Saya duduk di tempat yang sama. Tempat yang menjadi “titik nyaman” versi saya.
Persis dihadapan saya, berdiri pohon-pohon yang tegak berdiri melawan panasnya matahari. Akar-akarnya tertancap kuat ke dalam bumi, menyerahkan diri pada kekuatan gravitasi planet ini.
Lagi, untuk kesekian kalinya, saya duduk bersebelahan dengan perasaan yang semakin hari semakin tidak asing ini.
Mendung.
Untuk kesekian kalinya, keinginan kuat untuk melarikan diri dan menghilang menguasai ruang di hati ini. Menyusup sampai pojok-pojok, masuk ke setiap sudut-sudut, dan sisi-sisi yang tak pernah terpikirkan wujudnya, “ada.”
Gambaran warna-warni pemandangan ini, berubah menjadi abu-abu. Berjalan perlahan menuju keadaan tanpa cahaya. Hitam.
Inilah rasanya, terkapar tidak berdaya dalam dunia orang-orang mati. Bergerak dengan mode otomatis, tanpa nyawa.Meskipun suara nyaring dan lantang, tapi tak ada apa-apa di dalam sana. Hanya diam yang membentuk rajutan demi rajutan nada, untuk se-segera mungkin mengakhiri perjalanan melelahkan ini.
Lalu, menyerahkan diri pada kehampaan.
Pergi.
Banjarmasin, 2 April.
salam kenal
SukaDisukai oleh 1 orang
Menepis semua kegilaan yang nyata.
SukaDisukai oleh 1 orang
Salam kenal juga, Pak. Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan pesan.
SukaSuka
Pada satu atau dua titik dalam hidup, kita perlu menjadi sedikit gila
Merasakan nyatanya, lalu melepasnya pergi
SukaSuka