Simone de Beauvoir, adalah sosok yang merupakan pusat dari tulisan-tulisan dalam buku “Beauvoir Melintas Abad.” Tentu saja, mengenal pemikiran seseorang akan lebih baik dilakukan dengan lebih dekat mengenal tentang siapa si pemilik pemikiran tersebut. Keputusan sang penulis, Ester Lianawati, untuk menuliskan biografi dari sang pemikir, adalah sungguh keputusan yang tepat. Buku ini adalah asal dan sumber dari pemikiran-pemikiran yang Ester Lianawati tuliskan dalam bukunya “Ada Seriga Betina dalam Diri Setiap Perempuan.” Yeap! Kedua buku ini saling berkaitan, dan pembaca seperti saya dapat dengan jelas melihat benang merah yang menghubungkan kedua buku ini.
Tulisan ini secara sengaja saya buat untuk mendalami isi buku “Beauvoir Melintas Abad”. Tulisan ini pun adalah catatan perjalanan saya ketika berusaha memahami dan memetik buah-buah pesan yang dititipkan oleh penulis dalam buku ini. Apapun yang tertulis di sini adalah hal-hal yang bersifat sangat personal dan subjektif. Saya menulisnya dari sudut pandang saya sendiri. Antara saya dan pembaca lain mungkin memiliki perbedaan cara pandang dan cara berpikir ketika memandang atau menilai buku ini.
Terdapat dua bagian dari tulisan ini, yang pastinya akan sangat panjang. Pertama adalah mengenai Jalan Cinta ala Simone de Beauvoir, dan yang kedua adalah mengenai Jalan Refleksi karena Simone de Beauvoir. Jalan cinta menuliskan tentang pendapat saya mengenai Simone de Beauvoir, terutama ketika saya mempelajari tentang hidup dan pemikiran-pemikirannya. Sedangkan jalan refleksi lebih pada hasil refleksi yang saya temukan karena membaca buku ini. Saya terdorong untuk menuliskan dua subtopik berbeda ini dalam satu tulisan. Jadi, para pembaca sekalian, be patient with me.
…
Jalan Cinta ala Simone de Beauvoir

Simone de Beauvoir adalah sosok yang sangat luar biasa! Ini adalah pendapat yang saya lahirkan setelah membaca setidaknya setengah dari buku ini. Sejak masa kecilnya, Ia sudah memiliki pemikiran yang berbeda dibandingkan orang lain seusianya, dan bahkan se-komunitas tempat Ia berada. Belum lagi, Ia memiliki sikap “kepala batu” dan percaya diri yang tinggi.
Membaca kisah hidupnya, terutama ketika saya menyelami karakter Simone de Beauvoir, saya melihat beberapa kesamaan antara karakter saya dan beliau. Saya mengidentifikasi diri cukup sering dengan karakter beliau. Saya kerap membayangkan, kalau saya berada di posisi beliau, “Apakah saya pun akan mengambil keputusan yang sama?.” Saya menarik kesimpulan bahwa, besar kemungkinan hal ini terjadi karena saya dan beliau sama-sama berjenis kelamin perempuan. Hal seperti membuat saya semakin penasaran dengan kehidupan yang dijalani oleh Simone de Beauvoir, saya penasaran dengan “ending” setiap keputusan-keputusan yang beliau buat. Terutama keputusannya tentang hubungan percintaan yang Ia jalani dengan kekasih-kekasihnya, yang juga berdampak pada tulisan-tulisannya dan juga pemikiran-pemikirannya.
Simone de Beuvoir, dalam hemat saya adalah seseorang yang menjalani cinta secara platonic. Ia mencintai seseorang karena alasan intelektual yang bagi mereka yang memuja cinta secara romantic, terdengar sangat kejam. Saya tidak menemukan titik ketika beliau benar-benar ingin menyerahkan diri bagi orang lain yang Ia cintai. Ia lebih memilih menyerahkan diri pada ilmu pengetahuan, dan untuk mempelajari bagaimana cinta atau ketertarikan pada orang lain dapat membantunya mengembangkan buah pikirnya, menarik keuntungan bagi dirinya secara akademik (dan intelektual).
