Nikita Gill’s “Your Soul is a River”: Sebuah Undangan untuk Menyelam ke dalam Diri


“Ilmu Keperawatan adalah Seni”, demikian kata salah seorang dosen saya, ketika saya masih menempuh pendidikan keperawatan dan menyandang status sebagai mahasiswa.

Satu kalimat ini, padat dan menarik begitu banyak pertanyaan dalam kepala saya. “Seni yang seperti apa?”, “Bagaimana ilmu keperawatan, dapat merupakan “seni” ?”

Setiap hari, setelah saya lulus dan mendapatkan kesempatan untuk berkarya dan melayani, saya selalu menggunakan kesempatan ini untuk bertanya kepada diri saya secara terus menerus,

“Seni seperti apakah yang dimaksud?, Bagaimana saya dapat menciptakan asuhan keperawatan yang memiliki nilai seni?”

Dari sekian banyak peristiwa yang saya temukan, dan saya renungkan, dan lalu saya bagikan dalam blog ini, saya menemukan satu hal yang menarik. Ketertarikan saya akan pribadi atau kehidupan manusia itu sendiri membuat saya memilih untuk menulis dan membagikan sedikit pemikiran saya tentang “seni” yang dimaksud dalam ilmu keperawatan.

Ilmu keperawatan, seperti ilmu-ilmu yang lainnya, berangkat dan lahir dari manusia dan kehidupannya. Melihat peristiwa-peristiwa hidup manusia, dan merenungkannya adalah jawaban dan juga pelajaran yang berharga. Manusia itu bukan objek, tapi subjek.  

Saya menyadari satu rahasia, ketika saya berusaha untuk menggali tentang keperawatan sebagai seni. Rahasia tersebut, yang kemudian bukan menjadi rahasia lagi adalah perjalanan untuk mencari dan menemukan diri sendiri. Ilmu keperawatan itu, terutama ilmu keperawatan jiwa mengambil porsi yang banyak dari kegiatan “belajar dari diri sendiri.”

Hal ini, mendorong saya ingin mengenal diri saya lebih baik setiap harinya, dan dikarenakan dinamika kehidupan yang tidak menentu membuat diri saya sendiri menghasilan varian-varian yang sangat unik dan sangat menarik untuk saya pelajari. Varian yang dimaksud di sini adalah tingkah laku, perbuatan dan karakter.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa, mengenal dan memajami diri sendiri akan melahirkan kebijaksanaan yang artinya mempererat hubungan antara saya dan Sang Pencipta. Salah satu jalan untuk dapat mengenal dan mendekatkan diri saya dengan Sang Pencipta adalah dengan mengenal dan mendalami tentang diri saya sendiri.

Akhir-akhir ini, saya memilih untuk menenggelamkan diri saya pada bacaan ringan tapi juga dalam dan penuh makna, puisi. Saya menemukan rasa nyaman, penghiburan dan juga tempat bersembunyi yang sangat tepat di sana. Saya bahkan merasakan dapat menjadi diri saya sendiri, ketika saya menenggelamkan diri saya dalam untaian kata-kata indah dalam puisi. Sudah ada beberapa tulisan yang saya terbitkan, yang berisi beberapa insight, yang saya temukan ketika berbenturan dengan kata-kata indah dalam puisi.

Saya belajar.

Saya sudah menyelesaikan satu buku puisi karya Nikiti Gill, dan buku kedua yang saya baca membuat saya sangat terobsesi dengan setiap kata-kata di dalamnya. Saya merasa, Puisi karya Nikita Gill, yang termuat dalam bukunya yang berjudul “Your Soul is A River” adala buku puisi karya asing favorit saya tahun ini!

Banyak sekali catatan-catatan dalam buku puisi ini yang menyentuh kalbu, dan membawa saya ke samudera penuh petualangan. Berpetualang dengan dan dalam diri saya sendiri. Jika diibaratkan perjalanan, ini adalah perjalanan yang paling menyenangkan bagi saya sendiri.

Dalam masa-masa penuh keterbatasan ini, saya menemukan kebebasan dan juga pembebasan dari tulisan-tulisan penuh keajaiban dalam buku ini.

