkan semesta ini bekerja dalam diri kita. Kita diibaratkan penonton yang hanya menyaksikan sandiwara yang ditampilkan oleh panggung kehidupan ini.
Zen itu sangat idealist! Tapi juga sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak ada aturan yang mengikat, dunia dan proses yang berjalan di sini adalah peraturan dan kuncinya.
Zen itu bukanlah sebuah tujuan, tapi adalah proses. Sebuah proses yang tidak tahu ujungnya di mana. Memikirkan tentang tujuan, malah semakin membuat kita jauh dari Zen. Buku ini mengajarkan saya mengenai zen yang bentuknya seperti ini.
Zen membuat saya secara otomatis, dan juga konsisten merefleksikan apapun yang saya pikirkan dan apa yang saya rasakan. Zen membuat saya secara terus menerus terlibat dalam dialog yang terus menerus dengan diri saya sendiri. Saya tidak berhenti, dan tidak dapat menemukan kata berhenti pada satu atau dua titik. Saya, secara terus menerus berjalan menyusuri jalan yang penuh dengan tanda tanya, dan juga mempertemukan saya dengan setiap jawaban yang kemudian membawa saya pada pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Saya nampaknya terus mengulang-ulang mengenai intisari dari zen dan ajarannya. Tapi, meskipun di ulang-ulang, entah kenapa saya tidak bosan. Saya tidak menemukan hasil yang sama ketika mengulitinya satu persatu.
Zen itu adalah latihan. Latihan yang tidak akan pernah selesai. Jatuh, lalu bangun lagi dan demikian seterusnya.
Lalu pada akhirnya adalah ini, Zen itu adalah hidup. Ya, Zen itu adalah hidup dan segala warnanya.
…
PS. Buku ini bisa dipesan langsung melalui Website penerbit Karaniya dengan harga yang sangat bersahabat. Selamat membaca.
ZEN.
SukaSuka