Salah satu diagnosis keperawatan yang ada hubungannya dengan spiritualitas, menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) adalah Distres Spiritual (D.0082) dan Risiko Distres Spiritual (D.0100).
Distres Spiritual (D.0082), dalam SDKI didefinisikan sebagai
“Gangguan pada keyakinan atau sistem nilai berupa kesulitan merasakan makna dan tujuan hidup melalui hubungan dengan diri, orang lain, lingkungan atau Tuhan”
Distres spiritual dapat terjadi karena masalah seperti, kondisi menjelang ajal, perubahan pola hidup, kesepian, pengasingan diri dan kejadian hidup yang tidak diharapkan.
Luaran utama untuk mereka yang mengalami masalah distres spiritual adalah membaik atau meningkatnya status spiritual, yang dapat dilihat dari meningkatnya verbalisasi makna dan tujuan hidup, verbalisasi kepuasan terhadap maksna hidup dan verbalisasi perasaan keberdayaan.
Melalui sekian banyak intervensi yang ditawarkan, salah satu intervensi dukungan spiritual (terapeutik) yang dapat diberikan adalah dengan memberikan kesempatan untuk mengekspresikan perasaan tentang penyakit dan kematian (atau hal-hal yang mengganggu). Bentuk aktif dari intervensi ini adalah dengan menulis sesuatu yang berhubungan dengan masalah, yaitu distres spiritual. Menulis, adalah bagian dari upaya untuk mengekspresikan perasaan.

Ada banyak diantara kita yang mengalami masalah distres spiritual. Ada yang sungguh menyadarinya, dan ada yang tidak. Saya, adalah pasien dengan masalah keperawatan ini. Saya menyadari apa yang terjadi pada saya, dan syukurnya saya memiliki akses untuk melakukan perawatan diri. Saya memilih mengkomunikasikan diri saya dengan dan melalui tulisan.
Baca juga: “…Cinta dan RahmatMu, Cukup Bagiku”
Dalam tulisan, saya dapat melihat kembali masalah yang muncul, dan merenungkan pemecahan masalah yang kira-kira tepat. Dalam tulisan, saya dapat melihat dengan jelas, apa dan bagaimana. Saya bahkan baru dapat menyadari dengan sungguh, karya dan penyertaan Tuhan yang baik setelah saya membaca kembali apa yang saya tuliskan. Ini adalah intervensi terbaik yang saya pilih, dan yang saya jalani. Syukurnya, saya baik-baik saja dengan intervensi ini.
Dalam sebuah pertemuan, sebuah pernyataan terlontar dari mulut seorang peserta pertemuan. Pernyataan tersebut, yang dapat saya simpulkan adalah mempertanyakan mengenai tulisan-tulisan dengan tema rohani yang pernah saya tulis dan bagikan untuk pembelajaran Asuhan Keperawatan di Sekolah Keperawatan (Tulisan-tulisan itu, bahkan pernah saya terbitkan bersama teman-teman dalam bentuk Antalogi).
Lama berselang, ingatan saya kemudian berjalan mundur dan me-reka ulang kejadian pada saat pertemuan tersebut berlangsung. Pada saat itu, fokus pikiran saya memang sedang tidak bersama badan saya saat itu. Banyak hal yang saya kerjakan pada saat pertemuan itu berlangsung, dan entah kenapa pikiran saya tidak duduk diam seperti badan saya waktu itu. Syukurnya, alam bawah sadar saya masih bekerja dengan menangkap hal-hal yang dianggap penting. Salah satunya adalah mengenai hal yang saya diskusikan ini.
Hari ini, secara tidak sengaja, pikiran ini memanggil saya, dan saya berhenti mengabaikannya.
Saya menyadari bahwa, masalah distres spiritual bukanlah masalah yang banyak dapat disadari oleh banyak orang. Perawat-perawat yang peka, dan kebanyakan darinya adalah perawat kesehatan jiwa, adalah mereka yang paling sering muncul atau melaporkan masalah keperawatan ini pada pasien kelolaan mereka. Setidaknya berdasarkan pengalaman pribadi saya. Wajar saya rasa, kalau dalam pertemuan yang saya hadiri waktu itu, muncul masalah “relevansi” antara intervensi keperawatan dengan tindakan berupa menulis sesuatu yang ada hubungannya dengan spiritualitas (dan rohani).
Memikirkannya kembali, saya dapat melihat bahwa si pemberi pernyataan mungkin kurang memahami hubungan yang sudah ada di sana, antara masalah dan intervensi yang diberikan. Ini adalah kasus yang menarik untuk dipelajari, dan jika hal seperti ini dapat ditampilkan dalam ruang kelas dan kemudian dianalisis sebagai bagian dari bahan pembelajaran. Mengapa tidak?
Jika benar bahwa ruang kelas adalah tempat untuk belajar, tempat mengkritisi segala sesuatu, dan juga tempat untuk menimba ilmu, maka kasus pasien dengan masalah distres spiritual ini dapat menjadi kasus yang menarik, yang dapat dipelajari untuk memperkaya diri.
Bukankah begitu? Bagaimana pendapat teman-teman?
Satu pemikiran pada “Distres Spiritual”