Cover dari Buku Puisi karya Nikiti Gill, “Your Soul is a River”

AHA Moment!

Puisi dalam buku ini terbagi menjadi beberapa bagian penting, yaitu the cosmos, the storm, ache, the sea, the river, the ocean, wild, the earth dan yang terakhir adalah heal. Awalnya saya sangat tidak mengerti mengapa pembagian bab dalam puisi ini nampak sangat tidak saling terhubung. Tapi, kemudian setelah saya melihat lagi ilustrasi yang datang bersama buku ini, akhirnya saya mengerti mengapa.

Beberapa yang dapat kita ambil, dari perpaduan bab yang tidak beraturan ini adalah seperti ini:

The storm dan the cosmos, melahirkan fire.

The storm dan the sea, melahirkan ache

The sea dan the earth, melahirkan wild

The earth dan the cosmos, melahirkan heal

Cara penulis, Nikita Gill, untuk memadukan atau mengumpamakan unsur alam dengan pengalaman yang dialami oleh manusia adalah sikap jenius yang patut mendapat pujian. Ide ini cemerlang! dan AHA!

Nikita Gill berhasil melihat hubungan yang terjalin kuat dalam diri alam, yang juga termasuk manusia. Manusia adalah bagian dari alam ini, dan ketika manusia berupaya untuk melepaskan diri dari alam, ia melahirkan hal-hal yang bertentangan dan pada saat itulah rasa sakit, kekacauan lahir. Berjalan selaras dengan alam. Alam semesta adalah jalan untuk mencapai kesembuhan dan pemulihan.

Dalam Bahasa lain, jawaban yang kit acari selama ini, ada dalam diri kita, ada dalam alam semesta tempat kita hidup dan lahir.

Jika kita tidak menemukan jawaban dari dalam diri, akan pertanyaan yang terus menghantui kita, kita dapat menemukannya pada alam semesta. Pada lingkungan di sekitar kita. Pada cahaya matahari yang bersinar pada pagi hari, pada dedaunan yang gugur pada musim gugur. Pada angin yang berhembus ringan. Pada hujan yang jatuh dan mengguyur.

Photo by Du01b0u01a1ng Nhu00e2n on Pexels.com

The Cosmos

Kisah penciptaan atau kelahiran, adalah topik yang dipilih oleh Nikita Gill dalam buku puisinya ini. Kelahiran adalah awal, dan ketika kita mengalami jalan buntu dalam masa-masa pertumbuhan kita, pada masa-masa kelahiranlah kita seharusnya kembali. Penulis ingin mengajak pembaca melihat lagi, proses kelahiran, proses keajaiban yang menjadi awal dari semua ini. Harapannya adalah, ketika kita dapat memahami keajaiban yang mengawali proses “ada”-nya kita, maka kita dapat memahami alasan dibalik jalan yang kita lalui pada saat ini.

Tidak ada yang berakhir dalam kesia-siaan, dan kalaupun berakhir dalam kesia-siaaan, yang sia-sia ini pun memiliki arti dan makna.

The Cosmos membawa kita pada titik “you matter”, kamu berarti dan memiliki arti. Diciptakan bukan karena kesengajaan saja, tapi memiliki arti dan tujuan. Setiap gram keajaiban yang ditaburkan dalam dirimu, diperhitungkan.

Jika pada suatu waktu kamu merasa takut akan kegelapan, atau keadaan yang tidak “ada’ cahaya. Kamu perlu melihat kembali bahwa dari dan karena keadaan gelap inilah kamu lahir, dan kamu ada. Kamu adalah cahaya.

Jika pada suatu waktu kamu merasa takut akan kesunyian, atau keadaan tidak “ada’ cahaya. Kamu perlu melihat kembali bahwa dari dan karena keadaan sunyi dan tanpa suara ini kamu lahir, dan kamu ada. Kamu adalah suara.

Photo by Pixabay on Pexels.com

Fire

Dalam pidato kenegaraan yang dilakukan oleh Presiden Joko Wibowo pada tanggal 16 Agustus 2021, keadaan pandemi pada saat ini diibaratkan sebagai api. Api yang membakar, dan juga dapat menerangi. Saya sendiri sangat terkesan dengan perkataan Bapak Joko Widodo, dan kagum dengan optimisme yang terus menggerakkan pemerintahan.

