Mendamaikan Rasa Marah


Semalam, saya mendapat perintah mendadak dari Bos untuk menghadiri sebuah pertemuan esok hari seorang diri. Sebuah pesan yang datang lima menit sebelum jam sepuluh malam itu berbunyi demikian: 

“Besok, kamu berangkat seorang diri ya. Bisa kan ya?” 

Saya terkejut dan juga menyesal. Mengapa saya harus membuka pesan sebelum jam tidur? Saya menyesalkan tindakan yang saya lakukan, dan saya menyadari ada rasa gusar yang terselip dalam keterkejutan dan penyesalan ini.

Undangan atau agenda pertemuan untuk esok hari itu pun, sama sekali tidak ada ditangan saya saat itu. 

Dua hari sebelumnya sesuai kesepakatan, saya dan bos akan pergi bersama untuk memenuhi undangan pada pertemuan ini. Saya bahkan bukanlah orang yang tercatat untuk hadir pada pertemuan ini. Bak ban serep, saya hanya diminta pada detik-detik terakhir untuk menemani dan ikut serta dalam pertemuan ini. Ban serep, yang fungsinya adalah untuk menggantikan. Harus selalu siap sedia, yang juga berarti harus siap mengganti jadwal apapun yang saya miliki pada saat itu; memprioritaskan kebutuhan orang lain, dalam hal ini adalah perintah dari bos. 

Saya menyadari rasa gusar, kesal dan marah menjadi respon yang menyelimuti saya malam itu. Saya dalami mengapa perasaan ini muncul dalam diri, dan mendapati alasan bahwa saya sungguh tidak suka dicurangi. Ego saya cukup besar, dan ini menjadi alasan mengapa rasa kesal, marah dan mungkin sakit hati menghampiri saya waktu itu. Lebih lagi, pikiran penuh rasa cemas ini mendorong saya jauh keluar dari diri saya sendiri. Saya mulai berpikir sikap “semena-mena” bos terhadap saya yang hanya bawahan ini. Memikirkan mengenai hal ini membuat saya semakin gusar dan ingin rasanya melemparkan apapun untuk melampiaskan semua rasa tidak nyaman ini ke udara. 

Ego saya yang besar, membuat saya tidak bisa menerima keadaan seperti ini dengan begitu saja.

Esok pagi, saya memutuskan untuk menjalankan perintah bos dengan sebaik mungkin. Tentu saja sambil menggerutu dalam hati. Sebuah respon yang sungguh manusiawi. 

Pada beberapa kesempatan, saya memutuskan untuk membicarakan apa yang saya rasakan ini pada rekan kerja lain. Saya mendapatkan dukungan tentu saja. Melihat banyaknya orang yang berada di pihak saya, saya merasa mendapatkan dukungan. 

Setelah menyelesaikan misi pertemuan tersebut, saya mengambil waktu sejenak untuk melihat kembali apa yang terjadi. Ada dorongan yang tidak bisa ditahan-tahan. Dorongan untuk melihat kembali apa yang terjadi dan menelisik mengapa masalah seperti ini dapat begitu mengganggu saya. 

Hening. 

Saya kemudian membayangkan bos berada di hadapan saya. Memandangnya untuk perlahan mencoba memahami perubahan keputusan yang sangatlah tidak bijak ini. 

Hal-hal negatif mengalir dari dalam pikiran ini. Saya menjadi sangat tidak heran mengapa tidak banyak orang yang menyukainya. Tidak banyak orang yang betah, dan terlalu banyak hal-hal negatif yang saya dengar tentang si bos. Pada beberapa keadaan, saya pun melihat bagaimana pikiran-pikiran ini menghantam harga diri saya sendiri. Menghempaskannya jauh ke lantai, pecah! Saya biarkan emosi ini mengalir terus, saya mengamati. 

Lalu, seperti paku kuntilanak yang lepas dari ubun-ubun. Perasaan gusar, kesal, kecewa, sakit hati dan bahkan marah ini terangkat ke udara. Menguap bersama mimpi-mimpi yang tidak jelas adegan demi adegannya. Tak tersisa lagi. 

Meskipun demikian, saya menyadari hal yang sangat berarti pada saat ini, yaitu bahwa emosi yang saya rasakan beberapa waktu yang lalu mengantarkan saya pada proses yang luar biasa. Proses untuk berkenalan dengan respon yang lahir dari diri saya sendiri karena kejadian atau peristiwa tertentu. Proses yang membuat saya harus menyisihkan waktu untuk diri saya sendiri dan mempelajari setiap gerak-geriknya. Lalu, mengambil makna dan pelajaran dari semua ini. Meskipun, ah sungguh meskipun mungkin saya berakhir pada titik tidak mendapatkan apa-apa, tapi ada rasa lega dan nyaman. 

Pandangan saya terhadap bos, dan bahkan respon saya terhadap bos menjadi lebih baik. Saya mulai bisa menerima kejadian yang sudah terjadi, dan sungguh menempatkan kejadian ini pada masa yang tepat, yaitu pada masa yang lalu. Kemudian, yang lebih penting lagi, saya tidak membiarkan energi-energi negatif yang lahir dari dalam diri ini mempengaruhi hidup saya, atau membuat saya harus melakukan aksi atau tindakan untuk melampiaskan dst. 

Saya bersyukur, karena skenario apapun yang lahir dari pikiran saya, adalah hanya skenario yang tidak berwujud. Apapun yang terjadi, dunia masih berputar seperti biasanya. Matahari masih bersinar dari timur dan terbenam di barat.

Dalam hening, saya pun memutuskan untuk menuliskan semua pengalaman ini. Saya biarkan jari-jari saya menari bebas, menumpahkan semuanya di kertas kosong. Satu demi satu, kata demi kata ini lahir. Lalu, jadilah tulisan ini. 

Saya berharap, agar tulisan yang lahir ini adalah sebuah pelajaran untuk saya. Juga pengingat. Ketika saya berada dalam keadaan yang sama, saya harus ingat untuk menarik nafas dan mengambil sikap hening. 

Ada yang memiliki pengalaman yang sama? 

Iklan

2 pemikiran pada “Mendamaikan Rasa Marah

  1. Bagi orang yang terbiasa merencanakan segala sesuatu dengan rapi dan terorganisir, perubahan rencana apalagi dadakan memang bikin kesal dan tidak nyaman. Tapi kadang, mau tdk mau, suka tdk suka, keadaan menuntut kita untuk bisa ‘deal’ dengan hal2 seperti itu.

    Disukai oleh 1 orang

  2. Ini yang terjadi pada saya waktu itu, Mbak. Apa yang terjadi, sungguh menjadi pelajaran untuk saya sendiri. Supaya lebih santai, flexible dan tidak terlalu serius.

    Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan pesan, Mbak. Salam hangat.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s