Sang Guru mengutus murid-muridnya pergi menyelesaikan misi. Tapi, tidak satu pun bekal material diberikan kepada mereka. Mereka hanya diijinkan membawa tongkat, satu alas kaki dan satu setel pakaian ganti. Mereka tidak diperbolehkan membawa makanan ataupun uang.
Mengapa ?
Beberapa orang bersahut-sahutan memberikan jawaban. Satu alasannya adalah ini,
“Agar mereka merasakan sendiri pernyataan sang Pencipta dalam perjalanan”
Lalu, yang lain berkata seperti ini,
“Agar mereka menemukan kekuatan mereka sendiri, yang bersumber dari pengalaman penderitaan yang mereka jumpai”
Ada pula yang berkata seperti ini,
“Keterikatan pada materi menahan mereka untuk menyelesaikan misi”
Meskipun nampak seperti misi kamikaze, tapi sang Guru mungkin berharap agar muridnya dapat menggunakan apapun yang mereka pelajari, sebagai bahan untuk bertahan hidup.
Dunia adalah rumah mereka. Awan adalah atapnya, dan tanah adalah lantai rumah mereka. Pohon-pohon adalah tiang-tiangnya.
Ketidakmungkinan atau keterbatasan adalah keajaiban mereka. Mereka ditantang untuk menderita, dan kemudian mendorong potensi terbaik mereka untuk bertahan hidup, dan bahkan menghidupi orang lain. Mereka diminta hidup mandiri, berdiri di kaki mereka sendiri sambil mengupayakan agar misi mereka terselesaikan.
Kesendirian, kemiskinan, dan luka-luka adalah sahabat mereka. Keputusasaan adalah makanan mereka sehari-hari. Lebih parahnya lagi, tidak ada upah yang jelas atas pekerjaan ini. Sementara kesetiaan dan tanggung jawab adalah apa yang sering dituntut oleh sang Guru.
Tidak banyak orang yang memilih jalan ini. Wajar.
Meskipun kampanye yang diberikan sang Guru adalah ini, “Surga”. Tapi, bahkan yang namanya surga pun, tak nampak di pelupuk mata. Bahkan surga yang “dirasa” nampak sangat abstrak dan menipu.
Tak terasa waktu berlalu, dan sang Guru masih mengajukan tawaran yang sama pada murid-muridnya yang baru. Tawaran yang sama, dan misi yang sama.
Lalu, masih saja pertanyaan ini yang muncul,
“Mengapa?”
Banyak orang memberikan jawaban,
“Gila! Apakah ini panggilan untuk menjadi seorang pengemis? Pertapa?”
“Satu nasi bungkus, harga paling minimal adalah Rp 6000”
“Sebelum membuka usaha, perlu modal. Modal minimal, keuntungan pun minimal”
“Surga adalah konsep abstrak yang penuh analogi. Tidak cocok diterapkan pada masa seperti saat ini”
Sang Guru duduk di sana. Tetap tenang, dan mengulang kembali tawaran dan misi yang sama. Kini, dengan murid-murid yang baru.
Tidak banyak yang menerima tawaran “gila” ini, semakin tidak banyak pula yang pulang dengan membawa kabar “misi berhasil”. Kesia-siaan mewarnai jalan dan perjalanan para murid, lalu untuk apa?
Banjarmasin, 11 Juni 2021
Sincerely, Ayu
PS.
Baca juga: Sang Guru dan Sebuah Nasihat
😊👍
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih, Kak.
SukaSuka
Iya Kak. Sama-sama.
🤔 Mungkin murid belum siap jiwa raganya. Untuk berguru kepada Alam Semesta. 😁
SukaDisukai oleh 1 orang
Atau mungkin mereka menolak untuk belajar dan bertolak lebih ke dalam? haa
Semua pembicaraan kita akan penuh kemungkinan, kak.
SukaSuka
Mungkinkah jiwa mereka masih terikat pada nafsu dunia? Sehingga misi itu terasa berat untuk dijalankan? Dalem nih, pesannya.
SukaDisukai oleh 2 orang
Ya… 😌 Semua memang penuh dengan banyak kemungkinan.
SukaDisukai oleh 1 orang
Yaa.. 😌 Semua serba mungkin. Mungkin mereka lelah. 😁
SukaDisukai oleh 1 orang
Hi, Mbak. Lama tak berjumpaaa
Mungkin adalah jawaban yang bisa saya berikan, Mbak. Mungkin mereka adalah milik dunia, yang padanya tidak diberikan tangan dan kaki untuk berjalan masuk ke dalam, menyelam dan melihat lagi lebih jauh.
Mungkin juga mereka memilih untuk tidak melakukan apa yang dikehendaki oleh sang Guru. Entahlah, Mbak. Kemungkinan semua ini haa
Saya mencoba membuat pesannya dalam, Mbak. Tiba-tiba saja dapat ide untuk menulis cerita ini, so..tak terasa, jadi!
SukaDisukai oleh 2 orang
Setuju
SukaSuka
haaa, itu dia Kak
Mungkin mereka lelah
SukaSuka
Ehe he… 🙆
SukaDisukai oleh 1 orang