Simone de Beauvoir seperti sengaja menjalin hubungan dengan si A, B dan C untuk tujuan eksperimental. Selanjutnya, dari pergolakan apapun yang timbul karena hubungan itu, lahirlah “insight” yang membuatnya menyadari sesuatu dan belajar darinya. Ia secara sadar melakukan hal ini.
Simone de Beauvoir, tumbuh dengan mode “sakit hati” dan semangat untuk menyembuhkan sakit hatinya. Lahir dan tumbuh di lingkungan yang masih erat dengan kasta sosial-nya, Simone de Beauvoir sedari kecil sudah menyadari arti pentingnya pendidikan dan juga kekayaan (wealth). Pendidikan yang tidak hanya sekedar “pendidikan,” tapi lebih dari itu, yaitu aktivitas untuk menggunakan “akal dan pikiran” (logika dan kemampuan berpikir kritis lainnya) untuk melihat setiap fenomena masalah dan mencari solusinya. Mungkin ini juga alasan mengapa Beauvoir memilih belajar filsafat. Filsafat, terkenal sebagai ilmu yang “membuka pikiran” pelajarnya. Beauvoir salah satunya.

Cinta pertama Simone de Beauvoir bukanlah ayahnya, atau kekasihnya. Cinta pertamanya adalah ilmu pengetahuan, buku!
Pilihan Beauvoir untuk belajar Filsafat, menentukan bagaimana Ia membentuk hidupnya. Kecintaannya pada Ilmu filsafat ini juga jelas mempengaruhi setiap keputusan yang Ia ambil dalam setiap fase hidupnya. Saya rasa, karena ilmu filasafat ini pula, Beauvoir, diam-diam membangkang dengan ajaran gereja yang sejak kecil diajarkan oleh Ibunya [Selamat Tinggal Tuhan, Hal.48]. Dokrin-dokrin yang diajarkan oleh gereja pada masa kecilnya, tidak bisa membatasi kebebasannya untuk berpikir dan bertindak. Alhasil cap “orang kafir” pun sempat Ia nikmati. Tapi memang, Beauvoir tidak melawan dengan tangan kosong, atau memberikan keputusan hanya atas “perasaannya” saja. Ia membentuk keputusannya dengan secara rajin membaca buku-buku dan membandingkan pemikiran satu ke pemikiran lainnya. Ia seorang perempuan dengan pemikiran ala ilmuan!
Simone de Beauvoir, tergolong perempuan yang beruntung. Ia beruntung karena dapat bertemu dengan sahabat-sahabat yang dapat mendukung dan bahkan menginspirasinya. Ia menghargai setiap persahabatan yang Ia jalin bersama orang lain, dan Ia belajar dari setiap orang yang Ia temui. Melalui setiap pertemuannya dengan orang-orang, dan juga konflik yang terjadi karena setiap hubungan ini, Beauvoir menimba bahan-bahan yang Ia gunakan untuk perkembangan bahan kajian yang menjadi obsesinya.
Cara berpikir dan berperilaku yang berbeda dari masyarakat dan bahkan perempuan kebanyakan, menyebabkan Beauvoir mempertanyakan mengenai masa depannya. Melalui ungkapan,
“Adakah laki-laki yang mau menikahi perempuan seperti saya?.”
Namun, Beauvoir tetaplah Beauvoir dengan segala keberuntungannya. Ia menemukan laki-laki untuk Ia pacari, dan bahkan perempuan. Norma-normal bahkan kelihatan sangat tidak berarti baginya. Ia hidup sebebas-bebasnya, dan menjalaninya sesuai dengan apa yang Ia anggap layak untuk dijalani. Meskipun memang pada akhirnya Ia memilih untuk tidak mengikatkan diri dalam ikatan pernikahan.
Simone de Beauvoir adalah perempuan yang bebas, dan menggunakan kebebasannya dengan sebaik mungkin. Dalam buku ini, saya didorong untuk menyelami arti “kebebasan” dan juga “keterikatan.” Ikatan, disajikan dalam bentuk peraturan, moral bahkan doktrin.
Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa tiada yang benar-benar bebas, dan sebaliknya, tidak ada yang benar-benar terikat. Baik kebebasan dan keterikatan bekerja bersama-sama untuk menciptakan harmoni yang indah dalam hidup manusia. Dalam hidup seorang Simone de Beauvoir.
