Baek Se Hee dan Tteokpokki (2)


Judul Buku: I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki (2)

Penulis: Baek Se Hee

Penerbit: Penerbit Haru

Saya menaruh harapan yang cukup tinggi terhadap buku yang kedua, yang tulis oleh Baek Se Hee ini. Selain karena kata pengantar yang diberikan oleh dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ yang membuat saya penasaran dengan proses “pemulihan unik “ yang dijalani oleh penulis, saya pun penasaran pada ujung dari proses pergulatan panjang penulis dengan keadaan sakitnya. 

Pada buku kedua ini, saya mulai menyadari pentingnya dialog antara penulis dan therapist. Saya dapat melihat sifat-sifat yang luput dari pandangan saya, pada buku pertama, dan mulai menaruh perhatian pada hal-hal kecil dan nampak sepele. 

Baca juga: Baek Se Hee dan Tteokpokki

Perlahan, saya mulai belajar untuk memperhatikan apa yang menjadi alasan dibalik isi pikir penulis. Sama seperti dugaan saya sebelumnya, sungguh menarik dan layak untuk dipelajari. 

Sembari menyelesaikan buku ini, beberapa catatan saya buat sebagai pengingat. Dalam hari saya berharap agar

Beberapa catatan ini, saya bagikan sebagai berikut: 

Pemulihan itu, sungguh adalah proses. 

Tidak ada yang instans! dan ini pun berlaku terhadap pemulihan yang menjadi tujuan utama dalam setiap proses perawatan. Pemulihan adalah perjalanan, yang tidak bisa dibilang pendek. Tak pula dapat dikatakan panjang, karena sifat dan penilaian terhadap pemulihan itu berbeda-beda untuk satu orang dengan orang yang lainnya. 

Setelah membaca buku Baek See Hee, saya tidak dapat mengatakan bahwa penulis menemukan penyembuhannya setelah menulis lebih dari 500 halaman. Saya yakin, ada lebih dari 1000an lebih halaman yang harus Ia selesaikan, untuk akhirnya memutuskan untuk menyajikan hanya sebagian kecil dari kisah pemulihannya.

Ada banyak kisah dibalik layar, yang tak disajikan kepada pembaca. 

Menyadari hal ini, saya pun merasa sangat penasaran dengan sosok Baek Se Hee. Pertanyaan seperti, “Bagaimana Ia menjalani hari-hari hidupnya setelah dua buku best seller-nya ini terbit?”, “Apa yang Ia pikirkan ketika menyadari bahwa orang-orang yang ditemuinya, mungkin saja sudah mengetahui dunia kelam yang Ia simpan sendiri sebelumnya?.” Banyak sekali pertanyaan ! 

Sambil menerka jawaban apa yang mungkin diberikan oleh penulis, masih sama seperti tulisan pertama saya sebelumnya, saya salut dengan keberanian penulis untuk membagikan ceritanya kepada orang banyak. Saya yakin, keinginan untuk “membantu orang lain yang mengalami masalah yang sama” ada pada sederet alasan dibalik keputusan untuk menerbitkan catatan-catatan perjalanan menuju pemulihan. Salah satunya dapat dilihat pada buku ini adalah, bagaimana penulis harus berhadapan dengan kebijakan dari tempat kerjanya (sebelumnya) untuk dapat menyajikan buku ini ditangan pembaca. Salut. 

Kembali lagi, penyembuhan sungguh adalah proses. Proses yang tidak main-main. Jangan ditanya soal “komitmen,” karena ini merupakan sebuah keharusan. Mengingat jalan menuju penyembuhan seperti yang dikisahkan penulis dalam buku ini, adalah proses jatuh-bangun yang cukup melelahkan. 

Pertanyaan yang mungkin menjadi titik dasar dari buku ke dua ini, mungkin adalah “Apa itu pemulihan?,” “Pada titik mana, kita dapat mengatakan bahwa pasien (atau penulis) dikatakan benar-benar pulih?.”

Beberapa hal, yang menjadi catatan saya berdasarkan buku ini adalah, bahwa pemulihan itu adalah keadaan ketika pasien (atau penulis) dapat menerima sepenuhnya keadaannya dan hidup dengan baik serta produktif dengan kondisi atau keadaannya. Kata “Keadaan” merujuk pada kondisi atau peristiwa ketika penulis merasakan “beda” pada dirinya dibandingkan dengan orang lain.

Penerimaan diri, yang juga berarti adalah aksi untuk “menormalisasi” keadaan, menjadikan penulis dapat berfungsi dengan baik seperti kebanyakan orang (menjadi produktif dan hidup dengan baik). Saya juga dapat melihat bahwa penulis, yang kemudian dapat “menemukan kembali dirinya yang baru,” sebagai langkah dan tanda dari pemulihan yang luar biasa!

Therapist: Tangan yang menuntun sampai menemukan pintu pemulihan. 

