Duduk bersama Hendry Manampiring dengan “Filosofi Teras”-nya


Setiap awal bulan, ketika waktu pembagian upah tiba, saya kerap mendengarkan keluhan seperti ini

“Hah! dapat segini saja?”

“Astaga, ada potongan itu..?”

“Lo..kok ini tidak sesuai dengan hitungan sebelumnya?”

Mendengar keluhan-keluhan ini, jujur saja hati saya miris! Saya sudah mencoba membiasakan diri untuk beradaptasi dengan keluhan ini, tapi saat ini saya katakan bahwa saya tidak sanggup! Saya tidak bisa mendengarkan keluhan seperti ini.

Pikir saya adalah begini, kalau sampai karyawan mengeluhkan tentang tidak sesuainya pendapatan (gaji) dan kerja yang sudah mereka kerjakan. Something must be wrong here! Ada yang tidak beres! dan itu akan dan pasti menyangkut soal ketidakadilan. Being a libra, saya tidak pernah tahan berhadapan dengan isu ketidakadilan. Rasanya ingin sekali saya melakukan audit kebijakan dan bahkan catatan keuangan perusahaan dan menelisik di mana letak “salah”nya.

Tapi, yang saya temukan adalah ini, saya yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengurangi keluhan-keluhan seperti ini. Saya tidak berdaya, dan ketidakberdayaan saya ini menyedihkan.

Buku ini saya temukan ketika saya berhadapan dengan masalah ini. Ketika saya berusaha mencari jawaban, pembelaan bahkan berusaha untuk memahami situasi yang sedang terjadi. Buku karya Hendry Manampiring yang berjudul Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kiniyang ada di genggaman tangan saya, memberi saya tanda bahwa saya akan menemukan sesuatu yang bisa membantu saya melihat apa yang saya pikirkan, rasakan dengan lebih baik.

Buku ini saya temukan ketika saya berusaha untuk menelusuri pernyataan, “Tidak tahu terima kasih”, “Kurang bersyukur” yang menjadi pernyataan balasan atas beberapa pernyataan-pernyataan sebelumnya.

Saya ingin memahami “mengapa” dan “kenapa” semua hal seperti ini dapat terjadi, karena saya percaya bahwa setiap manusia itu memiliki dan menyimpan kebaikan dalam diri mereka. Saya lebih takut pada sistem atau sosok yang mampu membuat mereka mengalami pengalaman demikian.

Pencarian jawaban saya bukan terletak pada sistem atau dalam hal ini adalah perusahaan tempat saya mendengarkan keluhan ini. Tapi, pada orang atau pada individu yang menjadi aktor di balik bergeraknya sistem. Saya ingin memahami aktor yang melahirkan pernyataan “Hah! Segini ajakah?” Atau “Tidak tahu berterima kasih!” Saya akan memberikan judgment, setelah saya mendengarkan kedua belah pihak ini. Keduanya atau ketiganya atau keberapa begitu.

Buku ini, entah bagaimana, memberikan saya cukup pandangan untuk menemukan jawaban yang saya perlukan. Buku ini bukan jawaban, tapi lebih sebagai petunjuk untuk menemukan jawaban.

Dalam buku ini, saya belajar untuk memahami tentang dorongan atau motivasi yang menggerakkan manusia. Bagian dalam buku ini membantu saya melihat sosok individu atau aktor tadi dengan lebih dekat, lebih komprehensif dan lebih tenang.

Saya pun belajar tentang persepsi “penderitaan” atau “kesusahan” bagi orang-orang yang merasakannya. Penilaian yang diberikan oleh masing-masing individu menyumbangkan beban bagi masalah yang ada di tangan mereka. Pikiran akan masalah,menentukan seberapa berat atau bahkan ringgannya masalah ini. Semuanya tergantung pada persepsi masing-masing orang. Selanjutnya, saya pun belajar untuk memahami bahwa dalam dunia ini, ada hal-hal yang berada di bawah kendali saya, dan ada juga yang tidak. Ada pula yang bisa saya kendalikan setengahnya dan setengahnya tidak. Saya diberi anugerah kebebasan untuk memilih, dan mengusahakan mana yang bisa dan tidak bisa saya kendalikan. Bagian yang tidak bisa saya kendalikan, tidak bisa saya atur atau tidak bisa saya usahakan, saya lepaskan. Saya berikan kesempatan kepada dunia dan yang Maha Kuasa untuk mengerjakan bagianNya.

