Banjir.


Tahun ini, untuk pertama kalinya, banyak orang harus terus berjaga-jaga di rumahnya masing-masing. Tindakan berjaga-jaga ini ditujukan untuk menjaga rumah dari tamu yang sangat tidak diundang, yaitu banjir.

Air yang berlimpah, adalah anugerah. Tapi, ketika air ini hadir dengan berlimpah “ruah”, maka banjir disertai kerugian yang akan kita dapatkan. Keadaan air yang berlimpah, saat ini bukanlah keadaan yang banyak disyukuri, malahan adalah keadaan yang digolongkan ke dalam “musibah.”

Kalimat seperti, “Kalimantan dilanda Banjir”, sebelumnya adalah hal yang sangat lumrah dan biasa-biasa saja. Banjir masih diartikan sebagai air sungai yang meluap dan tumpah, tapi dalam konotasi yang masih positif. Tapi pada saat ini, mendengar kata “Kalimantan dilanda Banjir”, rasanya bagaimana begitu. Masalahnya kata “Banjir” yang dimaksud di sini pastilah berarti kesengsaraan dan kesulitan.

Tulisan ini adalah renungan singkat saya, mengenai kejadian banjir beberapa waktu ini. Tulisan ini, tentu saja bersifat sangat subjektif.

Banjir. Tampak belakang rumah kami. Tinggi air pada gambar diperkirakan mencapai kurang lebih 2 meter. Diukur dari tinggi kaki rumah panggung kami.

Hubungan Antara Alam dan Manusia

Sejak sama masih kecil, saya sudah diajarkan untuk hidup “berdampingan dengan alam”, bahwa alam adalah “Ibu” bagi kehidupan manusia. Ibu yang memberi makan, minum, dan yang mengijinkan manusia untuk membentuk komunitas di mana pun manusia menginginkannya.

Untuk alasan ini, manusia tidak boleh serakah. Manusia harus mengambil “seperlunya” dari alam, dan selalu berusaha menyisakan dan meninggalkan apapun yang diambil dari hutan, untuk tetap hidup dan lestari. Sebagai contoh, ketika mengambil buah-buah dari hutan, Ibu saya selalu mengajarkan untuk “tidak mengambil sampai habis” Selalu menyisakan beberapa buah.

Musibah banjir yang melanda kampung kami, mengingatkan saya akan konsep hubungan antara hutan (atau alam) dengan manusia.

Alam tidak sedang kehilangan keseimbangannya. Tapi, sedang “menjalankan hukum keseimbangannya.” Ketika hutan-hutan semakin gundul, pohon-pohon yang biasanya menyerap air ditebang sampai habis, maka kelebihan air tidak dapat diserap dengan baik dan banjir pun hadir.

Banjir bukan hukuman, tapi adalah akibat dari aksi yang sudah banyak dilakukan selama ini. Banjir adalah buah dari intervensi terhadap alam; terhadap hutan.

Manusia mungkin sudah mengambil terlalu banyak, tanpa menyisakan atau meninggalkan sesuatu untuk tetap menjaga alam tetap lestari. Sekali lagi, manusia.

Manusia satu-satunya makhluk yang disalahkan atas kejadian Banjir

Manusia adalah makhluk yang pertumbuhannya sangat pesat di muka bumi ini. Pertumbuhan dan bahkan kontribusinya akan alam, sudah melampaui kemampuan alam untuk mempertahankan keharmonisannya.

Manusia menyabotase alam, untuk kepentinganya serta golongannya. Bersembunyi dalam kedok “kemajuan”, manusia mengorbankan alam.

Sungguh, selalu ada harga atas kemajuan yang kita rasakan saat ini. Alam adalah pihak yang sangat dirugikan dan menderita sengsara atas kemajuan yang manusia lakukan.

Menyadari keadaan ini, sedih sekali rasanya. Saya sendiri adalah pelaku, yang juga ikut berkontribusi atas kerusakan alam, dan musibah banjir ini. Saya sendiri, adalah makhluk yang ikut menyebabkan alam menjadi seperti ini.

Air yang masuk ke dalam rumah. Keadaan ini masih lebih ringan dibandingkan rumah beberapa tetangga kami lainnya.

Lalu, apa yang bisa saya lakukan?

Ketika memikirkan tentang solusi, saya selalu memulai dengan pertanyaan ini,

“Apa yang bisa saya lakukan?”

Saya mulai dari diri saya sendiri.

Saya pernah mendapatkan situasi ketika, saya belajar betul bahwa solusi itu harus dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu. Setidaknya dimulai dari diri sendiri terlebih dahulu, lalu secara berangsur-angsur menuju ke kelompok atau komunitas yang lebih luas. Saya tidak bisa menuntut orang lain untuk melakukan sesuatu, kalau saya sendiri tidak bisa memberi contoh yang bisa ditiru.