Selanjutnya, saya setuju dengan pengantar yang ditulis oleh penulis dalam buku ini, yaitu bahwa Simone de Beauvoir memang terlahir sebagai perempuan, tapi hal ini berbeda dengan menjadi seorang feminis. Memiliki jenis kelamin sebagai seorang perempuan, adalah sesuatu yang sudah kita dapatkan sejak lahir, tapi menjadi seorang feminis adalah sebuah pilihan. Simone de Beauvoir membutuhkan waktu seumur hidupnya untuk menjadi seorang feminis, dan menerima dirinya sebagai seutuhnya perempuan.
Dalam perjalanannya Simone de Beauvoir memang mengalami kejadian-kejadian yang membuatnya mempertanyakan tentang “eksistensinya” sebagai seorang manusia dan juga sebagai makhluk perempuan. Setiap pertanyaan ini tidak Ia biarkan saja, tapi Ia olah, Ia pikirkan, Ia renungkan dan Ia catat. Berkat apapun yang dilakukan oleh Simone de Beauvoir ini, kita bisa banyak belajar. Belajar untuk membuat hidup kita menjadi lebih nyaman dan semakin layak untuk dijalani. Ini adalah jalan cinta seorang Simone de Beauvoir, dan sesuatu yang sangat menyentuh saya secara pribadi.
…

Jalan Refleksi karena Simone de Beauvoir
Pandangan Pertama
Ketika penerbit Eabooks mengumumkan peluncuran buku ini ke pasaran, saya sempat dibuat binggung dengan judulnya. Pertanyaan pertama adalah, “Siapakah itu “Beauvoir’?” dan “Bagaimana ‘Beauvoir” dapat melintasi abad?,” “Apakah ‘masa” yang dimaksudkan dalam buku ini?.” Pertanyaan-pertanyaan itu memicu saya untuk segera memesan buku ini. Saya tak sabar ingin menemukan jawaban dari setiap pertanyaan yang ada dalam pikiran saya ini.
Pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari kepala saya waktu itu, menjadi alasan kuat mengapa saya harus berinvestasi pada buku ini. Saya tahu dan yakin bahwa saya tidak akan menyesal, dan saya pasti akan belajar banyak.
Tak Cukup Satu Kali
Tidak seperti buku-buku lain yang pernah saya konsumsi. Buku ini tak bisa hanya dikonsumsi hanya satu kali saya. Proses persiapan dan juga penulisan buku ini yang sungguh tidak main-main, membuat buku ini sangat-sangat berbobot. Setiap kata dan kalimat mengandung arti dan makna, dan pembaca seakan diajak untuk memberikan penilaian sendiri terhadap pengalaman atau cerita yang sudah dituliskan di sini.
Saya bahkan sempat berkomentar pada diri saya sendiri,
“Saya bisa menulis tesis karena menganalisis buku ini!”
Buku ini entah bagaimana ringan dan nyaman untuk dibaca, tapi juga berat dan berbobot. Buku ini, saya bayangkan berada di tangan-tangan scholars atau para akedemisi yang mempelajari lebih dalam tentang “feminisme,” terkhusus “Feminis Eksistensialis atau mereka yang dengan gamblang berjuang di jalan kesehatan dan keselamatan bagi perempuan.
Sama seperti tulisan ini, saya mungkin akan menerbitkan beberapa tulisan lagi karena buku ini.
Berhadapan muka dengan Beauvoir: Sebuah Refleksi
Saya melihat, ada begitu banyak kesamaan antara saya dan Beauvoir. Saya tidak bisa mengelak bahwa, ketika mendalami karakter dari seorang tokoh, saya pun ikut terserap dalam setiap karakternya. Salah satu tandanya adalah “identifikasi,” ya, saya mengidentifikasi karakter-karakter yang dimiliki oleh tokoh dan membandingkannya dengan diri saya sendiri. Ini terjadi secara otomatis pada diri saya, terdorong oleh keinginan untuk menjadikan isi buku sebagai bagian dari saya. Sesuatu yang bisa meningkatkan hidup saya sendiri.