Benar, api meskipun adalah unsur yang berbahaya, masih memiliki sisi baik yang sangat pantas untuk dilihat dan diangkat ke spotlight juga. Itu adalah sisi kelembutan dan juga sisi kebaikannya. Api yang juga memberi kehangatan dan manfaat yang kadang tidak diperhitungkan oleh banyak orang.

Dalam bukunya, Nikiti Gill menuliskan tentang peristiwa “jatuh cinta” yang bertanggung jawab atas lahirnya “api” dalam diri seseorang. Perasaan “jatuh cinta” itu diibaratkan terjadi tanpa “consent”, terjadi begitu saja dan sulit untuk dikendalikan. Jatuh cinta bahkan dikatakan bertanggung jawab atas peristiwa membakar, menghanguskan dan menghabiskan sampai habis. Mereka yang membuat seseorang jatuh cinta, dikatakan tidak bertanggung jawab atas api yang mereka timbulkan.

Melihat perspektif berpikir seperti ini, saya sungguh terperangah. Masalahnya adalah, tidak banyak orang yang saya temui, yang sanggup untuk mengatakan “Maaf, kalau saya membebanimu dengan perasaan jatuh cinta pada saya. ” Tidak ada! Tidak ada yang pernah mengatakan seperti ini. Nampak sekali kalau jatuh cinta itu seperti beban.

Selanjutnya, dalam sisi yang lain, Nikiti Gill pun memberikan saran bahwa mereka yang terbakar api asrama (jatuh cinta), mengumpamakan dirinya seperti hutan, yang terbakar habis tapi akan tetap hidup dan tumbuh. Meskipun sudah musnah dan habis, tapi selalu akan muncul tunas baru, kehidupan baru yang akan memulai lagi siklus kehidupan selanjutnya. Tidak sama persis seperti sebelumnya, tapi baru dan pasti akan sesuai dengan keadaan pada saat ini. Secara pribadi, saya sangat dan sungguh terkesan dengan konsep seperti ini.

Photo by Lachlan Ross on Pexels.com

The Storm

Ini adalah bab yang sangat saya sukai dalam buku puisi ini. Setiap kata yang tertulis di sana, bekerja seperti magic bagi saya pribadi. Saya melihat diri saya sendiri dalam tulisan-tulisan tentang, “Storm”.

Dilain pihak, saya melihat kecenderungan yang berbeda dari dalam tulisan-tulisan pada bab ini. Saya melihat bahwa “storm” itu seperti mekanisme koping penulis untuk berhadapan dengan keadaan stress yang ia alami. Ia berusaha untuk kuat, dan menunjukkan bahwa ia kuat dalam menghadapi appun yang sedang ia lalui pada saat itu. Ia bahkan seumpama, memaksanakan keadaan untuk dapat berpihak dengannya.

Dalam bab ini, saya dapat melihat bahwa setiap puisi di sana di susun tidak dalam satu satuan waktu. Mungkin, penulis sudah menuliskan beberapa tulisan sebelumnya, dan kemudian datang waktu untuk mencocokkan setiap tulisan dengan tema, lalu tara! terjadilah!

The storm kemudian mengingatkan saya akan sebuah pendirian. Katanya, orang-orang lahir dengan unsur angin (The storm terdiri atas angin) adalah orang-orang yang tidak memiliki pendirian yang kokoh. Mereka akan terbang dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, melarikan diri dari satu titik ke titik yang lainnya. Tidak pernah menetap, dan tidak pernah bertahan hanya di satu tempat saja. Jika mereka memutuskan untuk berhenti, itu adalah ketika ia membentuk “The Storm” dengan segala daya rusaknya.