Beberapa hal yang sudah saya praktikkan selama ini, meskipun kecil, tapi dengan harapan yang besar dapat menyelamatkan hutan dan planet ini, adalah sebagai berikut

  1. Mengurangi penggunaan kertas dan plastik. Saya berusaha untuk tidak banyak menggunakan kertas. Kalau pun harus menggunakan kertas, saya akan menggunakan kertas bekas, atau kertas daur ulang. Sudah lebih dari dua tahun ini, saya sudah terbiasa untuk menulis apa saja di gadget yang saya miliki, dan mengabaikan penggunaan kertas. Selain kertas, saya juga berusaha dengan baik untuk mengurangi penggunaan plastik. Langkah sederhana yang bisa saya lakukan, salah satunya adalah membawa tempat minum sendiri ke mana pun saya pergi. Selain karena pandemik saat ini, tempat minum ini juga sangat membantu saya untuk tidak membeli minuman-minuman dari botol plastik.
  2. Bergaya hidup minimalis. Saya memilih untuk hidup bersahaja, atau dalam bahasa keren sekarang adalah mempraktikkan hidup minimalis. Beberapa hal yang sudah saya lakukan, sudah saya bagikan dalam tulisan-tulisan saya dengan judul, “Menyoal tentang Gaya Hidup Minimalis” dan “Tantangan menjadi Seorang Minimalis: Menahan Keinginan Berbelanja”. Saya merasa bahwa hidup bersahaja adalah solusi yang baik untuk menghadapi ledakan gaya hidup yang maksimalis atau konsumtif selama ini. Gaya hidup ini pun banyak membantu saya untuk mengurangi produksi sampah pribadi.
  3. Berinvestasi pada organisasi-organisasi peduli lingkungan. Pada saat ini, saya cukup sering mengikuti kegiatan-kegiatan dari organisasi seperti Ranu Welum Foundation dan Youth_actkalimantan yang secara aktif bergerak dalam bidang lingkungan dan kemanusiaan, tapi juga kebudayaan. Saya sudah melihat usaha dan kerja keras dari organisasi ini, dan aksi mereka sangatlah luar biasa. Mereka tidak hanya bergerak secara reaktif, tapi sudah mencapai tahap antisipatif. Tindakan mereka kadang keras, tapi juga sangat rasional.

Hal-hal yang saya lakukan, selama ini masih sangat sedikit dan masih belum cukup. Saya masih terus mengatur dan mendisiplinkan diri saya sendiri untuk hidup dengan sadar, dan terus mempertimbangkan banyak hal, salah satunya adalah alam sekitar saya. Sampai saat ini saya masih belum berhasil, dan selalu jatuh bangun. Tapi, pelan-pelan saja, satu-satu.

Banjir. Melihat kejadian banjir yang terjadi pada tahun ini, saya bisa memastikan bahwa pada tahun-tahun ke depan, tempat tinggal saya akan dilanda oleh banjir. Terus dan terus. Kami akan dan harus hidup dengan kenyataan pahit, yang merupakan akibat dari tindakan kami sendiri.

Setelah ini, hidup akan sangat berbeda. Rumah-rumah harus semakin ditinggikan lagi. Rumah panggung harus semakin dibuat tinggi, dan kalau tidak bisa, rumah mungkin harus dibuat bertingkat ke atas. Setiap tahun, ketika hujan lebat turun, kami harus selalu waspada dengan kedatangan banjir. Malam-malam harus diisi dengan kegiatan berjaga-jaga.

Hidup akan, dan pasti berbeda. Ini hidup dengan kenormalan baru. Hidup berdampingan dengan banjir.

Semoga tulisan ini bermanfaat, and as always salam hangat dari saya.

Sincerely, Ayu.

10 pemikiran pada “Banjir.

  1. Amin, Kak. Doa yang sama.

    Apakah kakak juga terdampak banjir ? Semoga kakak dan keluarga baik-baik saja.

    Beberapa keluarga kami harus mengungsi.

    Suka

  2. Nggak terdampak sih. Aku tinggalnya di Palangkaraya. Cuman liat status teman² yg kerja daerah sana, rasanya ikut berduka. Hiks…. Nggak nyangka Kalteng kita juga bisa banjir begini.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Syukurlah kalau di Palangkaraya aman.
    Bukit Rawi yang banjir besar ya.

    Semoga banjir ini cepat berlalu, dan kita dapat kembali ke aktivitas kita sehari-hari lagi.

    Disukai oleh 1 orang

  4. Banyak faktor penyebab banjir, namun ada satu hal yang bisa dilihat dari kasus banjir beberapa waktu belakangan ini, khususnya di Kalimantan. Menurut saya, masifnya industri ekstraktif di sana, menjadi penyumbang penyebab banjir. Bayangkan hutan-hutan dibongkar.

    Semoga cepat pulih dan kembali membaik.

    Disukai oleh 1 orang

  5. Benar, Kak. Dalam bahasa tulisan ini, adalah usaha manusia untuk menyabotase alam. Masifnya industri ekstraktif di Kalimantan, benar-benar menyumbangkan kejadian banjir, dan bahkan kabut asap yang sudah menjadi langganan setiap tahunnya.

    Amin, Kak. Kita berharap semoga keadaan ini dapat menjadi pelajaran untuk banyak berinvestasi pada pelestarian lingkungan.

    Suka

  6. Terima kasih, Mbak. Aminn. Kita benar-benar tidak mengharapkan hal seperti ini terulang kembali. Terlalu banyak kerugian yang harus kita bayar.

    Suka

Tinggalkan komentar