“Semoga bahagia,” sebuah ucapan dan doa yang sangat paling sering diucapkan oleh banyak orang.
Namun pertanyaannya adalah, apakah kebahagiaan adalah sebuah tujuan? Apakah kebahagiaan sungguh adalah sesuatu yang baik untuk didoakan ?
Dalam buku #Agnosthesia, saya menuliskan bahwa ada hal yang lebih tinggi levelnya dibandingkan kebahagiaan dan itu adalah kedamaian. Lalu, ketika buku yang berjudul “Melampaui Kebahagiaan” yang ditulis oleh Ezra Bayda, seorang guru Zen yang terkenal ditemukan dari daftar buku Penerbit Karaniya, saya tidak dapat menahan diri untuk tidak segera memilikinya. Sebuah keputusan yang sangat saya syukuri sampai pada hari ini.
Saya membutuhkan waktu lebih dari satu bulan untuk menyelesaikan buku ini. Tapi, hal ini bukanlah masalah karena buku ini sungguh nikmat untuk disantap disela-sela waktu sibuk. Pada saat ada kesempatan dan pada saat ada waktu luang.
Tulisan-tulisan yang hadir dalam buku ini, berlaku seperti doa. Ketika membaca, kita merasakan kesan seperti sedang duduk dan bermeditasi. Pikiran-pikiran menjadi terkontrol, rapi, demikian juga perasaan-perasaan yang lahir dan hadir. Perlahan, satu persatu lembar buku ini menyusup masuk ke dalam kalbu, bertahta dan menemukan tempatnya dalam kesadaran pembacanya. Mempraktikkannya sungguh adalah sebuah petualangan yang berbeda.
Buku ini, mengandung tiga bagian penting yang berbeda, yaitu Apakah yang merintangi kebahagiaan?, akar dari kebahagiaan: berserah pada apa adanya dan mengembangkan kebahagiaan: memberi dengan tulus. Tiga bagian ini cukup untuk memahami apa itu kebahagiaan, mengapa banyak orang tidak berada dalam kebahagiaan dan fakta bahwa kebahagiaan adalah sebuah jalan yang dapat diciptakan.

Bahagia yang terintangi
Buku ini membuat saya berpikir, dan tentu saja merenungkan apa yang terjadi dalam hidup selama ini. Pertanyaan, Mengapa saya tidak merasa bahagia? Menuntun saya untuk menemukan alasan-alasan mengapa melahirkan rasa bahagia kerap harus berhadapan dengan banyak rintangan.
Dalam buku ini, tertulis dengan jelas bahwa hal-hal yang dapat merintangi kebahagiaan adalah “rasa berhak”, pikiran yang terus saja berpikir, terjebak dalam emosi-emosi dan perilaku-perilaku yang terkondisi. Beberapa poin penting ini adalah sebagai berikut:
- Rasa “berhak” yang dimaksud di sini adalah sikap dan perilaku yang mempercayai bahwa dunia berputar hanya di atas kepala kita. Dalam artian lain bahwa, kita percaya bahwa segala hal yang terjadi di dunia ini terjadi “hanya berdasarkan kehendak kita saja.” Ini tentu saja adalah sesuatu yang keliru karena kita seolah-olah memaksa keadaan. Ketika kita memaksa sesuatu seturut dengan “hanya kehendak kita saja” maka pada saat itulah rasa tidak bahagia muncul. Alasannya sederhana, yaitu karena dunia dan segala isinya tidak berjalan “hanya karena kehendak kita sendiri.”
- Pikiran yang berpikir adalah pikiran yang terus menerus mencemaskan masa depan (yang tentu saja belum pasti); pikiran yang tidak pernah tahu kapan harus beristirahat; pikiran yang tidak mengenal lelah.
- Terjebak dalam emosi-emosi, artinya tidak membiarkan emosi yang muncul mengalir, malahan terus terlilit dengan emosi-emosi yang tidak perlu. Hal ini sungguh membahayakan karena individu dapat tertahan pada satu emosi dan kemudian mengabaikan emosi lainnya.
Memikirkan tentang alasan mengapa saya tidak bahagia, saya terpikirkan tentang beberapa masa yang telah lalu ketika saya bangun tidur dengan perasaan yang sangat dan sungguh tidak nyaman. Saya pesimis dengan hidup saya sendiri, dan bangun dengan perasaan yang berat. Rasanya, saya sungguh ingin menangis, tapi juga tak mampu mengeluarkan air mata. Tuntutan demi tuntutan datang seperti Tsunami, dan saya tidak cukup memiliki energi untuk dapat menghadapi masalah seperti ini.
Pada saat itu, saya pun melayangkan pertanyaan ini, “Mengapa saya merasa seperti ini?.”
Pikiran saya kemudian tertuju pada “ego” yang membuat saya merasa yakin bahwa saya dapat mengendalikan semua masalah yang datang kepada saya. Tapi, kepercayaan diri ini hancur seketika dan tak mampulah saya berhadapan dengan apapun yang saya anggap dapat/mampu saya lakukan. Kesombongan, yang akhirnya melukai diri saya sendiri. Sebuah perjalanan yang sangat tidak menyenangkan.
Mengingat tentang akar dari masalah tidak bahagia, membuat saya menjadi mawas diri dan kembali sadar. Kembali ke nafas. Mengambil langkah satu-satu.