Dalam hidup, kita pasti sering berada dalam keadaan seperti ini. Seperti angin. Tidak memiliki pendirian yang tetap ketika dihadapkan pada suatu permasalahan. Kita berlari dari satu titik ke titik yang lain, seperti terombang ambing mengikuti arus yang lebih kuat dari kita. Kita bukannya tidak ingin berhenti, tapi lebih karena takut. Takut karena kita tahu bahwa ketika kita berhenti dan menetap, kita akan merusak dan menghancurkan. Ketika kita memutuskan untuk membuka diri kita, maka semua hal yang buruk akan keluar dan “mengecewakan” orang yang ada di hadapan kita. Tapi, ini hanyalah dan hanya akan menjadi kecemasan kita saja.

Chaos dan Saya

Salah satu kata favorit saya tahun ini adalah ini, Chaos. Kata ini menggambarkan diri saya dengan sangat sempurna. Saya adalah chaos dalam wujud manusia. Chaos yang lahir dalam wujud manusia.

Salah satu catatan Nikita Gill tentang chaos, termuat dalam bait puisi ini,

“…

II

She was the kind girl

who wasa a chaos of contradictions

from one second to the next,

for her mind was never free.

Sometimes bright like the sun,

sometimes calm like the moon,

sometimes stormy like the osean,

and sometimes all three.

III

Some people survive chaos

and that is how they grow

and some people thrive in chaos,

because chaos is all they know.

IV

The skin she wears may be made of calm,

but her bones are made our of chaos.”

(Four poems about chaos, Nikita Gill).

Hidup saya adalah chaos, dan itu adalah definisi yang sangat mewakili diri saya, dan keadaan saya.

Membaca puisi Nikita Gill ini membawa saya pada permenungan tentang diri saya sendiri. Isolasi Mandiri yang sedang saya jalani, menjadi tempat yang sangat tepat untuk melihat lebih ke dalam, untuk menjalin kembali hubungan baik dengan diri saya sendiri.

Dalam perjalanan saya, saya pun menulis beberapa tulisan ini di buku harian. Tulisan di bawah ini saya ambil dari buku harian saya.

“Saya takut. Benar, saya sungguh takut menempuh perjalanan masuk ke dalam, terutama ke dalam diri saya sendiri. Saya takut tersesat, dan tidak dapat menemukan jalan pulang. Dari atas saya dapat melihat dunia dalam diri saya, yang seumpama hutan hujan yang sangat lebat, pekat dan tidak tersentuh oleh manusia. Itulah saya.

Chaos, karena dari sanalah saya lahir dan hidup. Chaos karena saling berbenturan antara satu dan lainnya, kutup-kutup yang berbeda bukan saling tarik menarik tapi saling tolak menolak. Dalam keadaan tolak menolak inilah saya lahir, saya hidup dan saya tumbuh.

Perbedaan, penolakan dan berbagai macam reaksi yang lahir sesudahnya adalah apa yang membuat saya ada. Ketenangan, kedamaian adalah sesuatu yang tidak ada dalam kamus saya. Saya nampaknya tidak ditakdirkan untuk diam dan tenang. Saya tertarik oleh arus-arus air, berputar, melebur dan meluncur sampai ke lautan. Chaos. Tanpa keteraturan, tapi order!

Meskipun demikian, karena chaos inilah saya hidup. Ya, saya hidup!”

Buku ini bukan buku puisi pertama yang saya lumat sampai habis. Tapi, juga bukan yang terakhir. Saya sudah memiliki niat untuk terus menemukan diri saya dalam tulisan-tulisan indah yang ditulis oleh para pembuat puisi. Aktivitas ini membuat saya tenang, nyaman dan damai. Ini semacam kegiatan pelarian yang menyenangkan!

Saya pasti akan menengok buku puisi ini lagi, dan lagi sampai habis. Sampai usang.

Untuk itu, saya pun sangat merekomendasikan buku ini ada di tangan para pembaca sekalian. Saya sangat berharap, teman-teman dapat menemukan keuntungan dari kegiatan membaca tulisan-tulisan indah di sana.

Kalau kamu sudah pernah menyantap buku ini, silakan tuliskan pendapatmu di kolom komentar. Mari belajar bersama!

And as always, salam hangat dari saya.

Sincerely,

Ayu.

Iklan

Satu pemikiran pada “Nikita Gill’s “Your Soul is a River”: Sebuah Undangan untuk Menyelam ke dalam Diri

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s