Judul Buku: I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki (1)
Penulis: Baek Se Hee
Penerbit: Penerbit Haru
…
Buku ini sudah “nangkring” di rak buku saya dalam waktu yang cukup lama. Tak tergerak dari sana, dan sudah mulai berdebu. Saya lupa karena alasan apa, kemudian buku ini saya ambil dan mulai saya lahap.
Melihat sampul buku ini, membuat saya berpikir jauh ke depan bak seorang fortune teller, saya membayangkan kata-kata penuh nada berat dan kelam. Ciri khas dari bacaan yang mengandung suara yang “depress.”
Saya sedang tidak membutuhkan keadaan seperti ini, dan sungguh berharap dapat menemukan bahan bacaan lain. Tapi, sebuah pikiran melintas di kepala, sebuah harapan tepatnya, untuk menemukan cahaya di balik kelamnya tulisan-tulisan yang akan saya baca. Belum lagi, tantangan untuk melihat sendiri dan bahkan membuktikan bahwa buku ini adalah buku yang benar menjadi perwakilan suara hati banyak orang seperti yang di klaim dalam kata pengantarnya.
Saya membutuhkan waktu lebih dari biasanya untuk menyelesaikan buku ini. Tentu saja karena alasan kesibukan. Akhir-akhir ini saya tidak sedikit kesulitan untuk menyisihkan waktu untuk membaca. Energi saya memang sedang tidak stabil, dan saya pun harus belajar untuk memfokuskannya pada pemulihan sambil mengupayakan agar pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan kepada saya, selesai tepat pada waktunya. Apa yang saya korbankan dalam keadaan seperti ini?. Waktu membaca.
Setelah sebelumnya belajar keterampilan untuk berkontemplasi, saya pun menjadi sangat rajin untuk menyisihkan waktu untuk setidaknya berkontemplasi satu jam setiap hari. Kalau bisa, lebih dari itu. Sambil dengan rajin menulis di jurnal harian.
Buku milik Baek Se Hee ini, saya ambil dan saya lahap awalnya karena alasan untuk membunuh waktu. Tapi, lama kelamaan, saya dapat memahami apa yang dituliskan oleh dr. Jieme Ardian, Sp. KJ pada bagian pembuka mengenai “interaksi antara psikiater yang tidak sempurna dengan seorang pasien yang tidak juga sempurna. ” (Page 9). Saya kemudian menyadari, dan sangat setuju dengan apa yang ditulis oleh dr. Jieme Ardian, Sp. KJ sebagai, “interaksi antara dua orang yang tidak sempurna ini sama-sama membuat mereka bertumbuh” (Page 9).
Baek Se Hee, yang terdiagnosis dengan masalah depresi, menuangkan apa yang ada dipikirannya ke dalam sebuah buku. Saya rasa, banyak penulis-penulis dengan masalah psikologis sepertinya melakukan hal serupa. Menulis, dijadikan sebagai terapi dan sarana untuk pemulihan diri.
Melalui tulisan-tulisan ini, akhirnya pembaca dapat belajar dan melihat dengan sungguh apa yang selama ini menjadi penyebab dari perilaku yang nampak sulit sekali untuk dipahami oleh banyak orang-orang yang berkata bahwa mereka “normal” dan “baik-baik saja.”
Keberanian untuk menuliskan apa yang menjadi masalah dan bahkan rahasia terdalam dari penulis, adalah hal yang saya puji. Saya menyadari sungguh bahwa hal ini sangatlah tidak mudah. Salut untuk penulis.
Membaca buku ini, yang isinya sama seperti buku-buku lain yang sudah saya lahap, mengarahkan atau menarik saya pada mode refleksi diri. Saya secara otomatis berkaca pada diri saya sendiri, sambil terus menerus membandingkan diri dengan diri si penulis. Pertanyaan, “Apakah saya memiliki tanda dan gejala yang sama?” terus menyertai saya sepanjang halaman demi halaman buku ini.
Saya tidak bisa mengelak, bahwa saya sendiri pun tergoda untuk melakukan self-diagnosed. Nampaknya, ini secara natural terjadi karena hal yang saya imani ketika membaca buku-buku dengan genre “cerita”, yaitu dengan menempatkan diri saya di posisi si penulis atau tokoh yang menjadi pokok dalam cerita. Tak terelakkan pula keadaan ketika saya pun dapat jatuh dan terhipnotis dengan apapun yang ada di dalam buku. Inilah kekhawatiran saya, yang juga adalah anugerah.
Setelah membaca, dan menganalisis isi buku ini. Saya mencatat beberapa hal penting, yang menurut saya perlu untuk diingat dan diperhatikan kembali. Tentu saja, apa yang saya tulis di sini, adalah berdasarkan pengamatan dan penilaian saya pribadi. Beberapa memang disokong oleh sumber-sumber keilmuan yang ilmiah, tapi banyak diantaranya tidak. So, please readers, take it carefully. Beberapa hal tersebut saya jabarkan sebagai berikut:
Hidup dalam Tempurung Kepalanya Sendiri
Mereka yang mengalami masalah depresi (dan sejenisnya) memiliki setidaknya satu ciri khas khusus, yaitu hidup dalam tempurung kepalanya sendiri. Ini tentu saja adalah perumpamaan yang saya buat sendiri berdasarkan penilaian personal.
Tanda-tanda yang nampak, yang tentu dapat kita observasi dan kita nilai adalah pada isi pikir mereka yang menunjukkan kekeliruan berpikir seperti black and white thinking, overgeneralization, personalization, fortune telling, mind reading, emotional reasoning, disqualifying the positive dan ambivalensi (page 7, 8 dan 9).