Sebagai penutup, saya percaya pada kalimat ini,

“Apa yang kamu tabur, itu pula lah yang akan kamu tuai”

Toxic Friendship, Toxic Relationship

Dalam dunia kerja, saya bekerja dan bertemu dengan orang-orang yang sangat luar biasa. Luar biasa dalam perkataan, atau luar biasa dalam tindakan. Ada yang memiliki talenta untuk berbicara saja, tapi miskin pekerjaan dan ada pula yang sebaliknya. Ada juga yang memiliki keduanya. Ada juga yang jenis yang lainnya, tapi dalam dunia pekerjaan dua tipe orang ini yang paling umum menjadi perhatian saya sehari-hari.

Ada suatu hari, ketika saya merasa sangat-sangat kelelahan dan menjadi sangat sensitif dengan banyak orang yang saya temui. Saya muak dan benar-benar tidak suka dengan orang yang hanya bisa berbicara saja, atau menyuruh-nyuruh saja tanpa memberikan kontribusi yang dibutuhkan. Saya bahkan sangat tersinggung dengan perkataan seperti ini,

“Tinggal perintah saja!”

Saya berpendapat bahwa kalimat ini sungguh tidak menunjukkan sikap peka.

Ada juga suatu kejadian, ketika saya baru saja duduk di tempat istirahat dan apa yang saya dengarkan membuat saya mau segera pergi dan menyelesaikan istirahat saya. Saya ditekan dengan banyak keluha negative yang sungguh tidak pantas untuk didengarkan oleh orang-orang lain. Keluhan yang kalau dilihat lagi ternyata bersifat sangat-sangat destruktif, merusak dan sangat negative. Saya tidak tahan!

Saya melihat apa yang terjadi pada saya, dan saya terkesima dengan respon negative yang saya temukan dalam tubuh saya. Saya kelelahan, dan saya merasa sangat overwhelmed! Rasanya saya paham mengapa saya bisa demikian, alasannya adalah karena saya sangat-sangat sensitif.

Lalu, duduk bersama buku ini, saya kembali dibawa kepada diri saya sendiri. Penilaian saya akan orang lain, atau akan perilaku yang orang lain lakukan pada saya memberikan nilai akan masalah yang sebenarnya. Saya melihat kembali apa yang terjadi pada diri saya, dan menemukan bahwa saya ternyata secara tidak sengaja sudah menambahkan beban yang tidak seharusnya ditambahkan pada masalah saya. Penilaian saya, yang sangat tidak objektif dan terlalu berlebihan, mengaburkan masalah yang sesungguhnya di sini.

Saya menarik diri saya, dan merenungkan apa yang terjadi. Saya pun berpikir untuk tidak membuang-buang waktu saya untuk menaruh “kebencian” pada sesuatu yang jelas-jelas hanya akan mengurangi kesempatan saya untuk lebih produktif, menemukan solusi yang saya butuhkan dan move on!

Bagian dalam buku ini tentang “Hidup di antara orang yang menyebalkan” memberi saya pelajaran bahwa saya harus melihat apapun yang orang lain lakukan kepada saya, atau persepsi saya akan orang lain adalah sesuatu yang sifatnya sementara dan sangat bisa dilihat kembali, diperbaiki. Cara terbaik yang bisa saya lakukan, lagi, adalah menarik diri saya ke belakang dan melihat kembali apa yang terjadi sebelum saya memberikan respon yang sungguh tidak bertanggung jawab (marah-marah, bahkan menjelek-jelekkan orang lain mungkin).

Saya menyadari bahwa pada saat ini, saya hidup bersama orang lain dan itu artinya saya pun harus belajar bagaimana orang lain bersikap dan berpikir. Memahami, itu adalah jawaban yang harus saya usahakan untuk dilakukan. Saya bersedia untuk memberi ruang untuk dapat memahami orang lain, mengesampingkan ego dan melihat masalah yang ada di hadapan saya jauh ke depan. Jauh sampai melewati batas pribadi seorang manusia yang saya ajak berkelahi, atau yang saat ini ada di hadapan saya, menjadi objek kemarahan dan bahkan kebencian saya.

Saya melihat lagi sosok yang ada di hadapan saya. Orang yang mengatakan kata-kata yang menyakitkan dan menyakiti saya. Saya lihat lagi ke dalam matanya, dan saya bisa melihat bahwa ia pun melalui banyak hal. Apapun yang ia lalui, itu yang membuat ia menjadi seperti ini. Memberikan saya atau orang lain rasa sakit dan rasa kesal. Pertanyaannya adalah, apakah saya mau menggunakan waktu saya untuk menanggapi hal seperti ini? Apakah saya ingin membuang-buang waktu saya hanya untuk melakukan sesuatu yang sia-sia? NO! Saya memiliki pilihan, dan pilihan saya adalah “walk away”. Pergi dari tempat saya berdiri, dan mencari tempat yang nyaman untuk saya. Sudah, itu saja.

