“Ketika Tuhan memaksamu untuk membuka telapak tanganmu, dan membiarkan apa yang ada di genggamanmu lepas dan pergi.
Pada saat itu, semoga, aku menemukan dirimu masih berpegang pada iman yang sama, bahwa tidak ada yang benar-benar menjadi milikmu di dunia ini. Semuanya hanya dititipkan sementara padamu, dan jika Tuhan ingin mengambilnya lagi, maka adalah tugasmu untuk memberikannya kembali.
Menahan Tuhan untuk mengambil sesuatu yang memang adalah milikNya, hanya akan membuatmu lelah dan sakit. Kau tidak hanya melawan kehendak Tuhan, tetapi kau sudah membuat dirimu melawan semua yang diciptakan oleh Tuhan, yaitu juga adalah dirimu sendiri.
Tiada pilihan yang lebih baik selain, melepaskan.”
Catatan pada malam Banjarmasin, 5 Oktober 2021.
…
Malam itu, beban tidak kasat mata itu menikam saya. Sakit dan lelah. Saya merefleksikan begitu banyak kehilangan yang saya alami dalam waktu singkat ini. Saya menyadari bahwa salah satu hal yang tidak saya sukai ketika menjadi dewasa adalah, kesadaran akan kenyataan kehidupan yang sangat-sangat, dan sangat ironis.
Mata saya terbuka, sama seperti Adam dan Hawa ketika memakan buah pengetahuan. Tirai-tirai tipis itu lepas dari mata saya, seperti selaput yang berguguran satu demi satu dari penyangganya. Saya menyadari saya telanjang. Telanjang dalam ketidaktahuan, dan kerapuhan sebagai makhluk yang hidup.
Dalam keadaan seperti itu, jari-jari saya berayun dan lahirlah tulisan sederhana di atas. Itu adalah teriakan tanpa suara yang ada di dalam kepala. Peperangan antara kemanusiaan dan keinginan untuk menjadi lebih dari “hanya sekedar manusia.”
Tuhan mungkin akan melemparkan saya keluar dari rumahNya, karena sifat membangkang yang saya lakukan akhir-akhir ini. Saya bergulat untuk menerima kehendakNya. Berdiri pada dua persimpangan yang membingungkan, antara mengikuti kehendak roh atau kehendak daging. Keduanya mengikat saya sampai tingkat sel!
Tulisan di atas adalah seruan ketidakberdayaan, yang bercampur dengan kerapuhan dan sikap pantang menyerah dalam diri saya.
Pada akhirnya, setelah tulisan ini saya hasilkan. Saya baca berulang-ulang, bahkan pada hari-hari berikutnya. Saya jatuh dalam posisi pasrah dan berserah. Saya menyadari, dan semakin menyadari keterbatasan saya sebagai manusia. Kemanusiaan saya yang sangat manusiawi. Sungguh manusiawi.
Saya tidak memiliki apa-apa di dunia ini. Semuanya adalah milik Sang Pencipta. Jadi, dengan kesadaran yang sama, saya menyadari bahwa jika ada yang diambil dari saya pada saat ini, bahkan rasa sakit hati inipun bukan milik saya.
Sincerely, Ayu.
yang pastinya kehidupan ini akan menjadi bermakna dengan adanya rasa syukur. 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
nyimak dulu aja deh hehehe.. salut saya kk masih aktif ngeblog… 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Saya setuju, Kak. Bersyukur memang adalah tindakan yang efektif untuk memaknai hidup kita yang sungguh fana ini.
SukaSuka
Hi, Kak!
Lama-lama blog ini berubah menjadi personal journal hahahahaha. Curhat melulu isinya wkwkwk.
Terima kasih sudah mampir, Kak. Saya masih setia di tempat pelarian paling nyaman ini wkwkwkwk
SukaDisukai oleh 1 orang
yah begitu lah… saya pun akhirnya harus kembali ngeblog setelah 4 tahun mati suri hihihi… ngeblog memang tempat yang paling nyaman untuk sebagian orang..
SukaDisukai oleh 1 orang
Benar, Kak.
Tempat yang paling nyaman, terutama untuk mereka yang menghargai dan mencintai keheningan. Tempat yang nyaman, untuk mereka yang suka bergerak dalam sunyi wkwkwkwk
SukaSuka