Keras kepala, adalah salah satu karakter yang dimiliki oleh Beauvoir, yang juga sangat menonjol dalam diri saya. Sejauh yang saya tahu, keras kepala, kepala batu, kokoh pendirian adalah definisi dari diri saya sendiri. Ini karakter yang paling menonjol dari diri saya sendiri, dan mungkin adalah karakter yang cukup saya banggakan. Beauvoir memiliki karakter ini, dan Ia mendasari sifat keras kepalanya dengan ilmiah. Sebelum Ia memutuskan untuk berdiri di kakinya sendiri, dan mempertanggung jawabkan apa yang ia percayai, Ia melakukan riset yang mendalam. Setelah itu baru Ia simpulkan, dan menjadikan keputusan itu sebagai bagian dari hidupnya. Ia bertanggung jawab atas apapun yang Ia ambil, dan Ia memiliki “alasan’ di balik setiap keputusannya.
Kerugian dari sikap keras kepala adalah, keengganan orang lain untuk berada di sekitar kita. Lebih parahnya, kita akan memiliki sangat sedikit sahabat atau teman. Hanya mereka yang tahan dengan sikap “keras kepala” kita, atau yang sanggup untuk mentoleransi kegilaan kita. Nampak jelas sekali pada cerita hidup Beauvoir ini. Bisa dihitung, siapa orang-orang yang bertahan dengan kegilaannya sampai akhir.
Satu hal lagi yang menarik saya adalah, ketika Beauvoir disebut sebagai orang yang memiliki “Hati perempuan, otak laki-laki.” Ia memiliki masing-masing kualitas dari dua jenis kelamin! Seorang perempuan, memiliki kekuatan dari hatinya, dan seorang laki-laki terkenal karena kekuatan otaknya. Yeap, meksipun anggapan ini sungguh sudah kuno. Tapi, sampai saat ini kita masih bisa menerima dan menyetujuinya.
Saya sangat mengharapkan dapat menemukan sosok perempuan seperti Beauvoir! Selama saya hidup, saya banyak dikelilingi oleh perempuan-perempuan yang saya kategorikan “strong.” Mereka adalah orang-orang yang bagi saya adalah “luar biasa” dan sangat ingin saya contoh. Untuk alasan inilah mengapa sosok Beauvoir begitu sangat memikat saya. Cerita hidupnya menghipnotis saya.
Meskipun demikian, saya masih saja merasa takut. Saya takut, terobsesinya saya dengan sosok Beuvoir dapat mengaburkan objektivitas saya akan buah-buah pikiran yang lahir dari tangannya. Inilah tali pengikat saya, yang menahan laju kaki saya untuk menjerumuskan diri ke dalam setiap karya-karya Beauvoir. Tapi, here I am, memberanikan diri untuk berjalan di jalan ini, menjerumuskan diri untuk tujuan yang lebih baik, yaitu untuk melihat diri saya sendiri lebih baik lagi.
Sedikit Catatan di Balik Layar
Sudah tidak ingat lagi, berapa lama buku karya Ester Lianawati ini berada di tangan saya. Setiap melihatnya, saya terus bertarung dengan diri saya sendiri untuk menulis sesuatu tentangnya. Alasannya sederhana, karena buku ini terlalu bagus!
Saya takut ketika saya menulis dan membagikan pikiran saya tentang buku ini, saya pun akan mengurangi keindahan dari buku yang saya masukkan ke dalam kategori “luar biasa.” Buku ini tentu saja bukanlah buku yang ditulis hanya dalam waktu tiga sampai enam bulan. Ini adalah buku yang pastinya membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menggali sumber, dan menuliskannya agar mudah untuk dicerna oleh pembaca.
Sebelumnya, saya sudah pernah menulis tentang buku lain karya Ester Lianawati (Silakan baca: “Ada Serigala Betina dalam Diri Setiap Perempuan: Psikologi Feminis untuk meretas Patriaki” Karya Ester Lianawati: Apakah Saya Sungguh adalah Seorang Perempuan ‘itu’?”) dan saya pun merasa belum puas dengan tulisan yang saya putuskan untuk terbitkan ini. Catatan saya masih belum cukup, dan setiap kali saya menengok kembali buku ini, saya selalu mendapatkan perspektif dan insight yang baru tentang topik yang ditawarkan dalam buku bacaan. Saya hanya bisa berkomentar, “Beginilah kalau seorang penulis berbakat menulis karyanya.” Saya semakin kagum dan mengidolakan sosok penulis, dan sungguh bercita-cita untuk belajar banyak dari beliau pada setiap kesempatan yang saya bisa. Saat ini, saya harus puas untuk menikmati tulisan-tulisan yang beliau sebarkan melalui website dan tentu saja buku-buku yang beliau sudah terbitkan.