Setelah saya mengambil waktu sejenak, melihat masalah dari sisi yang lebih manusiawi. Saya kemudian merasakan “perbedaan” yang saya inginkan. Saya memandang orang yang menjadi objek rasa marah saya sebagai “biasa-biasa” saja. Sudah jauh berbeda dari apa yang saya pikirkan sebelumnya. Saya pun berpikir bahwa rasa kesal, marah, rasa tidak adil, yang muncul dari dalam diri saya adalah pelajaran untuk diri saya sendiri.

Dunia dan mungkin Tuhan sendiri ingin mengajarkan saya sesuatu yang tidak saya sadari sebelumnya, yaitu mengenal dan memahami diri saya sendiri setingkat lebih baik. Berdamai dengan diri saya sendiri.

Kematian

Setiap pulang kerja dan sedang beristirahat di tempat tidur, saya selalu memiliki pemikiran ini. Kematian. Sejak tahun lalu, saya memikirkan tentang kematian lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Saya tahu, ini semua adalah harga yang harus saya bayar karena pekerjaan yang saya pilih, dan saya sudah memilih dengan kesadaran. Itu artinya, apapun yang terjadi adalah bagian dari keputusan saya sendiri.

Buku ini mengajarkan saya untuk menilai kematian sebagai sesuatu yang alami (natural). Alami dalam artian bahwa sebagai manusia, kekuatan saya terbatas untuk dapat berhadapan dengannya. Adalah takdir saya sebagai makhluk hidup untuk mengakhiri hidup. Does it make sense?

Lalu, alih-alih memikirkan tentang kematian, mengapa saya tidak memikirkan hal lain yang lebih penting? Itu adalah “melakukan setiap aksi dengan sebaik-baiknya” sehingga nanti tidak ada lagi penyesalan-penyesalan. Alih-alih memikirkan tentang kematian yang sebenarnya adalah kejadian yang pasti akan dihadapi oleh setiap makhluk yang hidup, mengapa saya tidak mencurahkan perhatian dan juga waktu saya untuk menikmati anugerah hidup ini sampai kepasitas tertingginya?

Ketika saya membaca bab tentang “tentang kematian”, kesadaran, yang kemudian berubah menjadi niat ini dikukuhkan kembali. Saya ingin menggunakan setiap waktu berharga yang dianugerahkan kepada saya untuk melakukan dan mengusahakan yang terbaik yang bisa saya lakukan untuk menikmati hidup ini sampai potensi tertingginya. Hal yang tidak bisa saya urus, atau saya kendalikan, saya serahkan pada si Empunya kuasa. Sudah itu saja.

Penderitaan

Saya selalu merasa bahwa saya adalah makluk yang menyedihkan dan paling banyak menderita dibandingkan dengan orang-orang lain di sekitar saya. Saya selalu berakhir pada kesimpulan ini ketika saya memikirkan tentang hidup dan peristiwa-peristiwa dalam hidup saya.

Ketika orang lain melangkah satu kali, langsung mencapai tujuan. Saya berbeda. Saya harus berputar, mengayunkan langkah dua sampai tiga kali, baru mencapai tujuan. Orang-orang yang tidak cerdas seperti saya kebanyakan memiliki jalan hidup seperti ini.

Saya sadar bahwa pemikiran ini keliru, tapi kadang saya membiarkan pikiran ini berada di sini untuk alasan klasik, “menyadarkan” saya setiap kali saya takabur. Duri itu harus tetap ada di sana, supaya saya sadar akan rasa sakitnya, dan ketika saya berada dalam keadaan yang lebih baik, saya dapat selalu ingat akan duri ini. Ini pemikiran St. Paulus yang saya ikuti.

Buku ini mengajarkan saya tentang pandangan akan penderitaan. Penderitaan itu perlu, dan itu pun tidak salah. Kita akan belajar banyak dari penderitaan, dan itu adalah mutiara yang hanya Sebagian orang menyadari dan menemukannya. Penderitaan membuat kita menjadi orang yang lebih baik, dan saya pun mengakui hal ini. Kalau bukan karena penderitaan dan jalan penderitaan yang secara sadar saya lalui, saya tidak akan mungkin secara konsisten menulis atau menerbitkan karya. Kalau bukan karena yang namanya “penderitaan”, saya tidak akan bisa memahami tentang hidup secara lebih dekat.

Penderitaan itu perlu. Lalu, yang lebih penting dari penderitaan adalah “memaknai penderitaan”. Penderitaan tidak akan memberi nilai kalau tidak dilandasi oleh dan dengan kemampuan untuk mamaknainya, mengambil pelajaran darinya.

