Saya duduk diam pada sore itu. Setelah menghabiskan waktu hampir seharian membantu orang lain. Ini adalah saatnya saya membantu diri saya sendiri untuk diam dan beristirahat.
Saya melihat ke dinding kamar yang dingin. Terpaku pada cat warna hijau, yang katanya, menenangkan. Pertanyaan demi pertanyaan lahir dari pikiran saya. Satu pertanyaan demi pertanyaan lainnya. Tidak pernah putus dan berakhir dengan jawaban. Saya berpikir tanpa henti.
Pertanyaan pertama, “Untuk apakah semua ini?”
Saya berada di ruangan yang tidak begitu luas. Cukup untuk tempat tinggal saya seorang diri. Kamar saya ini berada di sudut, dan dulu digunakan sebagai tempat ibadah bagi umat muslim di asrama kami. Setelah menemukan tempat beribadah yang lebih besar dan nyaman, kamar ini kemudian disulap menjadi kamar tempat tinggal untuk penghuni asrama. Tinggal di tempat ini membuat saya aman, setidaknya tempat ini pernah digunakan sebagai tempat beribadah. Unsur “suci” dan “diberkati” setidaknya ada di sana.
Pada kamar ini, saya berpikir dalam diam. Kamar ini adalah salah satu fasilitas yang bisa saya nikmati ketika bekerja di tempat saya bekerja saat ini. Memikirkannya menimbulkan rasa syukur dalam hati saya. Saya bersyukur karena saya memiliki tempat untuk meletakkan kepala ketika lelah, menyimpan barang-barang miliki saya sendiri, dan menggunakan fasilitas untuk mandi dan mencuci, yang membuat saya dapat menikmati pakaian yang bersih dan nyaman ketika saya membutuhkannya. Saya bersyukur atas keadaan seperti ini.
Saya pernah berada di keadaan ketika, air bersih, tempat tinggal dan pakaian bersih tidak saya dapatkan selama kurang lebih satu bulan. Keadaan itu sangat menyiksa saya. Pada saat itulah ide mengenai syukur atas tempat tinggal, makanan dan pakaian yang layak pakai mendatangi saya.
Saya membandingkan diri saya dengan keberadaan orang lain. Ya! Ini adalah pemikiran yang tidak bisa saya hindari.
Ketika saya keluar dari tempat saya tinggal, dan bertemu dengan para homeless yang duduk jalanan. Saya tidak bisa menahan pemikiran saya untuk bersyukur atas hidup yang saya miliki saat ini.
Saya tahu, ini adalah pemikiran yang tidak tepat. Tapi juga perlu.
Lalu, saya kembali pada pertanyaan seperti ini. Untuk apa semua ini?
Saya bekerja dengan sangat keras. Sangat keras sampai saya harus terbaring sejenak di Unit Gawat Darurat (UGD) karena kelelahan. Untuk apa? dan mengapa sampai demikian?
Orang-orang berpikir bahwa saya menyiksa diri saya sendiri, dan bekerja terlalu loyal. Saya tidak melihatnya demikian! Saya bahkan tidak tahu mengapa saya bisa bekerja sekeras itu. Saya bekerja dengan “pace” yang biasa-biasa saja, tapi mungkin tubuh saya yang sudah tidak terlalu kuat seperti sebelumnya. Ini mungkin juga adalah pembelaan dan penyangkalan diri saya sendiri. Saya tidak tahu.
Lalu pertanyaan itu datang lagi, untuk apa semua ini? Untuk apa segala kerja keras, lelah dan masih banyak lagi penderitaan dan kerikil lainnya.
Sambil terus memikirkannya, saya teringat pada pembicaraan saya dengan beberapa teman waktu itu. Satu kata yang membuat saya pun terus merenungkan diskusi kami waktu itu. Kata tersebut adalah “harapan.”
Baca juga: Harapan: Sebuah Catatan Sederhana untuk Rekan Perawat yang Sedang Berjuang
Ketika pertanyaan seperti “untuk apa? untuk siapa?” datang menghampiri, maka ini adalah jawaban untuk pertanyaan tersebut,
“Saya masih memiliki harapan…”
Teman-teman saya, yang merasakan hal yang sama dengan saya memberikan saya jawaban yang tidak saya duga. Dalam kesesakan dan perjuangan mereka, mereka masih berpikir tentang harapan. Mereka melihat tidak hanya pada masa ini saja, tapi jauh ke depan. Pada masa selanjutnya. Lalu percaya bahwa keadaan akan berubah. Percaya bahwa apapun yang dilakukan dengan ikhlas pada saat ini, adalah jalan berkat untuk masa yang akan datang dan untuk orang-orang disekitar saya. Lebih jauh, berharap agar Tuhan berkenan dengan semua usaha dan pengorbanan ini.
Bagaimana denganmu? Apakah kamu pernah merasakan hal yang sama seperti saya di sini? Apakah kamu pernah berpikir “untuk apa semua derita yang kamu jalani saat ini?”
Silakan bagikan kisahmu.
As always, salam dari saya.
Sincerely, Ayu.