Saya sudah pernah mendaftarkan diri untuk mengikuti kelas-kelas yang beliau asuh, tapi sampai saat ini, tidak pernah satu pun berhasil saya hadiri. Entah bagaimana, pada saat jam kelas, saya ada kesibukan lain yang tidak bisa saya tinggalkan. Selalu saja demikian sampai saat ini. Jadi, saya putuskan untuk menahan diri dan bersabar. Saya bersabar sampai waktu itu tiba, waktu untuk secara langsung bisa berdiskusi dan berbagi perasaan saya tentang buku yang sudah beliau tulis. Saya menunggu waktu yang tepat itu tiba.
Rekomendasi
Saya sangat merekomendasikan buku ini dibaca oleh siapapun yang tertarik denga isu-isu “feminis.” Benar apa yang dituliskan oleh penulis pada pengantar buku ini,
“…kita yang tertarik dengan feminism pasti mengenal nama ini (Simone de Beauvoir).”
Beauvoir Melintas Abad, Ester Lianawati, Hal. V
Simone de Beauvoir adalah salah satu tokoh penting yang menegakkan nilai-nilai feminism pada masa-masa awalnya. Hidupnya adalah bukti perjalanan pemikiran dan pembentukkan ide-ide mengenai feminisme. Rugi rasanya kalau berjalan dan berjuang di jalan feminisme kalau tidak mengenal sosok beliau ini.
Seorang perawat seperti saya, menjadikan buku ini berharga karena buku ini membantu saya untuk lebih mengenal diri saya sendiri. Kunci dari pemberian perawatan atau asuhan keperawatan yang baik, salah satunya terletak pada kemampuan perawat secara personal mengenal dirinya sendiri (self-awareness) dengan baik. Buku ini cukup membantu. Tidak hanya itu saja, seorang perawat seperti saya, juga akan dan pasti merawat pasien-pasien perempuan. Jelas, pasien perempuan berbeda dengan pasien laki-laki. Agar asuhan keperawatan saya dapat diberikan dengan baik, saya harus mempelajari perempuan seperti dan sebagaimana baiknya Ia diperlakukan. Simone de Beauvoir membuat saya menyadari dan memahami hal penting ini.
Untuk berbagai alasan inilah, buku ini menjadi sangat penting bagi para pembaca sekalian. Ayo, miliki bukunya dan rasakan pengalaman membacanya!
PS. Buku ini bisa dipesan di toko-toko buku langgananmu.
…
As always, salam hangat dari saya dan Good luck!
Wow Ayu, banyak terima kasih untuk ulasan ini💜 Sempat tidak bisa berkata apa-apa, terharu dibuatkan ulasan ini disertai refleksi Ayu 🥰 Terima kasih ya Ayu sudah selalu mendukungku 💜
SukaDisukai oleh 1 orang
Aku salut betul2 dibikin mind mapnya untuk bisa betul2 paham dengan dua buku ini ahha. Thanks for sharing! Dimasukin dulu ke to-read listku hehe.
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih Kak 🤗🤗
Yeay! Yuk baca dan belajar juga dari buku ini. Asik banget!
SukaSuka
Terima kasih juga Mbak Ester yang baik 🙏
Senang sekali bisa menuliskan sesuatu tentang buku ini. Sungguh tak tertahan keinginan untuk membagi pengalaman Ayu menyelami buku ini. Buku ini awesome! Ayu banyak belajar dari sini.
SukaSuka
Salam kenal Mba. Terima kasih sudah mau berbagi pemikiran-pemikirannya Mba di sini.
SukaDisukai oleh 1 orang
Terima kasih, Kak.
Terima kasih karena sudah mampir dan meninggalkan komentar. Salam dari saya di Banjarmasin.
SukaDisukai oleh 1 orang