“Kering Sudah Keringat Saya”


“Kering sudah keringat saya” demikianlah ungkapan pekerja lepas itu. 

Pekerjaan yang sudah selesai ia kerjakan lebih dari satu tahun yang lalu, akhirnya terbayar hari ini. Kata-katanya ini adalah ungkapan rasa kecewa, tidak percaya, tapi juga syukur. Setidaknya, usaha yang ia lakukan dihargai dalam bentuk uang. Memang, tidak seberapa jumlah rupiah yang ada ditangannya ini. Tapi, ada nilai yang lebih penting dibalik “hanya rupiah” ini. Nilai tersebut adalah nilai penghargaan. 

Pekerja lepas ini, bukan orang yang mata duitan. Tapi, semakin ke sini, panggilan “mata duitan” atau “berambisi karena uang” menjadi panggilan dan label yang membanggakan. Siapa yang tidak menginginkan uang. Tanpa uang, hampir tidak akan ada kehidupan. Bahkan, pada faktanya, manusia adalah satu-satunya makhluk hidup di planet bumi ini yang harus membayar biaya “tinggalnya” dengan uang. Pembayaran itu kita kenal sebagai pajak. 

Mereka yang meneriakinya “mata duitan”,  adalah orang-orang yang harus melakukan refleksi diri. Logikanya, kalau seseorang “tahu” dengan jelas apa yang ia katakan, bisa dipastikan ia pernah dan sudah sering berhadapan dengan hal yang ia “katakan.” Jika seseorang bermain-main dengan api, cepat atau lambat ia akan menjadi bagian dari api (terbakar) atau menjadi api itu sendiri. Hal ini sama seperti bermain atau bersentuhan dengan “uang.” 

Apakah si pekerja tidak bersyukur? Tidak juga. 

Saya yakin bahwa si pekerja pasti sangat bersyukur karena ia bisa bekerja. Apalagi melihat kondisi atau keadaan pada saat ini. Rasa syukurnya juga ditunjukkan dengan tidak adanya ungkapan atau “keluhan” saat melihat jumlah rupiah yang ia terima. Melihat posisi (jabatan) dan kompetensi yang ia miliki, rupiah yang ia terima saat itu sangatlah kurang dari yang biasanya dan bahkan yang seharusnya ia terima. Tapi, ia tidak mengeluh dengan hal ini, ia menerima amplop yang disodorkan padanya dengan tangan terbuka. Ia mengerti. 

Apakah ia tidak menerapkan nilai-nilai sebagai pekerja yang baik?. Tidak juga. Ia menerapkan nilai untuk “sabar” dan bekerja dengan “sukacita” tanpa merisaukan berapa rupiah yang akan ia terima nanti. Ketika ia bekerja, ia memberikan dirinya untuk mereka yang ia layani, termasuk perusahaan yang mempekerjakannya saat itu. Ia tahu motivasi terbaik yang harus ia tanamkan agar layanan yang ia berikan optimal dan maksimal. Pembayaran adalah hal terakhir yang berada dalam pikirannya. Tapi, biar bagaimana pun, ia adalah manusia. Harus ada hasil dari proses “barter” yang ia sepakati. Ia memberikan waktu, usaha dan bahkan kemampuannya. Tidak ada salahnya jika ia mengharapkan penghargaan, yang diberikan tepat pada waktunya. 

“Kering sudah keringat saya” adalah ungkapan yang sangat manusiawi dan sangat-sangat wajar. Pekerja lepas itu bukan seorang dewa, bukan pula Tuhan. 

Kita seharusnya bisa melihat hal ini dengan lebih jelas. 

Next, menulis apa lagi ya? 

3 pemikiran pada ““Kering Sudah Keringat Saya”

Tinggalkan komentar