Dalam buku ini, disajikan dialog antara penulis dan therapist. Hal yang menarik data dilihat ketika pembaca diminta untuk menilai sendiri isi dialog yang disajikan terbuka di sana. Meskipun mungkin saja editor sudah menyunting banyak hal, tapi saya masih merasa banyak hal yang dapat kita pelajari dari setiap dialog dalam buku. Salah satu hal yang dapat dipelajari ini adalah, bahwa therapist sungguh berperan sebagai seorang “pendamping” untuk mencapai tujuan, yaitu pemulihan.

Dalam dialog, dapat dilihat bagaimana upaya yang dilakukan oleh therapist untuk memegang tangan pasien dan menuntunnya menemukan cahaya atau pintu keluar dari masalah yang Ia alami. Menarik karena therapist pun ikut berproses dan belajar dari pasien yang Ia tangani.

Therapist mempraktikkan teknik-teknik komunikasi terapeutik yang menjadi dasar penting dalam pelaksanaan terapi kepada pasien. Therapist mendorong pasien untuk menceritakan apapun yang Ia rasakan, dan juga memancing agar penulis dapat membuka diri sambil menyajikan masalahnya di atas meja. Langkah ini sangatlah penting, dan sungguh menerapkan prinsip konseling yang terapeutik.

Pada beberapa bagian, therapist juga memberikan saran. Tindakan ini, banyak digolongkan ke dalam bagian dari teknik komunikasi non-terapeutik, tapi pada situasi dan saat-saat tertentu, teknik ini dapat digunakan. Penulis sendiri yang mempertimbangkan saran yang diberikan, memilih mana yang baik dan penting dan mana yang tidak. Lalu, penulis pun yang kemudian memutuskan untuk menjalankan saran tersebut dan memberikan penilaian terhadap perjalanan yang sudah Ia pilih.

Hal penting, yang juga sangat menyentuh saya adalah bahwa therapist ada di sana. Therapist ada dalam setiap naik turunnya pengalaman hidup penulis, dan luar biasanya hidup penulis. Therapist ada di sana, untuk menuntun penulis menemukan apa yang harusnya ditemukan, terutama untuk menjalin kembali tali-tali hubungan antara dia dengan dirinya sendiri.

Dukungan Sosial yang kurang: Penyulit yang Tak Terduga

Dalam buku ini, tidak banyak kisah mengenai keluarga atau orang terdekat penulis. Pada beberapa bagian, penulis memang menuliskan atau menceritakan mengenai hubungan yang Ia jalin dengan kekasihnya, dengan anggota keluarganya seperti saudari perempuannya, Ibunya dan bahkan neneknya. Tapi, hubungan yang dijalin ini dapat dirasakan “dingin.”

Meskipun penulis kerap menuliskan tentang kekasihnya, tapi hubungan yang dijalin antara Ia dan kekasihnya kekurangan sifat “saling,” seperti saling memperhatikan satu sama lain.

Dalam penilaian saya, sang kekasih-lah yang memperhatikan penulis, tapi tidak demikian dengan sang penulis. Hubungan yang bisa dikatakan “sepihak” ini, mengindikasikan faktor penyulit bagi kesembuhan penulis. Belum lagi, hubungan yang diwarnai oleh “luka” yang dialami oleh penulis dengan keluarga kandungnya menambah klaim bahwa tidak cukuplah dukungan sosial untuk atau yang tersedia untuk penulis.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dukungan sosial atau dalam hal ini adalah, support system, menjadi sangat penting bagi penulis. Nampak bahwa ketika pasien menjauhkan dirinya dari orang lain, dialog toxic antara dia dan dirinya sendiri meningkat. Hal ini memperburuk masalahnya. Syukurnya, hubungan yang terjalin antara penulis dan therapistnya menjadi hubungan yang sangat membantu mempercepat proses pemulihannya.

Saya dan buku “I Want to Die But I want to Eat Tteokpokki 2”

Afterall, saya sangat menikmati proses membaca buku ini. Pengalaman yang saya rasakan ketika dan setelah membaca buku ini, memberikan saya energi dan juga pemahaman yang baru terkait masalah depresi dan masalah kesehatan mental pada umumnya.

Satu hal yang sungguh saya pelajari dan yang saya sadari adalah, saya menjadi lebih peka dan tidak terburu-buru dalam memberikan penilaian terhadap apapun yang dilemparkan oleh orang lain ke hadapan saya. Interaksi antara saya dan orang lain, membentuk sebuah pengertian dan makna. Hidup menjadi sangat berwarna jadinya.

Saya sangat merekomendasikan buku ini dapat dibaca dan dipelajari oleh berbagai kalangan. Demikian juga untuk para mahasiswa atau rekan-rekan sejawat perawat, yang berkecimpung dalam dunia ilmu kesehatan dan keperawatan jiwa.

Apakah ada yang sudah membaca buku ini? Apa pendapatmu?

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s