Berserah pada apa adanya: kunci bahagia.
Sulit untuk dapat menyerahkan tanggung jawab kepada “sesuatu” yang tidak dapat kita kendalikan. Ini adalah masalah untuk orang-orang yang terbiasa memegang kendali atau kontrol. Orang-orang yang memiliki rasa cemas, tentu saja.
Namun sungguh, menyerahkan apa yang tidak mampu kita lakukan atau kendalikan kepada “sesuatu” yang lebih mampu, atau yang mungkin lebih besar dari kita, ini adalah definisi dari iman. Iman yang dapat membuat kita bertahan dengan masalah atau keadaan dunia pada saat ini.
Dalam buku ini, pembaca diarahkan untuk secara sadar melihat apa yang “terjadi” dengan dan dalam hidup. Lalu, membiarkan atau melepaskannya begitu saja. Mencegah agar jangan sampai terjebak dari perasaan negatif yang tidak nyaman.
Tiga rumusan pertanyaan yang diajukan dalam buku ini adalah sesuatu yang jenius! Ketiga pertanyaan tersebut adalah 1)Apakah saya sungguh-sungguh bahagia sekarang ini?, 2) Apakah yang menghalangi kebahagiaan saya? dan 3) Bisakah saya berserah terhadap “apa adanya”?. Ketiga pertanyaan ini dapat membantu menuntun seseorang untuk menemukan kembali arah bahagianya.

Memberi dengan tulus: Resep bahagia yang awet
Bagian penting dan menarik dari kegiatan “memberi” dalam buku ini adalah memberi pengampunan, kepada mereka yang berkontribusi terhadap rasa sakit yang kita alami dalam hidup.
Sungguh, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan untuk memberi pengampunan atau memaafkan adalah hal yang sangat (dan teramat sulit). Banyak orang yang memilih untuk sama-sama terjun ke neraka, hanya karena tidak ingin melakukan pengampunan. Ini gambaran dari betapa sulitnya melepaskan rasa sakit, dan merelakan apa yang sudah terjadi menjadi “terjadi.”
Meditasi memaafkan yang tertulis dalam buku ini dapat dicoba dan dipraktikkan. Menarik.
So, menjadi bahagia…
Menjadi bahagia artinya menyerahkan tali kekang hidup ini pada sesuatu yang lebih besar dibandingkan diri kita sendiri. Keputusan ini sungguh sangat berisiko, dan akan sangat sulit bagi banyak orang yang memiliki kecenderungan untuk “mengatur dan mengendalikan semua.” Tapi, belajar. Ya, belajar untuk sedikit demi sedikit melepaskan atau membiarkan apa yang tak mampu kita kendalikan, menjadi “biar saja.”
Lalu, belajar untuk berbagi dengan orang lain. Belajar untuk membagikan pengalaman dengan orang lain, dan menimba pengalaman serta kebijakan dari orang lain. Memberi maaf atau pengampunan juga termasuk dalam kegiatan atau aktivitas memberi ini.
Buku ini, adalah buku yang luar biasa! Sama seperti buku-buku bertema zen atau mindfulness yang pernah saya baca sebelumnya. Buku ini mendorong saya untuk melepaskan sifat biasa-biasa saja, dan menjadi se-level lebih baik dari sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pengertian untuk menjadi sama seperti yang diucapkan Yesus pada ribuan tahun yang lalu, bahwa “…haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Bdk. Matius 5:48).
Jadi, bagaimana? Apakah kita sudah siap untuk menjadi bahagia?
Good luck!
Satu pemikiran pada “Ulasan Buku: Melampaui Kebahagiaan”