“burn whoever tries to burn you…” (-coven rule#2. Amanda Lovelace)
…
Kesan pertama yang saya peroleh setelah melumat habis buku ini adalah bahwa, buku ini seumpana buku pembalasan dendam sang penyihir. Yeap, that witch!
Catatan-catatan mengenai wanita dalam sejarah memang tidak lepas dari perjuangan dari pandangan sebelah mata tentang wanita dan perannya dalam masyarakat. Saya menemukan tulisan mengenai hubungan antara wanita dan penyihir dari buku “Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan: Psikologi Feminis untuk Meretas Patriaki” karya Ester Lianawati. Dalam buku ini, jelas sekali terlihat alasan mengapa wanita dipasangkan dengan konsep tua tentang penyihir.
Teman-teman bisa membaca tulisan saya dengan judul, “ Ada Serigama Betina dalam Diri Setiap Perempuan: Psikologi Feminis untuk Meretas Patriaki” karya Ester Lianawati: Apakah saya sungguh adalah seorang perempuan “itu”?.
…
Wanita (saya merasa nyaman, dan memutuskan memilih untuk menggunakan kata wanita ketimbang perempuan) diibaratkan sebagai penyihir. Orang-orang aneh yang harus dibuang dan dibakar. Wanita harus berada di bawah kendali pria, dan jika melawan maka api adalah upah untuk tindakan membangkang ini. Saya kadang gemas dengan pemikiran seperti ini. Bagaimana bisa?
Buku yang berisi puisi-puisi milik Amanda Lovelace ini memanfaatkan konsep “Wanita dan Penyihir” dan menggunakannya untuk membalas dendam atas tindakan tidak adil, dan nampak semena-mena terhadap kaum wanita.
Setiap kata yang tertulis dalam buku ini, penuh dengan rasa marah dan, bisa dikatakan angkara murka. Bayangan akan wanita yang sedang marah, terpampang jelas dari setiap kata dalam puisi-puisi di sini.

…
Saya belajar untuk memahami, dan mencoba untuk mengerti. Ketika seorang wanita berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan, respon emosional akan menguasai dirinya. Ini jelas terjadi dalam setiap puisi yang di tulis dalam buku ini, tanpa kecuali dari awal sampai akhir buku.
Wanita, diibaratkan sebagai mahkluk yang terdiri dari api. Ya, api adalah komponen utama dalam diri wanita. Ketika para pria memutuskan untuk membakar wanita, mereka tidak sedang memusnahkan sosoknya sebagai seorang wanita, tapi sebaliknya mengembalikannya ke titik asalnya, membuat wanita kembali menemukan jati dirinya sendiri. Ini mungkin adalah salah satu pesan yang sangat patut direnungkan dari tulisan-tulisan dalam buku ini.
Pesan yang sama, yang dinyanyikan oleh Selena Gomez dalam lagunya yang berjudul “Lose You to Love me”,
“ I needed to lose you to find me..”
(Selena Gomez, Lose you to Love Me)
…
Saya menyadari bahwa kata-kata yang dituliskan dalam puisi-puisi ini sangat penuh rasa marah, dan juga kebencian. Saya bahkan sempat berpikir bahwa penulis sangat membenci kaum pria. Entah rasa sakit seperti apa yang sedang atau pernah ia alami, sampai ia menuliskan hal-hal seperti ini. Tapi, disamping itu, saya sangat salut dengan usaha yang dilakukan oleh penulis. Rasa marah, dan mungkin kebencian yang berkobar-kobar, dapat ia terjemahkan ke dalam tulisan, yang kemudian dapat diterbitkan dan dibaca oleh banyak orang, termasuk saya.
Saya merasakan mengapa setelah melalui rasa marah dan benci, penulis akhirnya memberi kesimpulan bahwa ia pun menemukan dirinya sendiri, menemukan kekuatan dalam dirinya yang sebelumnya tidak mampu ia lihat. Rasa sakit dan penderitaan yang ia alami, membuka pintu potensi yang luar biasa untuk dirinya, dan untuk wanita-wanita lain di luar sana.
Ini adalah pembalasan dendam yang sangat elegan, menurut saya.
…
Tidak seperti pria, wanita sangat berani mengungkapkan rasa sakit hatinya terang-terangan. Ungkapan hati itu dapat diterjemahkan dalam bentuk tulisan, atau Bahasa tutur dengan mengutarakan secara langsung kepada orang lain untuk mendapatkan dukungan dan pertolongan (Saya harap, teori ini masih dapat digunakan pada saat ini). Untuk alasan ini, mengapa dalam buku ini saya mendapatkan perasaan yang menunjukkan bahwa “ini semua salahnya pria”. Buku ini adalah kumpulan curahan hati wanita yang tersakiti oleh pria.
Wanita, dengan segala set perasaannya akan langsung menunjuk dirinya sendiri “bersalah” atas apa yang terjadi. Ya, kelembutan hatinya, dan juga rasa tidak teganya menyakiti makhluk lain membuat sosok wanita sangat mudah menyalahkan dirinya sendiri atas apapun yang terjadi. Beban rasa bersalah ini terus dipikulnya, bahkan seumur hidupnya. Wanita dan hatinya yang sedalam Samudra, sungguh sangat luar biasa.
Kesan seperti ini tidak nampak lagi dalam buku ini. Sungguh, buku ini seperti buah-buah pergerakan untuk lepas dari cengkrama intimidasi yang tak kelihatan dan tak terdiskusikan selama ini. Bahkan sampai tulisan ini selesai diketik.
…
Menyelami kata demi kata yang tertulis dalam buku puisi ini, membuat saya lupa waktu. Saya tidak berhenti sampai saya menyelesaikan seluruh buku! What an experienced!
Untungnya, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melumat habis buku ini. Saya sendiri menyelesaikan buku ini pada masa-masa isolasi mandiri saya, dan jelas buku ini sangat banyak membantu saya untuk tetap ‘sane’ menghadapi tantangan apapun yang ada di hadapan saya.
Saya sangat mendorong teman-teman untuk membaca dan mendalami buku ini. Silakan menghubungi toko buku langganan masing-masing untuk menanyakan perihal buku ini, dan selamat membaca.
As always, salam hangat dari saya.
Semangad terus riview bukunya kk 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih banyak, Kak.
Pada masa pandemi seperti ini, saya melarikan diri pada buku dan menulis. Semoga bisa dan cukup untuk “cope” dengan segala hal yang terjadi disekeliling kita ini.
SukaSuka
Luar biasa kakak ini. Kebalikan dari aku yg pada masa pandemi ini malah kurang produktif 😅
SukaSuka
Haa, ini lebih tepatnya “pelarian” dan upaya untuk menyembunyikan diri dari tugas dan tanggung jawab yang seharusnya 😅
Sekalian prevention, kalau-kalau saya jatuh ke lembah depresi karena tekanan hidup dari berbagai sisi.
SukaSuka