Pada keadaan normal, kita pun akan memiliki setidaknya satu atau dua kekeliruan berpikir ini. Tapi, tidak persisten. Bedanya kita dengan mereka yang memiliki tanda dan gejala depresi adalah pada persistensi tanda dan gejala atau kekeliruan berpikir ini. Pada mereka yang mengalami masalah depresi, kekeliruan berpikir ini terjadi terus menerus dan konsisten. Ada, dan kebanyakan tidak mereka sadari.
Beberapa orang, memilih untuk menuliskan apa yang mereka pikirkan, sama seperti yang terjadi pada penulis buku ini, dan menjadikan itu sebagai bahan belajar dan koreksi. Ya, kekeliruan berpikir ini dapat dikoreksi dengan menyadarinya, dan merekonstruksi ulang. Ini yang juga banyak dikenal dengan sebutan, congnitive therapy.
Pikiran yang Bekerja Terlalu Keras dibandingkan Orang Lain
Melalui buku ini, dan beberapa buku lain yang saya baca dengan tema yang sama, saya menyadari bahwa mereka dengan masalah depresi adalah mereka yang memiliki anugerah pemikiran yang kritis, analitis dan logis. Kadang, mungkin kelewat analitis sehingga berubah menjadi kritis dan merusak.
Tanda-tandanya, dimulai dari “dalam.” Dalam artian, dari dalam diri, dengan mempertanyakan hal seperti, “mengapa aku berbeda?.”
Manusia dan tubuhnya ini, sudah tercipta dengan keseimbangan yang sempurna. Jika ada masalah, maka otak pun akan berusaha keras untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam pikiran orang dengan masalah depresi, setiap hal yang mereka pikirkan adalah “masalah,” dan untuk alasan ini, pikiran mereka pun tidak berhenti untuk bekerja dan mencari solusi. Sampai akhirnya, berada pada titik, sudah tidak memiliki solusi sama sekali.
Mereka yang menyimpan bibit atau bahkan mengalami masalah depresi, sangat dianjurkan untuk melakukan aktivitas menulis atau menuangkan pikiran mereka ke dalam tulisan. Cara ini efektif dan sangat banyak membantu untuk menyetir pikiran mereka sendiri di jalan yang normal dan dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya.
Saya bahkan berpikir, bahwa mereka dengan masalah depresi, adalah penulis dengan bakat alami dan handal. Dalam tulisan, mereka dapat menguji apa yang mereka pikirkan, tersesat dan kemudian menemukan diri mereka kembali dan bahkan menemukan pencerahan yang dapat membuat mereka terus bertahan di dunia yang keras ini.
Menarik! Sungguh menarik!
Hati yang Lembut
Setelah membaca buku ini, saya semakin percaya bahwa mereka dengan masalah depresi adalah orang-orang yang lembut hatinya. Mereka adalah orang-orang yang penuh cinta, dan sungguh-sungguh pure.
Mereka tidak pernah tega untuk melukai orang lain, dan lebih memilih untuk melukai dan bahkan mengorbankan diri mereka sendiri. Mereka memilih untuk menderita sendiri dengan pikiran untuk “tidak merepotkan orang lain.”
Mereka dengan masalah depresi, adalah orang-orang yang sungguh baik.
Ketidakpedulian mereka, kadang diartikan sebagai sikap cuek. Tapi, jauh ke dalam, mereka adalah orang yang sangat-sangat peduli. Ketika mereka peduli, mereka bahkan siap dan tanpa diminta akan menyerahkan nyawa mereka untuk menolong orang lain. Tapi ini lagi, mereka adalah orang-orang yang memberikan diri, tapi juga adalah mereka yang menutup diri untuk pemberian diri dari orang lain.
Tentu saja, banyak sekali hal yang dapat kita pelajari dari buku ini. Membaca buku ini membuat saya belajar untuk dapat memahami, dan dengan sadar melihat bahwa saya sebenarnya masih tidak tahu apa-apa tentang depresi dan dunianya. Saya harus lebih banyak belajar dan lebih banyak memahami lagi.
Beberapa catatan yang juga perlu diperhatikan
Buku ini adalah buku terjemahan dari bahasa asing. Saya sangat berterima kasih kepada penerjemah, Hyacinta Louisa dan penyunting Lovita Cendana yang sudah bekerja keras untuk menerjemahkan buku ini. Pastilah bukan pekerjaan yang mudah. Tapi, saya masih mengalami kesulitan untuk menyelaraskan bahasa Indonesia yang saya gunakan sehari-hari dengan bahasa yang terdapat dalam buku ini. Hal ini membuat saya harus secara berulang-ulang membaca kalimat atau paragraf yang ada dihadapan saya, dan cukup bekerja keras untuk memahami maksudnya.
Lanjut, saya membeli buku ini dengan edisi khusus book jacket. Saya ingat betapa bahagianya saya ketika menerima paket buku ini. Tapi kemudian, saya malah kebingungan dengan book jacket antara buku satu dan dua. Buku satu dan buku dua, memiliki book jacket yang hampir mirip. Bedanya hanya pada warna. Book jacket buku pertama lebih terang dibandingkan dengan book jacket buku ke-2. Kalau mata tak benar-benar jeli, bisa salah mengambil buku. Book jacket yang saya terima pun nampaknya tidak membuat aktivitas membaca saya nyaman. Mungkin karena saya belum begitu terbiasa.
…
Apakah ada yang sudah membaca buku ini? Apakah kamu memiliki pendapat dengan apa yang saya tuliskan di sini?
Semoga harimu menyenangkan. Good luck!
Satu pemikiran pada “Baek Se Hee dan Tteokpokki”