Menemukan Jawaban

Ketika teman saya mengatakan bahwa saya “tersesat” karena mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya melalui buku-buku yang ditulis “manusia”, saya merasa sangat tergelitik sekali. Memang, jika teman-teman membaca dengan cermat, nampak sekali kecenderungan saya untuk mencari jawaban untuk masalah saya dari buku-buku, terlebih buku satu ini. Pada normalnya, dan kebanyakan, orang akan mencari jawaban dan petunjuk dari Tuhan dengan berdoa atau dengan membaca kitab suci. Saya pada kesempatan ini tidak. So, leave it there.

Saya percaya bahwa, apapun yang saya lakukan selalu disertai oleh Tuhan yang Maha Kuasa. Tuhan mungkin tidak berbicara dengan saya secara langsung, melalui pertemuan langsung, atau melalui sabda-Nya di kitab suci, tapi saya bisa merasakan kehadiran dan penyertaan Tuhan melalui buku-buku yang saya baca, tulisan-tulisan yang secara tidak sengaja saya temui di beranda sosial media, atau ketika saya bertemu dengan seseorang. Ini jalan spiritual (ninja) saya.

Buku ini pun demikian. Tapi, tidak hanya buku ini saja, tapi banyak buku-buku lain yang beberapa catatannya saya letakkan di blog ini.

Teman-teman sekalian, bagaimana?

Akhirnya

Pada akhirnya, saya menyadari bahwa selama ini, saya sudah berjalan di jalan stoic seperti yang dipaparkan dalam buku ini. Saya mungkin baru menyadarinya sekarang, ya ketika membaca buku ini. Kamu mungkin juga demikian.

Mendapatkan kesadaran ini, saya merasa tidak sendiri. Saya merasa bahwa saya juga adalah bagian dari dunia ini, yang keberadaannya berarti dan (semoga) dapat memberi arti. Tugas saya sekarang setelah membaca buku ini adalah terus belajar, dan belajar untuk mengenal diri saya sendiri, mengenal dunia tempat saya hidup, dan yang lebih penting adalah menikmati hidup.

Buku ini membantu saya menemukan permata-permata berharga dalam hidup, dan ini sungguh berarti! Saya sangat mendorong teman-teman untuk mencari dan membaca buku ini. Buku ini dapat ditemukan di Toko Buku terdekat. Kalau sudah baca, jangan lupa sharing pendapatmu di kolom komentar di bawah ini ya! Berbagi akan membuat kita kaya!

Semoga tulisan ini bermanfaat, as always, salam hangat dari saya.

Baca juga: (REVIEW BUKU) Filosofi Teras: Filsafat Kuno, Panduan Hidup Zaman Now

Iklan

11 pemikiran pada “Duduk bersama Hendry Manampiring dengan “Filosofi Teras”-nya

  1. Saya sepakat dengan kata kak ayu bahwa memang petunjuk atas jawaban yang kita cari tidak melulu dicari melalui kitab suci -sedangkan dalam konteks ini tidak berupaya untuk mengenyampingkannya sebagai pedoman hidup- tetapi juga bisa melalui buku buku, juga tulisan tulisan di wordpress.
    Seorang teman merekomendasikan buku ini supaya saya tidak emosional. Sampai saat ini buku itu belum memanggil rasa tertarik saya, sebab beberapa petunjuk jawaban agar saya “tidak emosional” beberapa saya temukan di buku yang lain, dan lebih banyak dari novel, entah mengapa. terima kasih atas tulisannya kak ayu, sehat selalu

    Disukai oleh 1 orang

  2. Hi, Kak Seto.

    Saya percaya bahwa kita memiliki cara kita masing-masing, untuk dapat menjalin koneksi yang baik dengan diri kita sendiri dan dengan Tuhan. Seperti yang Kakak katakan, melalui Novel kakak dapat menemukan apa yang kakak anggap membantu dan menolong.

    Semangat Kak! Terima kasih juga sudah mampir dan memberikan komentar. Stay safe!

    Suka

  3. saya rasakan betul, kak, bagaimana sekadar pemikiran tidak banyak membantu kita berteguh hati untuk menghindari penderitaan. kita membutuhkan sejenis latihan batin. mungkin meditasi atau yang lain-lain.

    Disukai oleh 1 orang

  4. Saya melakukan hal seperti ini, hampir setiap waktu ketika kesadaran itu tiba. Lucu sekali rasanya, karena saya merasa seperti “old soul” yang mengembara di dunia ini haaa
    Orang-orang pada usia saya tidak memikirkan hal seperti ini, Bang haaa

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s